Di Balik Benteng Laut Jakarta

By , Senin, 2 November 2015 | 12:30 WIB

Berdasarkan estimasi dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), pada tahun 2025 permukaan laut hanya akan naik sekitar 5 cm. Bila penurunan tanah berlangsung cepat seperti saat ini dan gelombang pasang ekstrem terjadi, dalam 10 tahun ke depan bencana telah menunggu di depan mata.

Tanggul Laut Raksasa

Indonesia dan Belanda memiliki sejarah panjang kerja sama dalam pengelolaan air di Jakarta. Dimulai dari pembangunan Kanal Banjir Barat oleh Profesor van Been setelah banjir tahun 1918 hingga pembangunan Kanal Banjir Timur pada 1970-an oleh Profesor Kop. Pada 2009 kerja sama bilateral ini makin erat dan menelurkan rencana induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (NCICD) pada tahun 2014.

Rencana induk ini mencantumkan pembangunan pesisir skala besar dan strategi pertahanan banjir, yang berujung pada proyek mitigasi banjir dan reklamasi lahan berskala besar. Akhirnya rencana ambisius untuk 30-40 tahun ini mengarah ke pembangunan tanggul sepanjang 36 kilometer yang disebut Tanggul Laut Raksasa.

“Laut ada di sana!” seru Alda (12) seraya menunjuk ke ujung tiang kapal di kejauhan. Anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah ini tinggal bersama dengan ibu dan ayah tirinya di sepetak ruang dari tripleks yang dibangun sendiri, di dalam dinding bangunan Pasar Ikan atau Oude Vismarkt yang bersejarah.

Pasar Ikan awalnya sebuah pulau yang kemudian dibangun untuk menjaga pintu masuk Sungai Cilliwung ke kota kolonial, terletak di antara pelabuhan bersejarah Sunda Kelapa dan dinding Kota Tua. Kawasan ini dibangun pada 1657 dan merupakan salah satu dari beberapa cagar budaya peninggalan Belanda di Batavia. Sebagai upaya untuk menghentikan pendangkalan Teluk Jakarta yang terus berlangsung, pintu air dipasang pada tahun 1970-an untuk menghalangi aliran air dari sungai ke laut. “Dan di sebelah sana Sungai Cilliwung,” kata Alda saat kami berjalan ke lahan sedimentasi yang terletak di antara belakang Pasar Ikan dan pintu air. “Ini salah satu tempat bermain favorit saya,” ungkapnya. Tempat tinggal Alda yang dikelilingi oleh begitu banyak air mendorong saya untuk bertanya apakah ia suka berenang. Alda menatap saya dengan jijik, “Airnya kotor sekali, kulit saya bisa memerah gatal-gatal.”

Tidak jauh dari Pasar Ikan terdapat La­pangan Fatahillah, jantung Kota Tua. Sebagian besar bangunan tua telah hancur atau rusak parah, tetapi struktur asli kanal tetap menonjol hingga kini. Di Kota Tua yang pernah menjadi pusat Batavia dahulu, saya bertemu Sumari (49). Perempuan itu bekerja sebagai pemandu wisata di Kota Tua. “Saya pindah ke Jakarta dua puluh tahun yang lalu dari Jepara, Jawa Tengah untuk mencari pekerjaan. Saya hanya membawa sepeda dan koper,” kisah Sumari. “Awalnya saya bekerja sebagai tukang ojek sepeda, tapi setelah revitalisasi dan pembangunan jalur pejalan kaki di Lapangan Fatahillah pada tahun 2001 banyak wisatawan berdatangan, jadi kami memutuskan untuk menjadi pemandu wisata.”

Sumari dan teman-temannya membentuk kelompok pemandu wisata sepeda, kompak dengan sepeda lawas. Mereka berbagi pengetahuan mereka tentang Kota Tua kepada pengunjung. “Kami telah mengecat sepeda-sepeda agar bagus untuk difoto, dan para wisatawan menyukainya,” ujar Sumari yang menghabiskan waktu senggangnya untuk membaca buku-buku sejarah.

“Orang-orang suka mendengar cerita dari masa lalu dan meraba kondisinya di masa silam.” Sumari merasa malu akan kondisi Kota Tua, tetapi ia masih melihat adanya potensi yang bisa dikuak. Saya membonceng sepedanya dan dibawa berkeliling melihat Batavia tempo dulu. “Lihat ini,” ujar Sumari sambil mengayuh sepedanya menuju Kali Besar. “Daerah ini dulunya tempat pertemuan yang indah, bulevar besar di masa lalu dan sebetulnya masih bisa menjadi tempat seperti itu lagi. Sayangnya, baunya busuk karena air tidak lagi bergerak.”

Kami melanjutkan bersepeda ke Sunda Kelapa. Kami melewati Pasar Ikan, rumah Alda. Saya melihat sekeliling. Butuh banyak imajinasi untuk membayangkan bagaimana beberapa bangunan rusak tersebut pernah berfungsi sebagai gudang rempah-rempah. Sumari mengendus, “Anda bau kretek!” lalu terkekeh-kekeh.

Ketika kami kembali ke Lapangan Fatahillah dua jam kemudian, tempat terbuka tersebut telah dipenuhi anak-anak muda. Tempat ini po­puler sebagai lokasi bersantai generasi muda Jakarta yang ramai oleh seniman jalanan dan penjaja makanan. Jalan-jalan sekitarnya diapit beberapa bangunan cagar budaya. Het oude Gouverneurs gebouw, kini berfungsi sebagai Museum Sejarah. Sementara, Museum Wayang dahulu bekas gereja, tempat Jan Pieterszoon Coen dimakamkan.

Sumari bermimpi suatu hari Kota Tua beserta kanal dan jembatannya dapat berfungsi lagi. Seperti mayoritas penduduk di Jakarta, Sumari tidak menyadari urgensi dan tingkat keparahan tenggelamnya Jakarta.