Sains Kelezatan

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Julie Mennella, ahli biologi yang mempelajari indra pengecap pada bayi dan batita, sering merekam eksperimennya pada video. Ketika saya mengunjunginya baru-baru ini di Monell Chemical Senses Center di Philadelphia, dia menunjukkan video seorang bayi duduk di kursi, sedang diberi makanan manis oleh ibunya. Hampir begitu sendok itu masuk ke mulut si bayi, wajahnya menjadi cerah kegirangan, dan bibirnya mengerucut seperti hendak menyusu. Lalu Mennella menunjukkan video lain, bayi lain yang pertama kali mencicipi brokoli, yang, seperti banyak sayur hijau, memiliki rasa yang agak pahit. Bayi itu meringis, hendak muntah, dan bergidik. Dia memukul-mukul nampan pada kursi bayinya. Dia membuat gerakan bahasa isyarat yang berarti “hentikan.”

ASI mengandung laktosa, salah satu bentuk gula. “Hal yang kami ketahui adalah, bayi dilahirkan dengan menyukai rasa manis,” kata Mennella. “Beberapa ratus tahun yang lalu, kalau bayi tidak menyusu pada ibunya atau pada ibu lainnya, peluang hidup bayi itu hampir nol.” Ketidaksukaan pada makanan pahit juga bawaan lahir, kata Mennella, dan hal ini juga bermanfaat untuk bertahan hidup: Membantu mencegah kita menelan racun, yang merupakan hasil evolusi tumbuhan, sebagai pertahanan agar  tumbuhan itu tidak dimakan—termasuk juga oleh manusia.

Makanan atau racun? Vertebrata muncul lebih dari 500 juta tahun silam di lautan, dan evolusi membentuk indra pengecap terutama sebagai cara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Semua vertebrata memiliki reseptor rasa yang mirip dengan kita, meski tidak selalu di tempat yang sama. Bahkan, meskipun hanya memiliki satu atau dua jenis reseptor untuk rasa manis, lidah kita memiliki setidaknya dua puluh empat jenis reseptor untuk pahit—tanda betapa pentingnya menghindari racun bagi leluhur kita.

Tantangan yang dihadapi sebagian besar manusia zaman sekarang berbeda: Kenikmatan yang diperoleh dari makananlah yang menimbulkan masalah. Lingkungan makanan modern merupakan sumber kenikmatan besar, jauh lebih kaya daripada lingkungan tempat leluhur kita berevolusi. Kesukaan yang kita warisi dari mereka—beserta industri makanan yang kian mahir menawarkan makanan yang kita sukai—sering menyebabkan kita memiliki kebiasaan yang tidak sehat.

Kegandrungan kita pada makanan telah mendorong perkembangan pesat dalam penelitian rasa. Indra ini ternyata sangat rumit—lebih rumit daripada penglihatan.  Para ilmuwan telah mencapai kemajuan besar pada beberapa tahun terakhir dalam mengidentifikasi reseptor rasa dan gen terkait, tetapi masih jauh dari memahami mekanisme indriawi yang menghasilkan pengalaman makan kita.

Aristoteles menghitung tujuh rasa dasar: asin, manis, pahit, dan asam, ditambah sepat, tajam, dan keras. Zaman sekarang kebanyakan pakar menyepakati lima: empat rasa yang dikenal anak-anak dan umami, yang pertama kali dijelaskan oleh ilmuwan Jepang lebih dari seabad yang lalu. Umami adalah rasa gurih yang memenuhi mulut, yang ditimbulkan atau diperkuat oleh makanan seperti kecap, tomat ranum atau dimasak, dan monosodium glutamat (MSG). Baru-baru ini para peneliti mengusulkan setidaknya enam rasa dasar lain. Lemak dan kalsium termasuk calon terdepan—keduanya diyakini dideteksi oleh reseptor pada lidah—tetapi belum ada konsensus.

