Jangan Buang Makananmu

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Tristram Stuart punya 24 jam untuk menghasilkan hidangan berkelas restoran bagi 50 orang—merancang menu, mencari bahan, kemudian menyambut para tamu di sebuah acara yang berlokasi bukan di kotanya. Sebuah peraturan menambah pelik situasi yang mirip perlombaan acara realitas ini: Hampir semua bahan harus berasal dari pertanian dan pedagang yang berniat membuangnya.

Stuart bergegas kembali ke New York, dari sebuah peternakan tempatnya mengumpulkan 30 kilogram labu kuning bengkok, yang oleh petani dianggap terlalu bengkok untuk dijual. Setelah itu ia melesat dari mobil yang merayap di tengah kemacetan menuju toko roti. Jangkung dan pirang, dengan aksen Inggris elegan, dia meluncurkan rayuan sepuluh detiknya: “Saya mengelola organisasi yang menjalankan kampanye untuk mencegah pembuangan makanan, dan besok saya akan menggelar pesta dengan hidangan dari makanan yang tak bisa dijual atau disumbangkan untuk amal. Anda punya roti yang bisa kami manfaatkan?” Toko roti itu tak punya apa-apa, namun si pegawai memberinya dua keping biskuit patah untuk menghiburnya.

Stuart melompat ke mobil. Tujuan berikutnya: pasar tradisional Union Square, tempatnya melihat koki membungkus ikan dalam adonan roti manis persegi, kemudian memotong pinggirannya menjadi bentuk setengah lingkaran. “Bolehkah saya meminta sudutnya?” tanya Stuart, tak lupa menyunggingkan senyum menawannya. Si koki, tak terkesan, menolaknya. Dia akan memanfaatkan sisa adonannya sendiri. Pantang menyerah, Stuart menyisir pasar, meluncurkan bujuk rayu, berhasil mendapatkan daun bit, rumput gandum, dan apel buangan.

Anda punya roti yang bisa kami manfaatkan?” Toko roti itu tak punya apa-apa, namun si pegawai memberinya dua keping biskuit patah untuk menghiburnya.

Delapan belas jam kemudian sepasukan koki, pakar pemanfaatan bahan pangan buangan, dan aktivis, berdiskusi tentang limbah makanan sera-ya menikmati tempura labu, pangsit lobak dan tahu, dan mi keriting zucchini buatan Koki Celia Lam. Stuart sendiri hanya memasak segelintir hidangan, namun tanpa sekali pun rapat formal, dia menyihir enam orang untuk menyusun menu, mengumpulkan bahan makanan, lalu menyiapkan, memasak, menyajikan, dan membersihkan sisa hidangan untuk mendapatkan kesempatan bekerja sama dengan salah seorang sosok terdepan dalam perjuangan melawan pembuangan makanan di kancah internasional.

Di berbagai kebudayaan, pembuangan makanan dianggap melanggar moral. Lagi pula, terdapat hampir 800 juta jiwa di seluruh dunia yang menderita kelaparan. Namun menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, kita menyia-nyiakan cukup banyak makanan— 1,3 miliar ton per tahun di seluruh dunia. Angka ini  mencukupi kebutuhan pangan mereka, lebih dari dua kali. Ke manakah perginya semua makanan itu—yang jumlahnya sekitar sepertiga dari produksi di seluruh dunia? Di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pascapanen akibat kekurangan fasilitas penyimpanan yang memadai, jalan yang bagus, dan alat pembeku. Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku ritel memesan, menyajikan, atau memajang terlalu banyak. Selain itu juga saat konsumen mengabaikan sisa makanan yang di dalam kulkas atau membuang makanan mudah basi sebelum kadaluwarsa.

Membuang makanan juga berdampak buruk bagi lingkungan. Menghasilkan makanan yang tidak dikonsumsi—entah itu sosis atau biskuit—sama halnya dengan menyia-nyiakan air, pupuk, pestisida, bibit, bahan bakar, dan lahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan tanaman. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Di seluruh dunia, produksi makanan yang terbuang dalam setahun menghabiskan air sebanyak setahun aliran Volga, sungai terbesar di Eropa.

Jumlah mencengangkan ini belum mencakup pembuangan dari peternakan, kapal nelayan, dan penjagalan. Jika diibaratkan negara, limbah makanan akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan AS. Di planet dengan sumber daya terbatas, dengan ekspektasi tambahan penduduk sebanyak dua miliar pada 2050, pemborosan ini, menurut Stuart dalam bukunya Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh tidak senonoh.

