Ketika Kematian Bukanlah Berpisah...

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Suatu malam, Elisabeth Rante menyingkap tirai berwarna emas yang menutupi ambang pintu. Kami pun masuk ke ruangan itu bersama-sama. Ia lalu berbicara kepada suaminya. “Kita kedatangan tamu dari jauh.” Di belakang kami, Jamie putranya yang kedua memasuki ruangan sambil membawa sebuah nampan dan berjalan dengan tenang mendekati ayahnya. “Ini nasinya, Papa. Ini ikannya. Ini sambalnya,” ujarnya.

Saat kami berjalan keluar dari ruangan itu, Elisabeth berkata perlahan, “Bangun, Papa. Sudah waktunya makan.” Saya membalikkan badan sejenak selagi Yokke sang putra tertua menjelaskan: “Pa, dia memotret Papa.”

Sungguh sebuah pemandangan keluarga yang menyentuh. Bisa saja terjadi di sudut mana pun di Bumi ini. Kecuali satu hal. Suami Elisabeth yang merupakan mantan petugas catatan sipil setempat telah meninggal selama hampir dua minggu. Di sini, di dalam sebuah rumah beton milik keluarga yang sejahtera dan terhormat, Petrus Sampe terbaring tak bergerak di dipan berselimut sampai ke bawah dagunya.

Di rumah di pinggiran kota Rantepao, di sebuah sudut dataran tinggi di Sulawesi ini, Petrus akan terbaring di tempat tidurnya sampai beberapa hari kemudian. Anak dan istrinya akan mengajaknya bicara saat membawakan makanan baginya empat kali sehari—sarapan, makan siang, makan malam, dan teh sore. Pemberian formalin (formaldehida ditambah air) tak lama setelah meninggal akan membuat jasadnya tak membusuk, namun akan menjadi seperti mumi.

Empat hari kemudian, setelah serangkaian lantunan musik, kebaktian Kristiani, makan malam bagi lebih dari seratus orang pelayat, anggota keluarga mengangkat Petrus dari tempat tidur dan memindahkannya ke dalam peti mati. Petrus akan tetap tinggal di rumah, di peti mati, sampai pemakamannya di bulan Desember, empat bulan dari sekarang. Sampai saat pemakaman, Elisabeth dan anak-anaknya akan menyebut Petrus to makula’—orang sakit. “Kami percaya walaupun ayah to makula’, rohnya ada di dalam rumah,” kata Yokke.

Bagi orang Toraja, kematian sebuah tubuh bukanlah suatu peristiwa yang sekonyong-sekonyong, membuat hati amat susah, dan  merupakan akhir seperti yang dipandang di tempat lainnya. Sebaliknya, kematian hanyalah merupakan satu tahap dalam sebuah proses panjang yang terurai satu demi satu. Orang-orang tersayang yang telah tiada dirawat di rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah ia meninggal. Pemakaman sering kali ditunda selama yang dibutuhkan untuk mengumpulkan keluarga yang tinggal di tempat jauh. Upacara pemakaman terbesar berlangsung selama seminggu dan mengumpulkan sejumlah besar orang Toraja yang kembali pulang dari mana pun tempat tinggal mereka di penjuru dunia. Saat iring-iringan yang terdiri dari seratus atau lebih motor dan mobil meraung melintasi kota mengiringi jenazah yang tengah dibawa pulang dari tempat jauh, lalu lintas akan berhenti. Di sini, kematian mengalahkan kehidupan.

Orang Toraja tidak menolak perawatan medis bagi keadaan yang mengancam jiwa. Mereka juga tidak lari dari rasa duka saat orang yang tercinta tiada. Akan tetapi, hampir semua orang di sini menganggap kematian sebagai pusat kehidupan. Mereka percaya bahwa orang tidak sungguh-sungguh mati saat meninggal dan bahwa hubungan manusia yang kuat terus berlangsung sampai sesudah kematian. Kematian hanya jenis lain dari hubungan. Sering kali hubungan mendalam dengan orang terkasih tidak berhenti saat dimakamkan. Secara rutin, sejumlah orang Toraja utara mengeluarkan kerabatnya dari makam untuk menggantikan baju atau kain kafannya.

!break!

