Di Balik Benteng Laut Jakarta

By , Senin, 2 November 2015 | 12:30 WIB

Mari kita kembali ke rumah Sarmini, wanita yang tinggal bersama keluarganya di tepi Waduk Pluit. Sejak masa Batavia hingga kini sistem kanal dan tanggul telah mengangkut bukan hanya air, melainkan juga sampah dan limbah cair dalam jumlah besar. “Kami tidak punya pilihan selain membuang sampah ke waduk,” keluh Sarmini. Sampah memenuhi kanal yang berada tidak jauh dari rumahnya. Jakarta tidak memiliki rencana pengelolaan sampah berskala kota yang tertata. Pada musim hujan, saluran air di Jakarta berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah alami. Sampah terkumpul di hilir sehingga saluran air dan pompa pun mampet.

Saya tengah duduk di teras rumah Sarmini saat ia mengulurkan secangkir teh. Ketika mengangkat kantong teh celup, saya tiba-tiba menyadari tidak tersedianya tempat sampah untuk menaruh bekas kantong teh di situ. Sarmini tampaknya membaca pikiran saya. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengambil kantong teh dari tangan saya, dan melemparnya sejauh dua meter ke arah jalan.

Kualitas Air

Rumah Lukman dibangun langsung di atas air laut. Perahunya hanya berjarak dua menit berjalan kaki dari rumahnya. Dua kali sehari ia memeriksa jaringnya yang ditambatkan di beberapa pohon bakau yang tersisa. Lukman mengingat kembali, “Beberapa waktu yang lalu daerah ini semuanya bakau.” Ia menunjuk ke semenanjung besar yang dipenuhi apartemen mewah nan menjulang di hadapan kami. “Dulu orang-orang takut tinggal di sini karena ada penyamun dan monyet yang hidup di hutan air,” kata Lukman. Saat ini jalanya sering kosong tanpa ikan, hanya berisi sampah plastik berlapis limbah cair kental. “Saya bergabung dengan asosiasi nelayan untuk memprotes pembuangan limbah yang dibuang tanpa diolah ke Teluk Jakarta oleh pabrik-pabrik pengemasan ikan.”

Hanya beberapa ratus meter dari rumah Lukman, di seruas tanggul laut, terdapat pompa Pluit yang memompa air dari Waduk Pluit langsung ke Teluk Jakarta. “Saat hujan kondisinya jauh lebih buruk,” jelas Lukman, “karena pompa Pluit bekerja keras memompa limbah cair Jakarta langsung ke teluk.  Orang begitu rakus sampai-sampai laut telah menjadi tanah kita, dan tanah kita menjadi lautan.”

“akuarium terbalik”

Banyak tanggul laut kecil menyebar di sepanjang pantai demi menjaga Jakarta dari kenaikan muka laut, meski tak stabil. “Analogi terbaik yang bisa saya berikan untuk banjir di Jakarta adalah akuarium terbalik,” jelas Manajer Proyek NCICD Victor Coenen. “Jakarta Utara sedang tenggelam, menjadi seperti mangkuk, dan kami sedang membangun tanggul untuk menghentikan air mengalir masuk. Orang-orang berada di dalam melihat ke luar. Menjaga agar mangkuk metropolitan ini de­ngan empat juta penduduknya selamat adalah tantangan berat.”

Sistem pertahanan menggunakan polder, pompa, dan tanggul laut adalah satu-satunya pilihan bagi Jakarta yang terus tenggelam ke bawah permukaan laut. Victor melanjutkan, “Masalahnya hanya di mana lokasi infrastruktur itu hendak ditempatkan, apakah Anda ingin di pantai ataukah di lepas pantai. Kami menyarankan agar membangunnya di lepas pantai agar bebas dari semua masalah lingkungan perkotaan, bebas untuk membangun apa pun yang diinginkan, plus masih ada waktu evakuasi lebih jika terjadi masalah.”

Tantangannya, memastikan air yang mengalir keluar dari Jakarta cukup bersih untuk menutup teluk. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, tidak merasa yakin. Dia telah menyuarakan keraguannya kepada media massa terkait penutupan teluk. Ketika melawat ke Korea Selatan, Ahok mengunjungi tanggul laut Saemangeum. Ahok menyimpulkan bahwa solusi tersebut mungkin tidak seefektif yang kita harapkan. Warga Korea hanya memiliki dua sungai, sementara Jakarta memiliki 13 sungai yang tercemar berat.  Hal yang dikhawatirkan Ahok tampaknya bukan hanya kualitas air.

