Tanah Air Kami: Haiti

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Ketika berbicara tentang kekayaan di bawah kaki penduduk Haiti, Boumba tidak sedang bermetafora. Nilai emas dan bahan mineral lainnya—tembaga, perak, iridium—yang tersimpan di tanah Haiti belum diketahui, tetapi pengeboran eksplorasi memperkirakan nilai sebesar 13,5 triliun rupiah. Pada Desember 2012 Kementerian Energi dan Pertambangan menerbitkan tiga izin pertama untuk menambang emas dan tembaga. Seorang anggota parlemen kemudian mengeluh karena kabar tentang izin itu didengarnya dari radio. Dua bulan kemudian senat menerbitkan resolusi tak mengikat untuk menuntut moratorium penambangan. Untuk mengurai kebuntuan, pejabat pemerintah Haiti mengundang World Bank untuk merancang ulang undang-undang pertambangan, yang kemudian dilaksanakan dengan melibatkan konsultasi tertutup bersama pejabat dari perusahaan pertambangan.

Pada Januari 2015, dengan bantuan Global Justice Clinic dari New York University School of Law’s dan Accountability Counsel yang berkantor di California, Haiti Mining Justice Collective mengajukan keluhan terhadap World Bank. Di situ disampaikan bahwa penduduk Haiti telah dikesampingkan dalam upaya yang didanai oleh World Bank untuk merancang ulang undang-undang baru. Undang-undang ini akan digunakan untuk menarik minat para investor asing, untuk mendanai penambangan emas dan bahan-bahan mineral lainnya di Haiti. Pada Februari, Inspection Panel—badan untuk menerima keluhan dari mereka yang terkena dampak proyek World Bank—menolak mendaf­tarkan keluhan ini karena alasan teknis.

Beberapa aktivis Haiti memandang kedekatan hubungan antara World Bank dengan perusahaan pertambangan asing dan kelompok-kelompok masyarakat sipil Haiti, sebagai ulangan melelahkan dari kedatangan beras murah AS yang menyebabkan bencana. “Rekolonisasi terjadi dalam dua bentuk,” Boumba memperingatkan. “Entah dari kekuatan asing yang memanfaatkan ruang Anda untuk menjajah pasar Anda dengan produk-produk mereka, atau mereka langsung mencuri harta Anda. Namun demikian, ada sekelompok rakyat Haiti yang telah siap melawan kebiasaan ekstraktif ini.”

Dia bercerita tentang Samuel Nesner, petani dan aktivis muda dari ujung barat laut Haiti yang dalam waktu senggangnya menjadi relawan untuk membantu para petani agar lebih memahami hak-hak mereka, juga bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang hendak mengangkat bahan mineral dari lahan mereka.

Hanya dibutuhkan sekitar enam jam untuk berkendaraan dari Port-au-Prince menuju Chansolme, komunitas di Trois Riviéres. Namun tempat itu seolah berada di negara lain, tempat bernaung dan berkembang, selayak­nya sebuah rumah. Pohon mangga dan palem meng­apit jalan tanah kasar. Kadang-kadang pohon ceiba terlihat, menjulang hingga 60 meter dengan jalinan akar menyangga batang. Dianggap suci oleh Loko—roh pelindung tumbuhan dan suaka—pohon-pohon itu belum pernah ditebang.

Nesner, 28, menemui saya di Chansolme. Seluruh keluarganya menyandang nama keluarga Nelner, namun ketika Samuel lahir, ibunya, yang buta huruf, menyuruh orang lain menuliskan namanya di akta kelahiran. “Sepertinya saya satu-satunya orang di Haiti yang memiliki nama ini,” katanya. Saat berusia 17 tahun, Nesner bertemu Hansy Vixamar, kini 55, aktivis masyarakat yang menetap di wilayah itu tiga dekade sebelumnya sebagai pengantin baru.