Tak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini mulai berlaku. Bahasa Toraja baru mulai ditulis pada awal abad ke-20, sehingga sebagian besar tradisi kunonya masih lisan. Hanya baru-baru inilah, para arkeolog menyimpulkan bahwa ada praktik tradisi kematian Toraja yang berlangsung sampai setua abad kesembilan Masehi. Kapal Belanda pertama tiba di wilayah yang kini menjadi Indonesia pada akhir abad ke-16, dalam rangka mencari pala dan cengkih.  Baru lebih dari 300 tahun kemudian mereka sampai di Toraja, sebuah wilayah budaya yang kini mencakup Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja. Karena para misionaris Belanda lah, daerah ini menjadi wilayah Kristiani, yang sebagian besar terdiri dari kaum Kristen Protestan juga sejumlah kaum Kristen Katolik, di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kekristenan kurang lebih berhasil dalam bermitra dengan praktik tradisional: Hampir seluruh tahap dalam kematian orang Toraja diiringi doa-doa Kristiani, pembacaan dari Injil Matius atau Yohanes, dan pendarasan doa Bapa Kami.

Wilayah Toraja ditebari oleh desa yang bertengger tinggi di sisi tebing atau bersarang jauh di dalam lembah. Rantepao, sebuah kota dengan penduduk 26.000 jiwa, biasanya dicapai dengan perjalanan selama delapan jam dari kota terbesar di Sulawesi, Makassar, melalui jalan menyusuri tepian tebing sejauh 300 kilometer.

Saya menempuh perjalanan yang sulit ke sini setelah bertahun-tahun menulis dan berbicara tentang pandangan orang Barat mengenai kematian. Pandangan ini mengelu-elukan obat-obatan tetapi takut akan kematian. Kematian dianggap sebagai kegagalan teknologi ataupun kegagalan kehendak untuk hidup. Ini membuat sebagian besar orang sekarat di lembaga-lembaga, padahal sebagian besar orang mengatakan mereka lebih suka meninggal dengan tenang di rumahnya. Setelah suami saya meninggal dunia, saya mulai mencari alternatif cara pandang. Saya ke sini untuk menjelajahi sebuah budaya yang lebih ekstrem lagi, namun ekstrem dari arah yang berlawanan.

Jelas ada batasan dalam pencarian saya. Memberi makan orang mati, membiarkan jasadnya ada di sekitar kita, dan membuka kembali peti mati bukanlah praktik yang orang non-Toraja akan terapkan segera. Saya pun berpikir: Apakah irama dan kecepatan bertahap dalam praktik kematian orang Toraja, sebenarnya lebih dekat atau tidak dengan duka, dibandingkan dengan kedekatan ritual kita yang lebih singkat terhadap kedukaan itu?

Melihat, mengajak bicara, dan merasakan keberadaan orang terkasih yang telah tiada merupakan hal yang biasa di Barat, tulis Colin Murray Parkes dan Holly G. Prigerson dalam bukunya Bereavement: Studies of Grief in Adult Life. Kesedihan itu sendiri, ujar mereka, tidaklah mengikuti lintasan mulus, tetapi meledak dan mereda dalam sejumlah siklus selama bertahun-tahun—sama dengan praktik kematian orang Toraja. Namun, kebiasaan langsung menyingkirkan orang yang meninggal dari pandangan mata dalam jangka waktu hari bahkan jam dari kematiannya, akan terlalu tiba-tiba bagi orang Toraja. “Ibu saya meninggal mendadak, jadi kami belum siap melepasnya,” kata Yohana Palangda sambil mulai terisak. “Saya tidak bisa menerima untuk menguburnya cepat-cepat.” Ibunya masih terus menerima tamu di sebuah ruangan di lantai atas selama lebih dari setahun. Karena ibu dari Yohana adalah ketua desa—posisi yang kini dipegang Yohana—penduduk desa terus datang untuk meminta restu jika akan mengadakan acara penting, bahkan meminta izin untuk menikah.

Jadi apa bedanya keengganan Yohana untuk melepas ibunya dibandingkan dengan kita? Hal terbaik yang bisa menghilangkan kesedihan adalah waktu. Bagaimana jika kita, seperti orang Toraja, memberi diri lebih banyak waktu untuk meredakan perasaan?