Rasa tak dihasilkan oleh reseptor rasa semata; reseptor harus terhubung ke pusat rasa di otak. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, ilmuwan menemukan reseptor yang mirip dengan reseptor lidah pada bagian tubuh lain, termasuk pankreas, usus, paru-paru, dan testis. Kita tidak “mengecap” apa-apa dengan reseptor tersebut, tetapi jika misalnya kita menghirup zat yang tak dikehendaki, reseptor pahit di paru-paru akan mengirim sinyal ke otak, kita pun batuk.

Dalam proses evolusinya, spesies hewan kadang kehilangan rasa yang dulu dimiliki leluhurnya. Kucing dan banyak karnivor obligat lain, yang hanya dapat makan daging, tak lagi mampu mendeteksi gula. (Ketika mencecap susu, kucing menikmati hal lain—mungkin lemak.) Sebagian besar paus dan lumba-lumba, yang menelan mangsa bulat-bulat, sudah kehilangan hampir semua reseptor rasa.

Hal serupa itu juga mungkin terjadi pada manusia. Di Monell, ilmuwan bernama Michael Tordoff memberi saya cangkir obat plastik yang berisi cairan jernih dan meminta saya meminumnya. Rasanya seperti air. Dia berkata, “Anda tidak merasakan apa-apa, tetapi tikus dan celurut lebih menyukai ini daripada hampir semua hal lain yang pernah kami ujikan. Kalau diberi sebotol ini dan sebotol gula, tikus itu akan minum yang ini lebih banyak.”

Cairan itu mengandung maltodekstrin, sejenis zat pati yang merupakan bahan umum dalam minuman olahraga. Jika atlet manusia memasukkan larutan maltodekstrin semulut penuh dan langsung meludahkannya, kata Tordoff, atlet itu akan berkinerja lebih baik, meskipun tidak atau hampir tidak mencicipi atau mencerna apa-apa. “Saya tidak punya penjelasan yang baik,” lanjutnya. “Zat pati ini memiliki keistimewaan yang tidak kita pahami. Mungkin ada reseptor tersendiri untuk zat pati atau untuk maltodekstrin secara khusus. Namun, reseptor ini sudah tidak lagi tersambung ke bagian sadar otak.”

Meskipun peta lidah tidak ada, di otak mungkin ada peta rasa. Daerah yang disebut korteks pengecap dilaporkan mengandung kelompok-kelompok sel saraf yang khusus menanggapi setiap rasa dasar. Sinyal dari lidah sampai ke kelompok itu setelah melewati batang otak, dan dalam korteks pengecap, atau mungkin dalam perjalanan ke situ, sinyal itu menjadi bagian dari pengalaman yang rumit dan baru dipahami sebagian, yang umumnya disebut rasa, tetapi semestinya disebut cita rasa. Menurut Linda Bartoshuk, hanya satu bagian kecil pengalaman makan kita yang berasal dari bintil rasa. Sisanya sebenarnya hasil dari semacam pembauan terbalik.

Ini dapat diperagakan sendiri dengan permen. Kalau kita menjepit hidung dan mengunyah permen misalnya berwarna putih tanpa nama, lidah kita akan langsung mencatat bahwa rasanya manis. Rasa manis itu berasal dari gula, dan itulah rasa utama permen. Tetapi, kalau hidung dilepas, kita akan langsung menangkap cita rasanya: Ah, vanila. Sebaliknya, kalau hidung dipencet dan lidah ditetesi vanila, kita tidak akan merasakan apa-apa, karena vanila tidak memiliki rasa—hanya memiliki cita rasa yang tidak dapat dideteksi dengan hidung yang tertutup.

