Jangan Buang Makananmu

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Apakah tujuan sup disko, selain menyelamatkan makanan? Meningkatkan kesadaran dan membangun komunitas. Kendati samar, ini berhasil. Seraya mengobrol, memasak, dan makan bersama, koki dari Lima hingga London terhubung dengan badan amal yang dilanda dahaga akan barang buangan mereka; wirausahawan California berhasil merumuskan skenario untuk menyelamatkan buah berpenampilan buruk dari penguburan; kelompok masyarakat berhasil menyusun rencana untuk mendirikan jaring-an penyelamatan makanan di Kenya; pabrik bir Belgia terdorong untuk mengubah roti basi menjadi bir yang bisa dijual.

Sup disko di Lima terlihat seperti aksi gegabah, mengingat Stuart berjarak lima jam dari kota, sudah ditunggu sebuah perkebunan pisang di Kolombia, tidak mengendalikan ruang makan maupun dapur, dan tak punya anggaran dan bahan makanan. Tetapi sejarah membuktikan bahwa dia mungkin akan berhasil.

Stuart, kini, 38, lahir di London, bungsu dari tiga lelaki bersaudara. Dia tinggal di kota secara paruh waktu namun pada usia 14 sepenuhnya pindah bersama ayahnya ke wilayah pedesaan East Sussex. Di seberang lembah berdirilah rumah mewah kakeknya, properti luas dengan cukup pekerja untuk mengawaki tim kriket dalam pertandingan melawan desa setempat pada masa Perang Dunia II. Ayah Stuart, Simon, dibesarkan di sana, dan cerita tentang kekayaan pertanian mereka memikat putra bungsunya.

Tinggal berkilo-kilo meter dari kota terdekat namun secara psikologis akrab dengan pertanian kakeknya yang bisa mencukupi kebutuhan mereka, membentuk kepribadian Stuart. Ayahnya mengurus kebun sayur besar, dan Stuart memelihara babi dan ayam di sana. Sebagai penukar pupuk kandang, Simon memberi Tristram potongan sayurnya. “Jadi saya punya telur dan daging, dan kerap keluar bersama musang saya untuk berburu kelinci dan menembak rusa,” kata Stuart. Isi ruang penyimpanan makanan hampir selalu lengkap. Stuart mulai menjual daging babi dan telur kepada orangtua teman-teman sekolahnya, namun dia segera menyadari bahwa membeli pakan ternak bisa membuatnya bangkrut. Dia memulai di rute yang biasa dilewatinya: memunguti kentang berwujud buruk dan kue basi dari toko setempat dan dapur sekolahnya. Dia mengembangbiakkan babi betinanya, Gudrun, dan menyadari bahwa masyarakat di sekitarnya membuang sangat banyak makanan yang masih bagus setiap hari.

“Jadi saya punya telur dan daging, dan kerap keluar bersama musang saya untuk berburu kelinci dan menembak rusa,” kata Stuart.

Kesadaran lingkungan Stuart kian terasah. Pada usia 12, dia menulis makalah tentang persamaan bahan bakar fosil dengan rokok—keduanya merusak badan dan menyebabkan kecanduan. Setelah menghabiskan sebagian waktunya di sebuah peternakan di Prancis, dia diterima di University of Cambridge, tempatnya mempelajari sastra Inggris dan mengalami pencerabutan keji dari surga agro-ekologisnya. Makanan sekolah dibuat “tanpa mengacu pada kriteria ramah lingkungan,” ujarnya. Untuk menanggapinya, dia bersama para aktivis kampus lainnya menikmati makanan yang berhasil mereka bebaskan dari tong sampah supermarket. Dia juga meminum sari apel yang diperas dari buah apel orang lain, berbagi otak panggang, limpa gulung, dan keripik kuping dari begitu banyak keturunan Gudrun, dan—setelah mengetahui bahwa rasanya enak—menghirup siput dari kebun teman-temannya.

Tidak mengherankan jika Stuart pernah giat berteater. “Saya lumayan menyukainya,” ia berkata, walaupun kegiatan ini akhirnya “menghalanginya melanjutkan tugasnya yang sangat penting, yakni menyelamatkan Bumi.” Dia cukup menyadari bahwa para mahasiswa kaya yang memunguti wadah-wadah ricotta yang belum dibuka dari tempat sampah memiliki kekuatan untuk memengaruhi orang lain. Ketika itu, ujarnya, baik supermarket maupun agen-agen pemerintah belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai limbah pangan. Hal ini akan segera berubah.

