Di Balik Benteng Laut Jakarta

By , Senin, 2 November 2015 | 12:30 WIB

“Setiap dua tahun saya harus meninggikan lantai rumah saya agar tidak tenggelam ke laut,” ujar Lukman. Ia dan istrinya tengah sibuk membongkar lantai rumah mereka untuk dipasang kembali satu meter lebih tinggi. Ketinggian lantai yang baru akan menyelamatkan mereka dari gelombang pasang.

“Kalau kayu dari lantai yang lama tidak cukup, saya akan mengambil dari rumah yang tak lagi berpenghuni dan perahu yang ditelantarkan pemiliknya. Mereka sudah tidak tahan lagi berada di sini, lalu meninggalkan teluk.”

Lukman (41) adalah salah satu nelayan yang tersisa di Teluk Jakarta. Ayah empat anak ini membangun sendiri rumah panggungnya di atas tanah liat, berlokasi di sisi luar tanggul laut polder Pluit, Jakarta Utara. Polder tertua di Indonesia ini dibangun pada tahun 1981 sebagai bagian dari rencana induk drainase Jakarta, dan dilengkapi dengan Waduk Pluit dan pompa. Indonesia memang telah merdeka dari Belanda sejak tahun 1945, tetapi hingga kini Pemerintah Belanda masih memberikan pendampingan kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam tata kelola air.

“Tahun 2013 kami mengalami banjir besar, dan kini setelah hujan deras, bisa dipastikan jalan utama akan dilanda banjir, bahkan banjir beberapa minggu yang lalu menyebabkan kemacetan yang parah,” ungkap Sarmini.

Dua kali sehari ia berkeliling naik sepeda motor untuk menjual jamu racikannya ke beberapa lokasi langganan. Sarmini (38) tinggal bersama suami dan empat anaknya di sebuah rumah semipermanen di tepi Waduk Pluit. “Banjir terbesar terjadi tahun 2007. Sebelumnya kami belum pernah mengalami banjir separah itu,” tambahnya.

Sarmini dan 10 juta penduduk di wilayah metropolitan Jakarta telah terbiasa dengan banjir di musim penghujan. Aliran air dari pegunungan meningkatkan ketinggian air sungai, kemudian meluap akibat benda-benda penghalang dan sampah pada jalur air. Perubahan iklim meningkatkan intensitas curah hujan, dan banjir kini telah menjadi masalah tahunan di Jakarta.

Namun, saat El Niño menghantam pada tahun 2007, Jakarta didera banjir yang berbeda. Gelombang pasang melampaui tanggul laut dan menerjang jalanan, menciptakan genangan air setinggi 1,5-7 meter di beberapa area. Lebih dari 2,6 juta orang terdampak dan 340 ribu penduduk terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Wabah penyakit menimpa 200 ribu orang dan memakan korban jiwa 70 orang lebih. Kerugian finansial dan ekonomi diperkirakan mencapai 900 juta dolar AS ,menurut Bank Dunia. “Air masuk sampai ke sini,” tunjuk Sarmini. Jejak garis berlumpur setinggi 1,5 meter di dinding rumahnya masih tertangkap oleh mata saya.

Banjir dari laut ini menegaskan peringatan yang telah disuarakan oleh para peneliti. Jakarta beserta kawasan sekitarnya (Jabodetabek), salah satu lima kota terpadat di dunia dengan penduduk sekitar 30 juta jiwa, tengah tenggelam. Dan hal ini terjadi dengan cepat. 

Penyebab

Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk memicu penyedotan air tanah dalam (200 meter) yang berlebihan dan tidak terikat aturan di Jakarta. Terkikisnya lapisan akuifer berlangsung lebih cepat daripada pemulihannya.  

Laju penurunan tanah ini berlangsung rata-rata 7,5 sentimeter tiap tahunnya. Di Jakarta Utara, daerah terdekat dengan laut dan tempat rumah Lukman dan Sarmini serta keluarganya berada, laju penurunan tanah bahkan lebih cepat, yaitu hingga 25 sentimeter setiap tahunnya.

“Bila tindakan tidak segera diambil, Jakarta akan ambles sedalam 5 meter pada tahun 2025.” Kalimat itu meluncur dari mulut Jan Jaap Brinkman saat kami berkunjung di kantornya di Jakarta Pusat. Brinkman adalah seorang insinyur dari Deltares, lembaga riset independen dari Belanda yang bergerak di bidang air. Ia telah tinggal dan bekerja di Jakarta selama 20 tahun terakhir. “Ya, perubahan iklim menyebabkan permukaan laut naik, tetapi masalah utama Jakarta sebenar­nya adalah tenggelamnya kota itu sendiri.”

Jakarta memerlukan langkah perlindungan dari banjir apabila laju penurunan tanah tetap sama. Celakanya, drainase yang mengandalkan gravitasi tak lagi mencukupi.