Ketika kita mengunyah, menelan, dan mengembuskan napas, Bartoshuk menjelaskan, “molekul asiri dari makanan akan melayang naik di belakang langit-langit mulut, masuk ke rongga hidung dari belakang,” seperti asap yang menaiki cerobong. Dalam rongga hidung, molekul itu berikatan dengan reseptor bau—dan reseptor itulah, yang jumlahnya antara 350-400 jenis pada manusia, yang merupakan sumber utama hal yang kita rasakan sebagai cita rasa. Ini berbeda dengan rasa, yaitu sensasi yang berasal dari bintil rasa, dan juga berbeda dengan pembauan biasa, karena otak membedakan antara bau yang kita endus melalui lubang hidung (olfaksi ortonasal) dan bau yang mencapai rongga hidung dari belakang ketika kita makan (olfaksi retronasal)—meskipun keduanya dideteksi oleh reseptor yang sama.

“Otak memerhatikan apakah kita sedang mengendus atau mengunyah, dan menelan,” Bartoshuk melanjutkan, “memperlakukan sinyal itu secara berbeda. Informasi bau dari olfaksi retronasal merambat ke bagian otak yang berbeda—bagian yang juga menerima informasi dari lidah. Otak memadukan olfaksi retronasal dan rasa, menciptakan cita rasa, meskipun aturan pemaduan itu tak terlalu diketahui.”

Permen juga bisa digunakan untuk peragaan lain, kata Bartoshuk. Ketika melepaskan hidung saat mengunyah, kita tidak hanya mengenali cita rasanya; permen itu juga terasa lebih manis—efek yang bukan disebabkan oleh gula, yang tidak mengandung zat asiri dan karenanya tidak berdampak pada reseptor bau. Penjelasannya, katanya, adalah bahwa bahan lain dalam permen mengandung molekul asiri yang entah bagaimana “memperkuat pesan manis,” sehingga otak mengira permen itu mengandung lebih banyak gula daripada sebenarnya. Penguat manis seperti itu umum terdapat pada buah, mungkin karena energi yang diperlukan untuk membuatnya lebih rendah daripada untuk membuat gula, tetapi tetap efektif memikat serangga serta penyerbuk dan penyebar biji lainnya. “Stroberi memiliki sekitar 30 zat asiri yang memperkuat manis,” kata Bartoshuk, “dan ketika semua sinyal itu digabungkan, Anda menyadari bahwa sebagian besar rasa manis itu berasal dari interaksi zat-zat itu dalam otak.”

Efek itu terjadi meskipun zat penguat itu sendiri tidak manis. Bartoshuk dan rekan-rekannya telah mengisolasi satu zat dari tomat yang “baunya seperti kaus kaki kotor.”

Hidup tanpa olfaksi retronasal tidak terlalu menyenangkan. Barb Stuckey adalah direktur inovasi di Mattson, perusahaan pengembangan makanan dan minuman di California. Ia pernah dihubungi oleh perempuan yang kehilangan indra pembau dalam kecelakaan mobil. Indra pengecapnya—bintil rasa di lidah dan hubungannya ke otak—tampaknya utuh, tetapi tidak ada lagi makanan yang terasa enak, karena hubungan antara reseptor bau di hidungnya dan otaknya telah terputus. Dia tidak bisa merasakan sebagian besar cita rasa makanan yang dikonsumsinya. “Dia sedang dalam proses arbitrase dengan penabraknya,” kata Stuckey, “dan dia perlu membuktikan bahwa dia kini cacat. Itu sulit karena dia tampak sehat.”

Untuk membantu perempuan itu memeragakan gangguan yang dialaminya, Stuckey memotong-motong semacam lontong hambar dan membumbuinya dengan campuran bahan acuan standar untuk kelima rasa dasar: gula (manis), garam dapur (asin), asam sitrat (asam), kafeina murni (pahit), dan monosodium glutamat (gurih). Semua bahan itu praktis tidak mengandung zat asiri, sehingga tidak memengaruhi reseptor bau. “Saya mengirim potongan lontong kepada perempuan itu dan menyuruhnya memberikannya kepada petugas arbitrase serta menjelaskan bahwa seperti inilah rasa semua makanan bagi orang yang tidak memiliki indra pembau,” kata Stuckey.

