Tanah Air Kami: Haiti

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Lebih dari satu juta penduduk Haiti telah tergusur—sebagaimana leluhur mereka oleh perbudakan, bencana alam, dan pemimpin tiran. Diktator paling tersohor, setidaknya baru-baru ini, adalah anggota keluarga Duvalier yang disokong oleh AS: François “Papa Doc,” yang masa kepemimpinannya berlangsung sejak 1957 hingga kematiannya pada 1971, dan Jean-Claude “Baby Doc,” yang meneruskan tampuk kepemimpinan ayahnya.

Baby Doc baru berusia 19 tahun saat mulai berkuasa, remaja gempal yang gemar berfoya-foya. Kebanyakan penduduk Haiti meramalkan masa kepemimpinannya akan singkat. Awalnya, AS memberikan bantuan dana sebesar 3,8 juta dolar per tahun, sekitar 51 miliar rupiah ketika Baby Doc menggantikan ayahnya—sebagai ungkapan terima kasih atas kebijakan anti-komunis Haiti. Belakangan, AS melonjakkan angka itu menjadi 35,5 juta dolar, setara sekitar 481 miliar rupiah pada 1975, karena Baby Doc berjanji akan melanjutkan ideologi antikomunis ayahnya, dan karena dia lebih berpihak pada kepentingan bisnis AS di Haiti. Baby Doc memanfaatkan sebagian besar dana bantuan AS untuk mengamankan posisinya, membiayai pasukan beranggota 9.000 tentara dan puluhan ribu Tonton Macoutes, milisi swasta yang dibentuk oleh ayahnya. (Tonton Macoute adalah bahasa Kreol untuk Paman Ransel, tokoh cerita rakyat Haiti yang menculik anak-anak nakal dan menghilangkan mereka di ranselnya). Baby Doc membentuk Korps Macan Tutul, pasukan kontra insurgensi dan pengamanan pribadi elitenya sendiri, yang dilatih oleh militer AS.

Ketika Baby Doc akhirnya terguling akibat pemberontakan, yang berujung pelariannya ke Prancis pada Februari 1986, Haiti kacau balau. Selama hampir tiga dekade kepemimpinan tirani keluarga Duvalier, diperkirakan 30.000 hingga 60.000 penduduk Haiti terbunuh, sebagian besarnya oleh Tonton Macoutes, yang juga memerkosa atau menyiksa tidak terhitung banyaknya rekan sesama penduduk mereka. Satu juta penduduk melarikan diri, sebagian besar ke AS, lainnya ke Karibia atau Prancis.

Sepuluh bulan setelah kepergian Baby Doc, International Monetary Fund memberikan pinjaman sebesar $24,6 juta atau sekitar 335 miliar rupiah pada Haiti. Sebagai imbalan, pemerintah Haiti diwajibkan menurunkan harga beras impor dan berbagai macam hasil pertanian lainnya. Dorongan liberalisasi perdagangan pada pertengahan 1990-an—digalakkan oleh Presiden Clinton, yang kerap mengunjungi Haiti dan menyatakan dukungan terhadap rakyatnya. Ia membuka lebih lebar keran impor pasar Haiti, sehingga harga beras turun dari 50 persen menjadi tiga persen. Beras AS yang disubsidi besar-besaran membanjiri pasar Haiti, sebagian besar dari Arkansas, negara bagian asal Clinton. Para petani padi Haiti tidak sanggup bersaing dengan beras impor murah dan sumbangan. Banyak di antara mereka, setelah menebang pohon-pohon terakhir mereka untuk ditukar dengan batu bara, menyerah dan membanjiri kota, kemudian hidup berjejalan di permukiman kumuh.

Pada Maret 2010 Clinton meminta maaf.

Pada 1492, ketika Christopher Columbus pertama kali melihat pulau yang kelak dikenal dengan nama Hispaniola, dia menyebut­nya “keajaiban.” Namun, kecantikan tidak bisa dimakan, sehingga orang Spanyol melakukan tindakan paling merusak berikutnya: Mereka mengambil setiap ons emas yang bisa mereka temukan, memperbudak warga asli Taino untuk bekerja di tambang. Akibatnya, hampir semua orang Taino lambat laun tewas, entah gara-gara bekerja terlalu keras atau tertular penyakit Eropa.

