Bagi pencicip super maupun tidak, masalah utama zaman sekarang, kata Julie Mennella, “adalah kita tinggal di lingkungan makanan yang berbeda dengan masa lalu evolusi kita.” Kita berburu dan meramu di toko swalayan dan restoran, dan banyak makanan prosesan yang dibeli sangat padat energi, sehingga kita dapat mencukupi keperluan kalori sehari dengan sekali makan. Industri makanan sering dikecam karena menjejali produk dengan zat-zat yang, akibat evolusi, diinginkan tubuh kita. Namun, ketika mereka mencoba membuat produk yang lebih sehat, kita tidak selalu menghargainya.
Pada 2002, ketika McDonald’s mengumumkan akan berhenti menggoreng makanan dengan minyak yang mengandung lemak trans, mereka mendapat keluhan bahwa kentang goreng mereka rasanya tidak seenak dulu—dan mungkin memang benar. Tetapi, sebagian keluhan itu berasal dari kota-kota yang belum menerapkan perubahan itu. Mengurangi garam dari makanan prosesan lebih sulit lagi. Sudah umum disepakati bahwa sebagian besar manusia makan terlalu banyak garam. Namun, jika kita memberi konsumen dua mangkuk sup yang sama persis selain kandungan garamnya, mereka biasanya lebih menyukai yang lebih asin. Jika kita menyebut salah satu sup itu rendah garam, orang biasanya memberinya nilai lebih rendah daripada versi “biasa”, meskipun kandungan garamnya sama. Perusahaan makanan mengeluh bahwa jika mereka mengurangi garam, mereka hampir terpaksa melakukannya tanpa tanda jasa—mereka tidak bisa mempromosikan versi rendah-garam seperti produsen minuman mempromosikan soda bebas-gula.
Dan bisnis minuman pun punya masalah sendiri. Belakangan ini gula menggantikan posisi lemak dan garam sebagai unsur yang dianggap paling berbahaya dalam pola makan modern, tetapi pengganti gula juga kontroversial. Tahun ini PepsiCo menghapus pemanis tanpa-kalori bernama aspartame dari Diet Pepsi, bukan karena kajian ilmiah menunjukkan zat itu berbahaya, tetapi karena aspartame memiliki reputasi buruk di kalangan konsumen yang sadar-kesehatan. Diet Pepsi baru yang bebas-aspartame ini mengandung dua pemanis lain, sukralosa dan natrium asesulfam. Tidak ada jaminan bahwa keduanya lebih aman.
Mengurangi gula lebih sulit lagi, karena reaksi anak-anak terhadapnya tidak seluruhnya terkait dengan rasa, dan hampir semua anak makan terlalu banyak gula, setidaknya di negara maju. “Rasa manis mengurangi ekspresi sakit pada masa kanak-kanak,” kata Mennella. “Rasa ini mengurangi menangis pada bayi, dan digunakan sebagai analgesik saat khitan dan pengambilan darah di tumit.” (Ini memang efek dari rasa manis, bukan gula, karena aspartame juga memberi efek yang sama.) Tanggapan anak terhadap rasa manis kadang begitu memuaskan bagi orang tua sehingga mereka malah memperkuatnya: Berapa banyak cara lain menenangkan anak yang membuahkan hasil secepat dan sebaik ini?
Namun, ada implikasi kesehatan masyarakat, dan bukan hanya peningkatan obesitas dan diabetes tipe 2 pada anak. Mennella khususnya mencemaskan “karies botol bayi”—kerusakan gigi akibat minuman yang mengandung gula, termasuk jus buah—terutama pada anak yang ditidurkan bersama botol. Gigi-tetap pada sebagian anak tumbuh dengan keadaan sudah rusak. Ini “penyakit anak utama yang sebenarnya dapat dicegah,” katanya, “dan sudah hampir mewabah.”
Bartoshuk bercerita bahwa jika konsentrasi zat asiri penguat manis di makanan tertentu ditingkatkan, kandungan gulanya mungkin dapat diturunkan tanpa mengurangi rasa manisnya. Tetapi, dia mencemaskan konsekuensi yang tidak terduga. “Begitu kita mampu menghasilkan pengalaman manis yang tidak berkalori, tidak beracun, dan tidak memiliki ciri berbahaya—apa makna hal itu bagi otak?” katanya. “Kita tahu bahwa rasa manis menggunakan jalur saraf yang sangat mirip dengan jalur yang digunakan obat-obatan adiktif, yang diyakini membajak sirkuit yang dihasilkan evolusi untuk makanan dan khususnya untuk rasa manis. Jadi, apakah perbuatan kita ini sebenarnya buruk? Saya tidak tahu.” Mendapatkan sesuatu tanpa konsekuensi buruk tampaknya bagus, tambahnya, “tetapi alam kadang tidak bersahabat.”
Kesukaan kita pada rasa manis dapat membuat kita ketagihan dalam cara-cara yang tidak kita sadari. Kajian baru-baru ini oleh Centers for Disease Control and Prevention menemukan bahwa rokok elektronik mendadak sangat populer di kalangan remaja—pada rokok ini, elemen pemanas berdaya baterai mengubah larutan pembawa nikotin menjadi uap, yang kemudian diisap. “Vaping”, atau mengisap rokok elektronik, membantu banyak perokok lama mengurangi rokok sungguhan, tetapi juga menghilangkan hal yang biasanya merintangi orang mulai merokok: rasa dan bau yang menjijikkan. Vaping dapat menggoda remaja mulai merokok elektronik, sebagian dengan mengeksploitasi kesukaan mereka pada rasa manis—sebagian cairan vaping populer mengandung sukralosa, dan para pengguna muda sering menambahkannya sendiri.
Kabar baiknya, preferensi rasa bawaan ini tidaklah permanen. Orang yang berhasil mengurangi garam dalam pola makannya biasanya menjadi tidak terlalu tahan dengan makanan yang sangat asin. Dan penolakan alami kita terhadap brokoli, kubis, dan makanan lain yang sehat tapi pahit dapat diatasi melalui pengalaman—terutama jika dimulai pada usia dini. Penelitian Mennella menunjukkan bahwa preferensi cita rasa pada bayi dipengaruhi oleh pola makan ibunya semasa hamil dan oleh pola makan mereka sendiri setelah lahir. “Bayi dapat belajar menyukai beragam makanan,” katanya. “Tetapi, mereka harus mencicipi makanannya dulu agar dapat menyukainya.” Nasihat utamanya bagi orang tua adalah menjadi teladan dan tidak menyerah. Ketika bayi dalam video brokoli itu ditawari sesendok lagi, dia tetap bergidik—tetapi membuka mulut.