Berdasarkan estimasi dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), pada tahun 2025 permukaan laut hanya akan naik sekitar 5 cm. Bila penurunan tanah berlangsung cepat seperti saat ini dan gelombang pasang ekstrem terjadi, dalam 10 tahun ke depan bencana telah menunggu di depan mata.

Tanggul Laut Raksasa

Indonesia dan Belanda memiliki sejarah panjang kerja sama dalam pengelolaan air di Jakarta. Dimulai dari pembangunan Kanal Banjir Barat oleh Profesor van Been setelah banjir tahun 1918 hingga pembangunan Kanal Banjir Timur pada 1970-an oleh Profesor Kop. Pada 2009 kerja sama bilateral ini makin erat dan menelurkan rencana induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (NCICD) pada tahun 2014.

Rencana induk ini mencantumkan pembangunan pesisir skala besar dan strategi pertahanan banjir, yang berujung pada proyek mitigasi banjir dan reklamasi lahan berskala besar. Akhirnya rencana ambisius untuk 30-40 tahun ini mengarah ke pembangunan tanggul sepanjang 36 kilometer yang disebut Tanggul Laut Raksasa.

“Laut ada di sana!” seru Alda (12) seraya menunjuk ke ujung tiang kapal di kejauhan. Anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah ini tinggal bersama dengan ibu dan ayah tirinya di sepetak ruang dari tripleks yang dibangun sendiri, di dalam dinding bangunan Pasar Ikan atau Oude Vismarkt yang bersejarah.

Pasar Ikan awalnya sebuah pulau yang kemudian dibangun untuk menjaga pintu masuk Sungai Cilliwung ke kota kolonial, terletak di antara pelabuhan bersejarah Sunda Kelapa dan dinding Kota Tua. Kawasan ini dibangun pada 1657 dan merupakan salah satu dari beberapa cagar budaya peninggalan Belanda di Batavia. Sebagai upaya untuk menghentikan pendangkalan Teluk Jakarta yang terus berlangsung, pintu air dipasang pada tahun 1970-an untuk menghalangi aliran air dari sungai ke laut. “Dan di sebelah sana Sungai Cilliwung,” kata Alda saat kami berjalan ke lahan sedimentasi yang terletak di antara belakang Pasar Ikan dan pintu air. “Ini salah satu tempat bermain favorit saya,” ungkapnya. Tempat tinggal Alda yang dikelilingi oleh begitu banyak air mendorong saya untuk bertanya apakah ia suka berenang. Alda menatap saya dengan jijik, “Airnya kotor sekali, kulit saya bisa memerah gatal-gatal.”

Tidak jauh dari Pasar Ikan terdapat La­pangan Fatahillah, jantung Kota Tua. Sebagian besar bangunan tua telah hancur atau rusak parah, tetapi struktur asli kanal tetap menonjol hingga kini. Di Kota Tua yang pernah menjadi pusat Batavia dahulu, saya bertemu Sumari (49). Perempuan itu bekerja sebagai pemandu wisata di Kota Tua. “Saya pindah ke Jakarta dua puluh tahun yang lalu dari Jepara, Jawa Tengah untuk mencari pekerjaan. Saya hanya membawa sepeda dan koper,” kisah Sumari. “Awalnya saya bekerja sebagai tukang ojek sepeda, tapi setelah revitalisasi dan pembangunan jalur pejalan kaki di Lapangan Fatahillah pada tahun 2001 banyak wisatawan berdatangan, jadi kami memutuskan untuk menjadi pemandu wisata.”

Sumari dan teman-temannya membentuk kelompok pemandu wisata sepeda, kompak dengan sepeda lawas. Mereka berbagi pengetahuan mereka tentang Kota Tua kepada pengunjung. “Kami telah mengecat sepeda-sepeda agar bagus untuk difoto, dan para wisatawan menyukainya,” ujar Sumari yang menghabiskan waktu senggangnya untuk membaca buku-buku sejarah.

“Orang-orang suka mendengar cerita dari masa lalu dan meraba kondisinya di masa silam.” Sumari merasa malu akan kondisi Kota Tua, tetapi ia masih melihat adanya potensi yang bisa dikuak. Saya membonceng sepedanya dan dibawa berkeliling melihat Batavia tempo dulu. “Lihat ini,” ujar Sumari sambil mengayuh sepedanya menuju Kali Besar. “Daerah ini dulunya tempat pertemuan yang indah, bulevar besar di masa lalu dan sebetulnya masih bisa menjadi tempat seperti itu lagi. Sayangnya, baunya busuk karena air tidak lagi bergerak.”