Jika teluk ditutup, orang akan menjuluki proyek tersebut pembangunan Septic Tank Raksasa, ungkap Victor. “Benar, jika kita tidak mengatasi masalah kualitas air sekarang, kita akan memiliki banyak kolam ‘hitam’ di darat berisi air banjir atau waduk besar yang tercemar di lepas pantai. Kualitas air akan menjadi masalah dalam setiap skenario masa depan Jakarta karena area penampungan air akibat badai dan banjir menjadi bagian penting dari sistem perlindungan kota terhadap banjir.”

Namun, proyek Tanggul Laut Raksasa juga menuai kecaman karena dipandang mematikan mata pencaharian nelayan, meski limbah hitam yang dibuang Jakarta langsung ke laut telah menyebar sejauh beberapa kilometer. “Mungkin satu-satunya cara untuk mengembalikan air biru ke Jakarta adalah dengan proyek seperti ini,” ujar Victor. “Proyek ini akan menghalangi dan mengolah air kotor dan sampah mengambang sebelum mengalir masuk ke laut,” tambahnya.

Dalam jarak selemparan batu dari rumah Sarmini, kami melihat mesin-mesin pengeruk memindahkan limbah dan lumpur setinggi 5 meter dari Waduk Pluit yang sekarang hanya berkedalaman 2 meter. Menurut Victor, waduk tersebut harus memiliki kedalaman setidaknya 5-6 meter agar dapat berfungsi dengan baik. Ketika lahan kian melangka, tepi Waduk Pluit dan banyak jalur air lainnya menjadi padat oleh penduduk. Sebagai upaya untuk mengembalikan kembali kapasitas waduk dan mengurangi banjir di kawasan tersebut, pemerintah baru-baru ini mulai bekerja membersihkan tepi waduk.

Strategi Antisipasi

Pemerintah kini tengah menuang beton untuk menaikkan ketinggian jalan akses utama setinggi 0,5 meter. Kaum berpunya turut menaikkan lantai rumah mereka mengikuti ketinggian jalan yang baru, sedangkan di rumah orang-orang yang tidak berpunya, air hujan akan membanjiri dan mengalir ke depan rumah mereka.

Saat ini 60% penduduk Jakarta menggunakan pompa air tanah untuk konsumsi rumah tangga. “Jika tenggelamnya Jakarta dapat diperlambat pada tahun-tahun mendatang, yang mengharuskan penghentian pengambilan air tanah secara hampir total, pembangunan tanggul laut raksasa sebenarnya tidak diperlukan,” jelas Jan Jaap Brinkman, seorang ahli hidrodinamika dari Deltares.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Institut Teknologi Bandung, dan Deltares menggelar diskusi internasional soal penurunan muka tanah pada Mei tahun ini. Kesimpulannya jelas: Jakarta tak memiliki banyak waktu. Namun, dengan pengelolaan air tanah yang tepat, laju penurunan muka tanah dapat direm dalam 5 -10 tahun.

Dari rumah Lukman yang dibangun di atas tanggul laut Jakarta, saya bisa melihat proyek penguatan bagian luar tanggul laut tang hampir terlaksana. Lingkungan tempat tinggal Lukman terpapar risiko penggusuran dan relokasi dalam waktu dekat. Penguatan tanggul ini merupakan bagian tahap pertama pelaksanaan Rencana Induk. 

“Jika rumah saya dibongkar, saya akan pindah ke rumah terapung di laut, sendirian,” kata Lukman. Ia tidak bisa membayangkan dirinya selain sebagai nelayan, akunya. Ayahnya adalah nelayan, demikian pula kakeknya. “Saya pikir ini sudah turun-temurun,” katanya. “Awalnya saya bekerja di bidang bangunan, kemudian memutuskan untuk menjadi nelayan.” Lukman tampaknya tidak peduli akan kemung­kinan harus menjadi nelayan air tawar.

Ketika saya menanyakan kepada Lukman apakah ia tahu tentang proyek Tanggul Laut Raksasa di Teluk Jakarta, ia menjawab, “Ya, saya tahu. Yang bentuknya berupa burung itu. Saya melihatnya di koran pembungkus makanan saya.”