Dia menawarkan pengalaman yang sama kepada saya, dan saya memasukkan sepotong lontong ke mulut dan mengunyah. Bumbunya menciptakan sensasi yang agak rumit dan kimiawi di lidah, sementara saya mengalami kelima rasa dasar sekaligus. Namun, karena hampir tidak ada zat asiri, saya menangkap sangat sedikit cita rasa, dan tidak membuat saya ingin memakannya lagi. “Seperti itulah rasa setiap santapan baginya sekarang—piza, lobster, apa pun,” kata Stuckey. “Terbayang, tidak?” Perempuan itu menang dalam arbitrase itu.

Anehnya, orang yang kehilangan hanya indra perasa, lebih tak dapat menikmati makan, meskipun bintil rasa berperan relatif kecil bagi cita rasa. Tampaknya, alasan utamanya adalah jika reseptor rasa di lidah tidak berfungsi, otak umumnya mengabaikan input dari olfaksi retronasal. Stuckey menduga rasa dasar juga membentuk “struktur” cita rasa. “Saya menganggap rasa dasar sebagai balok penopang, palang baja,” katanya. “Ada beberapa makanan yang, tanpa rasa pahit yang terkandung secara alami, terasa sangat lembek dan datar dan satu dimensi. Tomat, misalnya.”

Selain bekerja di Mattson, Stuckey mengajar mata kuliah di San Francisco Cooking School yang disebut “Ilmu Dasar Rasa.” “Kebanyakan sekolah kuliner tidak mengajari muridnya mencicipi sebelum mulai memasak,” katanya. “Langsung saja masuk ke keterampilan pisau, misalnya. Tetapi, bagaimana mungkin kita mengawali pendidikan tentang makanan tanpa komponen cita rasa?” Dia dan murid-muridnya berlatih dengan membuat saus barbekyu. Sebagian besar bahan yang disediakannya dapat ditebak: saus tomat, pasta tomat, gula, madu, asap cair, paprika. Tetapi, juga ada satu nampan bahan yang rasa dominannya pahit: kopi, kakao, teh, cairan alkohol pahit. “Ini tidak intuitif, karena kita tidak menganggap saus barbeku itu pahit, tetapi kalau mencicipinya sebelum dan setelah ditambahi bahan pahit, kita menyadari bahwa rasa pahit itu mengubah rasa keseluruhan. Rasa pahit menambahkan nuansa yang lebih kompleks.” Di rumah, Stuckey menggunakan espresso larut—kopi instan—sebagai rasa pahit kompleks untuk banyak masakan, dan terutama untuk saus yang manis atau kemanis-manisan.

Laboratorium penelitian Mattson memiliki banyak peralatan uji canggih, tetapi di salah satunya saya bertemu dengan tiga peneliti yang sedang mengunyah serius dan menatap cangkir plastik. Sebuah pabrik makanan telah membayar Mattson untuk mereplikasi masakan beras merah pedas yang dijual salah satu pesaingnya, dan analisis kimia tidaklah memadai bagi orang-orang berjas lab putih. “Indra pengecap manusia adalah perangkat analisis paling canggih,” kata Stuckey. “Makanan harus kita cicipi sendiri.”

Pada akhir 1980-an Linda Bartoshuk, yang kala itu staf pengajar di Yale, menemukan bahwa ada segelintir orang yang dijulukinya sebagai pencicip super—orang yang memiliki bintil rasa begitu banyak dan padat sehingga mengalami rasa dasar dengan sangat intens. Itu tidak selalu bagus: Pencicip super lebih menikmati makanan yang mereka sukai daripada pencicip biasa, tetapi makanan yang tidak mereka sukai juga lebih banyak, terutama yang bercita rasa kuat. Di Monell saya melihat peragaan yang gamblang tentang betapa berbedanya pengalaman seorang pencicip biasa. Setelah Michael Tordoff meminta saya mencicipi maltodekstrin, ahli genetika bernama Danielle Reed (istri Tordoff) meminta saya minum cairan jernih lain dalam cangkir obat plastik. Sekali lagi saya tidak merasakan apa-apa.