Sambil memandu saya ke rumah Vixamar, Nesner menjelaskan bahwa pria itulah yang menginspirasinya menjadi relawan di komunitasnya sendiri. “Dia mengingatkan saya bahwa semua ini adalah urusan pendidikan dan pemberdayaan,” kata Nesner. “Sejarah menunjukkan bahwa pertambangan berdampak negatif bagi lingkungan, meracuni air dan tanah. Masalahnya, jika Anda petani yang tidak berpendidikan dan buta huruf, bagaimana mungkin Anda akan menyanggah seseorang sarjana teknik, seorang politikus berkuasa, atau seseorang dari World Bank?”

Saat kami tiba di rumahnya, Vixamar tengah duduk hampir mematung di berandanya, ring­kih dan kurus. Dia mengidap diabetes dan baru terkena stroke. Dia sempat dirawat di rumah sakit di Port-au-Prince, namun kondisinya tak membaik. “Dia berada di ambang kematian,” ujar istrinya, Micheline. Kemudian, katanya, roh-roh Vodou mendatanginya di rumah sakit dan menyuruhnya pulang. Ini terbukti mujarab.

Pertanyaan saya dijawab dengan lirih dan ragu-ragu, namun ada tekad di balik kelembutannya. Pada Agustus 1988, kondisi politik tengah kacau selepas kekuasaan keluarga Duvalier—dengan serangkaian pemerintahan berusia pendek yang didominasi oleh para petinggi militer. Pada saat itu Vixamar ditahan akibat berupaya mencoba menolong para petani dengan cara menegosiasikan harga yang adil untuk kopi mereka.

 “Para petani itu sudah bekerja sangat keras merawat tanaman kopi mereka, kemudian orang-orang berkuasa—mantan anggota militer, pengacara, hakim, orang-orang yang punya wewenang—mengekspor kopi mereka dan membayar mereka dengan sangat murah atau cuma-cuma,” katanya. “Saya menyadari bahwa kami harus bersatu dan melawan cara-cara yang memungkinkan orang lain mengambil keuntungan dari kita dengan sangat mudah.”

Para petani berunjuk rasa di penjara untuk menuntut pembebasan Vixamar. “Itu semakin menginspirasi saya,” katanya. “Ada persatuan di antara petani saat itu. Kemudian banjir bantuan dan kedatangan misionaris merusak persatuan itu. Namun benih semangat itu masih ada.”

Vixamar lalu mengangkat tangannya yang gemetar dan menunjuk kebunnya, seolah-olah mendadak kehilangan akal. “Saat saya dan istri saya tiba di sini,” katanya, “hanya ada sebatang pohon mangga. Maka kami membangun rumah kami di dekat pohon itu dan memulai dari sana. Selalu menanam dan menanam. Ini bisa terjadi di mana saja. Dari sebatang pohon mangga menjadi hutan dengan beraneka ragam pepohonan.” Saya mengerti bahwa dia tengah bermetafora. Dialah si pohon mangga. Samuel adalah awal dari hutan baru yang berisi beragam pepohonan.

Menjelang sore, Vixamar jelas terlihat lelah. Sebelum saya pergi, saya memintanya menyampaikan pesan kepada dunia dari keteduhan rumah Haitinya. Dia tersenyum. “Tolong katakan kepada pemerintah AS untuk berhenti mengusik kami dan memberi kesempatan menentukan nasib kami sendiri. Itu akan berkontribusi pada kedamaian dunia.”

Solusi Vixamar sepertinya mustahil dilaksanakan, namun ini adalah respons yang bisa dimengerti dari pengalaman sejarah yang terus berulang. Nesner setuju, namun dia punya jawaban. “Kalau saja penduduk Haiti biasa punya pendapat mengenai apakah kekayaan mineral Haiti boleh diekstrasi atau dengan cara apa itu dilakukan, polanya mungkin akhirnya akan berubah.” Dia tampak tidak terganggu oleh berbagai kesulitan yang menghadang upayanya.

“Orang Haiti dikenal memiliki daya tahan tinggi. Secara akal sehat, jika Vodou berhasil memerdekakan para budak, siapa pun yang ingin mendominasi kami lagi harus merenggut Vodou dari kami. Tetapi, Anda tidak mungkin memusnahkan sesuatu yang bersifat rahasia tetapi tampak di mana-mana. Bayangkanlah apa yang telah kami hadapi. Tidak seorang pun bisa memusnahkan kami.”