Kami melanjutkan bersepeda ke Sunda Kelapa. Kami melewati Pasar Ikan, rumah Alda. Saya melihat sekeliling. Butuh banyak imajinasi untuk membayangkan bagaimana beberapa bangunan rusak tersebut pernah berfungsi sebagai gudang rempah-rempah. Sumari mengendus, “Anda bau kretek!” lalu terkekeh-kekeh.

Ketika kami kembali ke Lapangan Fatahillah dua jam kemudian, tempat terbuka tersebut telah dipenuhi anak-anak muda. Tempat ini po­puler sebagai lokasi bersantai generasi muda Jakarta yang ramai oleh seniman jalanan dan penjaja makanan. Jalan-jalan sekitarnya diapit beberapa bangunan cagar budaya. Het oude Gouverneurs gebouw, kini berfungsi sebagai Museum Sejarah. Sementara, Museum Wayang dahulu bekas gereja, tempat Jan Pieterszoon Coen dimakamkan.

Sumari bermimpi suatu hari Kota Tua beserta kanal dan jembatannya dapat berfungsi lagi. Seperti mayoritas penduduk di Jakarta, Sumari tidak menyadari urgensi dan tingkat keparahan tenggelamnya Jakarta.

Mari kita kembali ke rumah Sarmini, wanita yang tinggal bersama keluarganya di tepi Waduk Pluit. Sejak masa Batavia hingga kini sistem kanal dan tanggul telah mengangkut bukan hanya air, melainkan juga sampah dan limbah cair dalam jumlah besar. “Kami tidak punya pilihan selain membuang sampah ke waduk,” keluh Sarmini. Sampah memenuhi kanal yang berada tidak jauh dari rumahnya. Jakarta tidak memiliki rencana pengelolaan sampah berskala kota yang tertata. Pada musim hujan, saluran air di Jakarta berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah alami. Sampah terkumpul di hilir sehingga saluran air dan pompa pun mampet.

Saya tengah duduk di teras rumah Sarmini saat ia mengulurkan secangkir teh. Ketika mengangkat kantong teh celup, saya tiba-tiba menyadari tidak tersedianya tempat sampah untuk menaruh bekas kantong teh di situ. Sarmini tampaknya membaca pikiran saya. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengambil kantong teh dari tangan saya, dan melemparnya sejauh dua meter ke arah jalan.

Kualitas Air

Rumah Lukman dibangun langsung di atas air laut. Perahunya hanya berjarak dua menit berjalan kaki dari rumahnya. Dua kali sehari ia memeriksa jaringnya yang ditambatkan di beberapa pohon bakau yang tersisa. Lukman mengingat kembali, “Beberapa waktu yang lalu daerah ini semuanya bakau.” Ia menunjuk ke semenanjung besar yang dipenuhi apartemen mewah nan menjulang di hadapan kami. “Dulu orang-orang takut tinggal di sini karena ada penyamun dan monyet yang hidup di hutan air,” kata Lukman. Saat ini jalanya sering kosong tanpa ikan, hanya berisi sampah plastik berlapis limbah cair kental. “Saya bergabung dengan asosiasi nelayan untuk memprotes pembuangan limbah yang dibuang tanpa diolah ke Teluk Jakarta oleh pabrik-pabrik pengemasan ikan.”

Hanya beberapa ratus meter dari rumah Lukman, di seruas tanggul laut, terdapat pompa Pluit yang memompa air dari Waduk Pluit langsung ke Teluk Jakarta. “Saat hujan kondisinya jauh lebih buruk,” jelas Lukman, “karena pompa Pluit bekerja keras memompa limbah cair Jakarta langsung ke teluk.  Orang begitu rakus sampai-sampai laut telah menjadi tanah kita, dan tanah kita menjadi lautan.”

“akuarium terbalik”

Banyak tanggul laut kecil menyebar di sepanjang pantai demi menjaga Jakarta dari kenaikan muka laut, meski tak stabil. “Analogi terbaik yang bisa saya berikan untuk banjir di Jakarta adalah akuarium terbalik,” jelas Manajer Proyek NCICD Victor Coenen. “Jakarta Utara sedang tenggelam, menjadi seperti mangkuk, dan kami sedang membangun tanggul untuk menghentikan air mengalir masuk. Orang-orang berada di dalam melihat ke luar. Menjaga agar mangkuk metropolitan ini de­ngan empat juta penduduknya selamat adalah tantangan berat.”

Sistem pertahanan menggunakan polder, pompa, dan tanggul laut adalah satu-satunya pilihan bagi Jakarta yang terus tenggelam ke bawah permukaan laut. Victor melanjutkan, “Masalahnya hanya di mana lokasi infrastruktur itu hendak ditempatkan, apakah Anda ingin di pantai ataukah di lepas pantai. Kami menyarankan agar membangunnya di lepas pantai agar bebas dari semua masalah lingkungan perkotaan, bebas untuk membangun apa pun yang diinginkan, plus masih ada waktu evakuasi lebih jika terjadi masalah.”