Hakan Ozdener, rekan Reed, kebetulan lewat di luar pintu. Reed memanggilnya dan memberinya secangkir larutan yang sama. Sesaat setelah larutan itu menyentuh bibirnya, Ozdener meringis, seakan baru minum bensin.

“Itu PTC,” kata Reed. “Feniltiokarbamida. Tujuh puluh persen orang Kaukasia buta-rasa terhadapnya, tetapi bagi yang mampu mencicipinya, rasanya sangat pahit.” Dan bagi sebagian orang, pahit tak tertanggung—Bartoshuk menemukan pencicip-super saat sedang menangani PTC. Konsentrasi larutan milik Reed sangat rendah, hampir seperti homeopati, tetapi Ozdener tetap megap-megap. (“Orang takut mengambil jalan lewat kantor saya,” kata Reed.) Sebagai pencicip-super rasa pahit, Ozdener lebih kecil kemungkinan akan menyukai kopi Starbucks atau sayur rapini, dibanding saya. Di sisi lain, Tordoff memberi tahu saya kemudian, Ozdener mungkin tidak terlalu rentan terhadap infeksi saluran pernapasan atas—reseptor pendeteksi PTC juga terletak di hidung, tampaknya mendeteksi bakteri tertentu dan mendorong tubuh kita untuk mengusirnya.

Bagi pencicip super maupun tidak, masalah utama zaman sekarang, kata Julie Mennella, “adalah kita tinggal di lingkungan makanan yang berbeda dengan masa lalu evolusi kita.” Kita berburu dan meramu di toko swalayan dan restoran, dan banyak makanan prosesan yang dibeli sangat padat energi, sehingga kita dapat mencukupi keperluan kalori sehari dengan sekali makan. Industri makanan sering dikecam karena menjejali produk dengan zat-zat yang, akibat evolusi, diinginkan tubuh kita. Namun, ketika mereka mencoba membuat produk yang lebih sehat, kita tidak selalu menghargainya.

Pada 2002, ketika McDonald’s mengumumkan akan berhenti menggoreng makanan dengan minyak yang mengandung lemak trans, mereka mendapat keluhan bahwa kentang goreng mereka rasanya tidak seenak dulu—dan mungkin memang benar. Tetapi, sebagian keluhan itu berasal dari kota-kota yang belum menerapkan perubahan itu. Mengurangi garam dari makanan prosesan lebih sulit lagi. Sudah umum disepakati bahwa sebagian besar manusia makan terlalu banyak garam. Namun, jika kita memberi konsumen dua mangkuk sup yang sama persis selain kandungan garamnya, mereka biasanya lebih menyukai yang lebih asin. Jika kita menyebut salah satu sup itu rendah garam, orang biasanya memberinya nilai lebih rendah daripada versi “biasa”, meskipun kandungan garamnya sama. Perusahaan makanan mengeluh bahwa jika mereka mengurangi garam, mereka hampir terpaksa melakukannya tanpa tanda jasa—mereka tidak bisa mempromosikan versi rendah-garam seperti produsen minuman mempromosikan soda bebas-gula.

Dan bisnis minuman pun punya masalah sendiri. Belakangan ini gula menggantikan posisi lemak dan garam sebagai unsur yang dianggap paling berbahaya dalam pola makan modern, tetapi pengganti gula juga kontroversial. Tahun ini PepsiCo menghapus pemanis tanpa-kalori bernama aspartame dari Diet Pepsi, bukan karena kajian ilmiah menunjukkan zat itu berbahaya, tetapi karena aspartame memiliki reputasi buruk di kalangan konsumen yang sadar-kesehatan. Diet Pepsi baru yang bebas-aspartame ini mengandung dua pemanis lain, sukralosa dan natrium asesulfam. Tidak ada jaminan bahwa keduanya lebih aman.

