Tanah Air Kami: Haiti

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Para siswa fotografer Haiti, yang berusia antara 14 hingga pertengahan 30-an, berasal dari seluruh penjuru negeri dan beraneka ragam latar belakang. Mandat yang mereka emban sangat sederhana namun mendalam: Menunjukkan kepada dunia sesuatu yang jarang terlihat dari Haiti—dari sudut pandang mereka. Bukan hanya negara yang kerap dilanda bencana dan gempa. Melainkan, tempat yang kaya akan sinar matahari dan kemilau laut. Tempat yang merenggut perhatian dengan gambar anak sekolah berseragam rapi, semarak oleh musik rancak, dan penari yang seolah-olah muncul begitu saja seraya meniup trompet bambu di tengah riuh pesta jalanan. Tempat yang sarat kebanggaan dan kesempatan.

“Itu bagus, karena penduduk Haiti sudah jemu melihat cerita-cerita di berbagai surat kabar asing tentang betapa tidak berdayanya kami,” kata Junior St. Vil, penerjemah dan konsultan perjalanan saya, yang juga sarjana hukum. “Ada banyak keindahan di sini, sangat banyak potensi.” St. Vil mengusulkan kepada saya untuk menemui pendeta Vodou, atau houngan, di Arcahaie, kota pesisir yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Port-au-Prince.

Saya mengunjungi kuil itu pada suatu sore yang sangat panas pada pertengahan Agustus. Seorang asisten menjelaskan bahwa sang pendeta lelah karena terjaga semalaman untuk memberikan jasa telepati bagi klien di Miami. Namun pria yang sangat dihormati itu, yang meminta saya merahasiakan namanya, tetap keluar mengenakan baret wol hitam, kaus poliester bermotif macan tutul, celana pendek selancar hitam, dan kalung rantai emas. Ia mengingatkan saya pada gambaran Hollywood untuk diktator kecil-kecilan dari Afrika yang tengah berlibur.

“Apakah Anda termasuk yang setuju bahwa penduduk Haiti tidak mampu menyelesaikan urusan mereka sendiri?” tanyanya. “Bahwa kami anak-anak yang butuh pengawasan?” Dia berbicara dengan perlahan dan datar. Semerbak wewangian yang baru saja dipersembahkan pada para roh Vodou, menggantung di udara. Titik lelehan lilin terlihat di lantai yang telah ditaburi tepung—ritual rumit untuk mendatangkan para roh, yang disebut vévés—di tengah kuil.

Vodou mengakui keberadaan dewa tertinggi, Bondye, bahasa Kreol untuk Bon Dieu (Dewa yang Baik), namun menujukan permohonan spiritual harian—keberhasilan bisnis, kebahagiaan dalam percintaan—kepada sejumlah roh, atau Iwas, yang merupakan penjelmaan dari Bondye. Sebagian besar dipinjam dari panteon Afrika Barat dan Kongo dan memiliki kekuatan setara dengan para santo Katolik Roma. Pada awalnya Vodou adalah agama para budak di pulau itu, yang kemudian tetap terpatri di kebudayaan keturunan mereka—dengan kata lain, nyaris semua orang.

Agama mayoritas yang oleh orang luar dianggap sulit dipahami dan mustahil dikendalikan merupakan ancaman bagi siapa pun yang berharap memiliki kekuasaan penuh. Ketika para majikan kolonial dari Prancis mencoba untuk memberangusnya pada abad ke-17 dan ke-18, ibadah dilaksanakan secara diam-diam. Setelah negara ini meraih kemerdekaan, pada 1804, golongan elite Haiti melakukan segalanya untuk memusnahkan Vodou. Agama ini kembali dijalankan di bawah tanah. Sejak 1915 hingga 1934, ketika Amerika Serikat menduduki Haiti, Marinir AS merobohkan kuil-kuil Vodou, menyita gendang-gendang suci, dan agama ini harus kembali bersembunyi.

Saat ini Vodou bisa dilihat di mana-mana. Di tempat-tempat terbuka dan rumah-rumah pribadi terdapat altar yang dipersembahkan kepada roh-roh Vodou. Seluruh bagian dari Pasar Besi di Port-au-Prince digunakan untuk memperdagangkan ramuan Vodou, karya seni Vodou, dan berember-ember kura-kura hidup—“hewan piaraan Vodou,” papar penjualnya. Walaupun keberadaannya menjadi bukti kekuatan daya tahan, Vodou tetap berkesan sulit dimengerti dan penuh rahasia.

“Kami tak membutuhkan janji manis bantuan asing,” kata sang pendeta, menunjuk kuilnya. “Kuil ini dibangun dan dihias sepenuhnya oleh masyarakat, secara suka rela.” Dia bersandar di kursinya. “Semangat Haiti tidak bisa dihancurkan. Bencana terbesar sekalipun tak akan sanggup memusnahkan kami.”

Haiti adalah negara di belahan bumi bagian barat yang paling rawan dampak bencana alam. Badai dan banjir wajar terjadi. Gempa pertama yang tercatat dalam sejarah, terjadi pada 1562. Gempa bumi tidak terjadi sekerap badai dan banjir, namun sejak awal 1900-an batu cetak beton dan konstruksi beton yang diperkuat—yang lebih tahan terhadap angin, api, dan air—digunakan untuk membangun rumah, rumah sakit, dan sekolah. Namun saat bumi bergetar, bangunan beton mudah retak dan ambruk.

Gempa terakhir yang berdaya rusak paling besar di Haiti—magnitudo 7—melanda bagian barat Port-au-Prince pada 12 Januari 2010. Korban jiwa tidak terhitung banyaknya. Pemerintah Haiti akhirnya menetapkan angka 316.000. Sebuah tim yang didanai U.S. Agency for International Development (USAID) memperkirakan angka sesungguhnya tidak melampaui 85.000. Akademisi Amerika memperkirakan korban tewas: 158.000.

Bersama setiap bencana, dalam upaya memberi bantuan, berbagai organisasi non-pemerintahan asing dan para misionaris bisa dipastikan akan membanjiri negara ini. Sebagian orang asing hanya tinggal selama beberapa hari, ibarat berlibur sambil berderma. Namun, sebagian lain­nya menetap bertahun-tahun untuk menjalan­kan tugas melelahkan, yang kerap bersifat vital, di negara yang miskin fasilitas dasar ini. Ada le­bih dari 4.000 LSM yang terdaftar di Haiti, tetapi tidak ada organisasi pemerintah atau siapa pun yang berwenang melakukan pengawasan. Tidak ada hitungan formal mengenai efektivitas bantuan, bahkan tidak ada hitungan pasti jumlah misionaris di sana.

“Kami belum belajar untuk menutup pintu bagi mekanik yang ingin datang dan memperbaiki kami,” kata Nixon Boumba, aktivis hak azasi manusia Haiti. “Mereka mengganti komponen, tetapi tidak memperbaiki mobil. Dan tentu saja, keadaan semakin buruk setelah gempa. Orang sangat mengharapkan bantuan. Mereka bisa dibilang menggapai-gapai untuk mendapatkan pertolongan.” Dia merentangkan kedua tangannya, menirukan mayat hidup. “Tetapi setelah terlalu lama seperti itu, kita bisa berubah menjadi zombie sungguhan.”

Sumbangan internasional yang diperoleh Haiti setelah bencana mencapai enam miliar dolar, namun hanya 9,1 persen yang disalurkan secara langsung ke pemerintah dan kurang dari 0,6 persen yang diterima LSM dan sektor bisnis.