Pada 2002 kegemaran Stuart mengorek tempat sampah menarik cukup perhatian untuk membantunya menghasilkan video dokumenter mengenai pembuangan makanan bagi sebuah acara politik di BBC, dan aktivis di seluruh dunia menghubunginya untuk bermitra dalam penyelamatan makanan. (Saat itu dia tinggal di London.) Dengan cukup data mengenai di mana dan mengapa tepatnya bahan pangan hilang di rantai makanan, dia menyadari bahwa sesungguhnya ia bisa berbuat sesuatu mengenai hal ini. Saat itulah benih bukunya, Waste, mulai ditebar. Di dalam buku itu dia menginvestigasi penyebab dan dampak lingkungan pembuangan makanan di seluruh dunia.

Waste mendapatkan banyak pujian, namun Stuart menyadari bahwa buku yang sarat data tidak akan bisa menjaring jutaan pembaca, padahal dia benar-benar berharap jutaan orang akan mendukung upayanya. “Karena itulah saya membuat Feeding the 5.000,” ujarnya, meniru instruksi Yesus dalam Yohanes 6:12, yakni “Kumpulkanlah potongan kelebihannya, supaya jangan satu pun yang terbuang.” Diluncurkan pada 2009, Feeding the 5.000 akan menjadi batu loncatan Stuart—perjamuan umum gratis yang sepenuhnya dibuat dari makanan tak bertuan. Acara serupa dibuat ulang di lebih dari 30 kota. Ribuan orang turut menikmati hidangan, publikasi media mengikuti, dan masyarakat mulai gencar menyuarakan keberatan atas pembuangan makanan. Tak lama kemudian Stuart mulai memberikan ceramah di seluruh dunia dan mengkritik pedas aktor-aktor paling berkuasa dalam industri pangan. Banyak di antaranya harus membela diri dalam polemik yang diciptakannya. Supermarket mulai menganggapnya sebagai “duri dalam daging,” katanya. “Dan itu benar.”

Dari manakah kepercayaan diri luar biasa Stuart berasal? Entah dari mana memulainya. Stuart adalah sosok ambisius, agresif, dan penuh narsisme. Namun dia juga pintar bicara, jenaka, dan sangat menguasai bidangnya. “Ketika dia berbicara, Anda ingin mengikutinya,” ujar Dana Gunders, spesialis pembuangan makanan dari Natural Resources Defence Council yang menulis Waste Free Kitchen Handbook. “Dia benar-benar andal, bukan hanya dalam menularkan gairahnya kepada orang lain melainkan juga memeliharanya, mengisi pasukannya dengan orang-orang yang sama bergairahnya dalam mengambil tindakan untuk mengatasi pembuangan makanan.”

Stuart mengambil setiap kesempatan yang ada untuk menyantap makanan yang kurang menimbulkan selera—strategi untuk mengambil yang tidak bisa diambil dari tempat sampah, sekaligus memberikan contoh perilaku positif. Pada pagi pertamanya di Peru dia memakan dadih darah ayam. “Saya belum pernah makan itu,” ujarnya dengan gembira. Saat makan siang, dia menyantap daging marmot. Pada hari kedua, dia memesan babat sapi; pada hari ketiga, lidah dan bergelas-gelas pisco—brendi khas Peru.

Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat.

Asupan protein tampaknya memberikan energi bagi Stuart untuk menghadapi percakapan di pertanian dan gudang pengemasan, yang dengan cepat menjadi sarat angka. Sekian kilo, ton, kontainer, peti, persentase yang ditolak, diselamatkan, dibiarkan mati. Dia mampu mencerna seluruh detail itu. “Saya ingin bisa mengatakan kepada orang Eropa bahwa kesukaan mereka terhadap asparagus berkuncup tertutup setara dengan X juta hektare lahan, X juta galon air, dan X juta kilo pupuk yang terbuang.” Dia menarik napas. “Saya ingin diberitakan, dengan lugas mengatakan kepada orang-orang bahwa pilihan mereka bermakna.”

Seiring dengan kekhawatiran pemerintah mengenai cara memberi makan lebih dari sembilan miliar manusia pada 2050, banyak yang berpendapat bahwa produksi makanan dunia harus ditingkatkan antara 70 hingga 100 persen. Namun pertanian dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan planet kita. Sektor ini bertanggung jawab atas penggunaan 70 persen air bersih, 80 persen deforestasi tropis dan subtropis dunia, dan 30 hingga 35 persen emisi gas rumah kaca buatan manusia. Pertumbuhan populasi dan kebangkitan ekonomi menambah permintaan akan daging dan produk susu, yang membutuhkan banyak biji-bijian dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan kalori yang relatif kecil. Dengan demikian, dampaknya pun akan semakin buruk. Tetapi, mengubah lebih banyak alam liar menjadi lahan pertanian mungkin tidak diperlukan, sebagian pakar berpendapat. Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat. Hal ini bisa dilakukan tanpa harus membabat lebih banyak hutan hujan tropis, membajak lebih banyak padang rumput, atau merusak lebih banyak lahan basah.