Tantangannya, memastikan air yang mengalir keluar dari Jakarta cukup bersih untuk menutup teluk. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, tidak merasa yakin. Dia telah menyuarakan keraguannya kepada media massa terkait penutupan teluk. Ketika melawat ke Korea Selatan, Ahok mengunjungi tanggul laut Saemangeum. Ahok menyimpulkan bahwa solusi tersebut mungkin tidak seefektif yang kita harapkan. Warga Korea hanya memiliki dua sungai, sementara Jakarta memiliki 13 sungai yang tercemar berat.  Hal yang dikhawatirkan Ahok tampaknya bukan hanya kualitas air.

Jika teluk ditutup, orang akan menjuluki proyek tersebut pembangunan Septic Tank Raksasa, ungkap Victor. “Benar, jika kita tidak mengatasi masalah kualitas air sekarang, kita akan memiliki banyak kolam ‘hitam’ di darat berisi air banjir atau waduk besar yang tercemar di lepas pantai. Kualitas air akan menjadi masalah dalam setiap skenario masa depan Jakarta karena area penampungan air akibat badai dan banjir menjadi bagian penting dari sistem perlindungan kota terhadap banjir.”

Namun, proyek Tanggul Laut Raksasa juga menuai kecaman karena dipandang mematikan mata pencaharian nelayan, meski limbah hitam yang dibuang Jakarta langsung ke laut telah menyebar sejauh beberapa kilometer. “Mungkin satu-satunya cara untuk mengembalikan air biru ke Jakarta adalah dengan proyek seperti ini,” ujar Victor. “Proyek ini akan menghalangi dan mengolah air kotor dan sampah mengambang sebelum mengalir masuk ke laut,” tambahnya.

Dalam jarak selemparan batu dari rumah Sarmini, kami melihat mesin-mesin pengeruk memindahkan limbah dan lumpur setinggi 5 meter dari Waduk Pluit yang sekarang hanya berkedalaman 2 meter. Menurut Victor, waduk tersebut harus memiliki kedalaman setidaknya 5-6 meter agar dapat berfungsi dengan baik. Ketika lahan kian melangka, tepi Waduk Pluit dan banyak jalur air lainnya menjadi padat oleh penduduk. Sebagai upaya untuk mengembalikan kembali kapasitas waduk dan mengurangi banjir di kawasan tersebut, pemerintah baru-baru ini mulai bekerja membersihkan tepi waduk.

Strategi Antisipasi

Pemerintah kini tengah menuang beton untuk menaikkan ketinggian jalan akses utama setinggi 0,5 meter. Kaum berpunya turut menaikkan lantai rumah mereka mengikuti ketinggian jalan yang baru, sedangkan di rumah orang-orang yang tidak berpunya, air hujan akan membanjiri dan mengalir ke depan rumah mereka.

Saat ini 60% penduduk Jakarta menggunakan pompa air tanah untuk konsumsi rumah tangga. “Jika tenggelamnya Jakarta dapat diperlambat pada tahun-tahun mendatang, yang mengharuskan penghentian pengambilan air tanah secara hampir total, pembangunan tanggul laut raksasa sebenarnya tidak diperlukan,” jelas Jan Jaap Brinkman, seorang ahli hidrodinamika dari Deltares.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Institut Teknologi Bandung, dan Deltares menggelar diskusi internasional soal penurunan muka tanah pada Mei tahun ini. Kesimpulannya jelas: Jakarta tak memiliki banyak waktu. Namun, dengan pengelolaan air tanah yang tepat, laju penurunan muka tanah dapat direm dalam 5 -10 tahun.

Dari rumah Lukman yang dibangun di atas tanggul laut Jakarta, saya bisa melihat proyek penguatan bagian luar tanggul laut tang hampir terlaksana. Lingkungan tempat tinggal Lukman terpapar risiko penggusuran dan relokasi dalam waktu dekat. Penguatan tanggul ini merupakan bagian tahap pertama pelaksanaan Rencana Induk. 

“Jika rumah saya dibongkar, saya akan pindah ke rumah terapung di laut, sendirian,” kata Lukman. Ia tidak bisa membayangkan dirinya selain sebagai nelayan, akunya. Ayahnya adalah nelayan, demikian pula kakeknya. “Saya pikir ini sudah turun-temurun,” katanya. “Awalnya saya bekerja di bidang bangunan, kemudian memutuskan untuk menjadi nelayan.” Lukman tampaknya tidak peduli akan kemung­kinan harus menjadi nelayan air tawar.

Ketika saya menanyakan kepada Lukman apakah ia tahu tentang proyek Tanggul Laut Raksasa di Teluk Jakarta, ia menjawab, “Ya, saya tahu. Yang bentuknya berupa burung itu. Saya melihatnya di koran pembungkus makanan saya.”