Mengurangi gula lebih sulit lagi, karena reaksi anak-anak terhadapnya tidak seluruhnya terkait dengan rasa, dan hampir semua anak makan terlalu banyak gula, setidaknya di negara maju. “Rasa manis mengurangi ekspresi sakit pada masa kanak-kanak,” kata Mennella. “Rasa ini mengurangi menangis pada bayi, dan digunakan sebagai analgesik saat khitan dan pengambilan darah di tumit.” (Ini memang efek dari rasa manis, bukan gula, karena aspartame juga memberi efek yang sama.) Tanggapan anak terhadap rasa manis kadang begitu memuaskan bagi orang tua sehingga mereka malah memperkuatnya: Berapa banyak cara lain menenangkan anak yang membuahkan hasil secepat dan sebaik ini?

Namun, ada implikasi kesehatan masyarakat, dan bukan hanya peningkatan obesitas dan diabetes tipe 2 pada anak. Mennella khususnya mencemaskan “karies botol bayi”—kerusakan gigi akibat minuman yang mengandung gula, termasuk jus buah—terutama pada anak yang ditidurkan bersama botol. Gigi-tetap pada sebagian anak tumbuh dengan keadaan sudah rusak. Ini “penyakit anak utama yang sebenarnya dapat dicegah,” katanya, “dan sudah hampir mewabah.”

Bartoshuk bercerita bahwa jika konsentrasi zat asiri penguat manis di makanan tertentu ditingkatkan, kandungan gulanya mungkin dapat diturunkan tanpa mengurangi rasa manisnya. Tetapi, dia mencemaskan konsekuensi yang tidak terduga. “Begitu kita mampu menghasilkan pengalaman manis yang tidak berkalori, tidak beracun, dan tidak memiliki ciri berbahaya—apa makna hal itu bagi otak?” katanya. “Kita tahu bahwa rasa manis menggunakan jalur saraf yang sangat mirip dengan jalur yang digunakan obat-obatan adiktif, yang diyakini membajak sirkuit yang dihasilkan evolusi untuk makanan dan khususnya untuk rasa manis. Jadi, apakah perbuatan kita ini sebenarnya buruk? Saya tidak tahu.” Mendapatkan sesuatu tanpa konsekuensi buruk tampaknya bagus, tambahnya, “tetapi alam kadang tidak bersahabat.”

Kesukaan kita pada rasa manis dapat membuat kita ketagihan dalam cara-cara yang tidak kita sadari. Kajian baru-baru ini oleh Centers for Disease Control and Prevention menemukan bahwa rokok elektronik mendadak sangat populer di kalangan remaja—pada rokok ini, elemen pemanas berdaya baterai mengubah larutan pembawa nikotin menjadi uap, yang kemudian diisap. “Vaping”, atau mengisap rokok elektronik, membantu banyak perokok lama mengurangi rokok sungguhan, tetapi juga menghilangkan hal yang biasanya merintangi orang mulai merokok: rasa dan bau yang menjijikkan. Vaping dapat menggoda remaja mulai merokok elektronik, sebagian dengan mengeksploitasi kesukaan mereka pada rasa manis—sebagian cairan vaping populer mengandung sukralosa, dan para pengguna muda sering menambahkannya sendiri.

Kabar baiknya, preferensi rasa bawaan ini tidaklah permanen. Orang yang berhasil mengurangi garam dalam pola makannya biasanya menjadi tidak terlalu tahan dengan makanan yang sangat asin. Dan penolakan alami kita terhadap brokoli, kubis, dan makanan lain yang sehat tapi pahit dapat diatasi melalui pengalaman—terutama jika dimulai pada usia dini. Penelitian Mennella menunjukkan bahwa preferensi cita rasa pada bayi dipengaruhi oleh pola makan ibunya semasa hamil dan oleh pola makan mereka sendiri setelah lahir. “Bayi dapat belajar menyukai beragam makanan,” katanya. “Tetapi, mereka harus mencicipi makanannya dulu agar dapat menyukainya.” Nasihat utamanya bagi orang tua adalah menjadi teladan dan tidak menyerah. Ketika bayi dalam video brokoli itu ditawari sesendok lagi, dia tetap bergidik—tetapi membuka mulut.