Delapan puluh kilometer di utara Lima, Peru, di kota pertanian Huaral, Stuart menyeruput segelas jus satsuma segar bersama Luis Garibaldi, pemilik Fundo Maria Luisa, perkebunan jeruk mandarin terbesar di Peru. Mencondongkan badan ke depan di kursinya, Stuart bertanya: Berapa jumlah ekspor Anda? Berapa yang ditolak? Apa alasannya? Apa yang terjadi pada produk yang terbuang? Tujuh puluh persen panenannya, ujar Garibaldi, diekspor ke Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun 30 persennya tidak memiliki ukuran, warna, dan tingkat kemanisan yang tepat, atau memiliki noda, parut, goresan, bekas terbakar sinar matahari, jamur, atau laba-laba. Sebagian besar dijual di pasar setempat, seharga hanya sepertiga harga ekspor.

Kami bermobil 300 kilometer ke selatan. Di wilayah Ica, Stuart mewawancarai petani yang setiap tahun meninggalkan begitu saja di kebunnya, jutaan asparagus yang batangnya terlalu kurus atau bengkok, atau kuntumnya terlalu terbuka untuk diekspor. Selanjutnya seorang produsen mengakui bahwa setiap tahun dia membuang lebih dari seribu ton jeruk Minneola tangelo dan seratus ton grapefruit (buah serupa jeruk) yang sedikit cacat ke parit pasir di belakang gudang pengemasannya.

Standar kelas—yang dikendalikan industri maupun diterapkan secara sukarela—telah lama diciptakan untuk memberikan petani dan pembeli, bahasa umum guna mengevaluasi produk dan menengahi perdebatan. Pembagian kelas juga bisa membantu mengurangi pembuangan makanan. Jika petani bisa membagi asparagus atau jeruk tangelo ke kelas-kelas yang telah ditetapkan, mereka akan mendapatkan peluang lebih besar untuk mencari pasar bagi produk “kedua” mereka. Supermarket selalu bebas menetapkan standar, tentunya, namun beberapa tahun terakhir pasar swalayan berskala besar mulai mengelola bagian produk bagaikan kontes kecantikan. Hal ini untuk menanggapi konsumen, kata mereka, yang meminta produk ideal: apel bulat mengilap, asparagus lurus berkuncup tertutup rapat.

“Semua ini soal kualitas dan penampilan,” kata Rick Stein, wakil presiden divisi bahan makanan segar di Food Marketing Institute. “Hanya penampilan terbaik yang akan membuat konsumen rela merogoh dompet.” Sebagian produk yang tidak menarik konsumen akan disumbangkan ke bank makanan atau diolah menjadi hidangan siap makan atau salad, namun sebagian besar kelebihan toko bahan pangan di AS tak disumbangkan maupun didaur ulang. Stuart memuji kampanye baru beberapa supermarket di AS dan UE untuk menjual produk “jelek” dengan harga diskon, namun dia lebih mengharapkan perbaikan secara  sistemik. “Akan jauh lebih baik jika standar itu dilonggarkan,” katanya seraya menatap lautan jeruk Peru yang terlantar dan tidak memiliki pasar kedua akibat penampilan buruk atau hal lainnya.

Sebagian produk yang tidak menarik konsumen akan disumbangkan ke bank makanan atau diolah menjadi hidangan siap makan atau salad, namun sebagian besar kelebihan toko bahan pangan di AS tak disumbangkan maupun didaur ulang.

Selama tujuh hari Stuart mengunjungi pertanian dan gudang pengemasan, merentetkan pertanyaan, mengumpulkan data, dan mengambil sampel barang tolakan. Di antara kunjungannya dia meringkuk bagaikan kalong di bangku belakang mobil yang sesak dan mengetik. Tik, tik. Dia mempersiapkan logistik untuk perjalanan riset berikutnya, kemudian menerima undangan minum dari manajer umum Bank Makanan Peru. Tik, tik. Janji temu dengan penyelamat makanan yang baru saja terbang dari Santiago, Cili. Ke mana pun dia pergi, sepertinya orang-orang ingin menyampaikan kepada Stuart cerita mencengangkan tentang limbah makanan.

Walaupun kurang tidur, belum bercukur, dan kadang-kadang pening—bukankah percuma jika mendatangi negara baru tanpa mencicipi minuman fermentasi khas di sana? Di tengah lalu lintas yang sarat asap kendaraan, dia mengatur janji temu dengan seorang anggota kongres Peru yang tengah berusaha menjegal undang-undang pajak yang lebih memberikan insentif untuk membuang kelebihan makanan daripada menyumbangkannya. Selagi kami melewati jalan yang berliku-liku, dia menggarap revisi usulan proposal pengurangan pembuangan makanan untuk Parlemen Inggris. Kemudian dia berpaling kepada para koleganya dan memaparkan gagasan mengenai “sup disko” Lima—makan bersama dengan memanfaatkan bahan terbuang, mirip perjamuan di Kota New York—yang akan diselenggarakan selama empat hari untuk 50 sampai 100 orang.