Kemudian datanglah para kolonis dari Prancis, yang menduduki sepertiga wilayah pulau di bagian barat selama 140 tahun dan menjadikan diri mereka orang terkaya di bumi ketika itu. Mereka membawa hingga satu juta budak Afrika ke daerah koloni yang mereka namai Saint-Domingue. Kemudian mereka menyuruh para budak menebangi pepohonan di hutan legendaris di sana—“berbagai macam pepohonan yang tingginya seolah-olah menyentuh langit,” tulis Columbus. Kayu itu digunakan untuk perabot rumah mewah di Eropa. Mereka juga membuka perkebunan tebu dan kopi yang menguntungkan. Bencana lingkungan yang mengancam—kini Haiti menjadi salah satu negara dengan deforestasi terburuk, dengan hutan yang hanya menutupi kurang dari dua persen daratannya—kalah pamor oleh pelanggaran besar-besaran terhadap hak azasi manusia yang tengah terjadi.

Para majikan Prancis di Saint-Domingue memperlakukan budak-budak mereka secara sangat brutal sehingga ribuan dari mereka kehilangan nyawa. Untuk menggantikan mereka yang tewas, orang-orang Prancis mendatangkan lebih banyak budak. Pada malam 22 Agustus 1791, seorang pendeta Vodou bernama Boukman memberikan sinyal untuk memulai kerusuhan yang akan menjadi pemberontakan budak paling sukses dalam sejarah. Ketika itu para budak—dua pertiganya lahir di Afrika—melampaui majikan mereka dalam jumlah hingga sepuluh banding satu. Pada 1804, setelah 13 tahun pemberontakan berdarah, Haiti lahir sebagai negara kulit hitam merdeka pertama di dunia.

Kesan Afrika di Haiti tetap kental. Begitu pesawat saya mendarat di Bandara Internasional Toussaint Louverture, saya segera merasa telah mendarat bukan di pulau di Laut Karibia, melainkan di negara kecil di Afrika sub-Sahara. Seolah-olah Haiti adalah pecahan dari benua induk yang hanyut ke belahan bumi lain.

Aromanyalah yang memberikan kesan pertama dan mendalam: sabun karbol; asap batu bara dari kios tepi jalan yang menjual kerang segar, perkedel jagung, daging babi panggang; dan aroma tanaman tropis yang menyebar dari kebun beririgasi di pinggiran Pétionville. Di salah satu kantong wilayah mahal ini, Baby Doc yang sakit-sakitan, pulang pada 2011 setelah menja­lani pengasingan 25 tahun di Prancis, menjalani hari-hari terakhirnya dalam kesunyian.

Kehadiran mantan diktator gagal ini, yang meninggal pada 4 Oktober 2014, sepertinya tidak menarik banyak perhatian penduduk setempat, barangkali karena mereka sudah cukup muak kepada para pemuka politik saat ini. Pemilihan anggota parlemen dan kepala daerah sudah tertunda selama tiga tahun. Kendati begitu komite pemilihan pimpinan Presiden Michel “Sweet Micky” Martelly, mantan penyanyi, mengumumkan, pemilihan umum akan ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Pemilihan parlemen awal akhirnya diselenggarakan pada Agustus 2015. (Saat Anda membaca artikel ini, pemilihan parlemen dan presiden lanjutan bisa jadi sudah—atau belum—terjadi).

“Pemerintah telah menciptakan lubang besar, lalu tidak berbuat apa-apa ketika lubang itu diisi oleh orang-orang yang datang untuk memeras tetesan energi, inisiatif, dan kekayaan terakhir kami,” kata Nixon Boumba kepada saya. “Kami tidak bisa terus-menerus berkompromi. Kami harus tetap bertahan untuk diri kami sendiri, tanah kami, dan kekayaan di bawah kaki kami.”