Ketika Kematian Bukanlah Berpisah...

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB
!break!

Beberapa hari setelah kunjungan saya ke tempat almarhum Petrus Sampe dan istrinya, puncak acara pemakaman seorang pria lainnya diadakan di sudut lain kota itu. Saya menaiki bangunan bambu beratap yang dibangun keluarga itu untuk tamu dari luar kota. Saya duduk di sebelah seorang remaja putri, cucu dari pria yang meninggal. Dinda memainkan ponsel pintar. Semua orang suka acara pemakaman, terutama karena bisa bertemu kerabat jauh, begitu kata Dinda, selagi tiga sepupunya yang lebih muda berlarian di dekat situ, juga di sekitar peti mati kakek mereka.

Ratusan pria, wanita, dan anak-anak berkeliaran di bawah kami atau duduk sambil berbincang-bincang di bawah bayangan rumah-leluhur—disebut tongkonan—bangunan jangkung khas yang terhampar di antero wilayah ini. Atap lengkungnya yang amat besar seolah mengapung seperti perahu merah besar di lautan pohon kelapa, kopi, dan bugenvil.

Ruang di antara tongkonan dipenuhi dengan babi yang menguik dan terikat pada batang bambu, tak lama lagi akan menjadi makan siang. Wanita menjajakan rokok. Pedagang bermotor menjual balon kertas aluminium. Kerbau gemuk dan sehat ada di mana-mana, duduk bermalasan di bawah pohon, berdiri di pinggir jalan, atau dituntun berjalan berputar oleh pria-pria muda yang merawat mereka penuh kasih sayang sama seperti hewan peliharaan rumah. Seorang pembawa acara di menara yang tinggi di atas kerumunan orang-orang, membicarakan seekor hewan menakjubkan: Tanduk hewan ini besar, melengkung dengan gagah, dan panjangnya setinggi orang berdiri.

“Kau kerbau paling penting di sini,” ujar pria itu. “Kau akan pergi bersama pria ini ke alam baka dan membuatnya menjadi kaya.”

Besarnya upacara pemakaman Toraja diukur dari jumlah dan mutu kerbaunya yang berlaku seperti mata uang. Segalanya tentang pemakaman ini bersifat hirarkis, mengukuhkan status keluarga orang yang meninggal, orang yang datang, dan banyak orang lain yang tidak hadir. Hari ini hampir merupakan akhir dari lebih dari seminggu acara makan, resepsi, pertemuan, kebaktian, hiburan, dan ritual, sedikit demi sedikit memisahkan orang yang meninggal dari kehidupan. Jasadnya dipindahkan dari rumah menuju tongkonan leluhur, lalu ke lumbung padi dekat situ, kemudian ke menara pemakaman yang menghadap lapangan upacara adat.

!break!

Upacara pemakaman merekatkan hubungan orang-orang Toraja, satu keluarga dengan keluarga lain, satu desa dengan desa lainnya. Pemakaman menguras tabungan karena orang-orang berusaha saling memberi lebih dalam hal pemberian hewan kurban. Hal ini menciptakan kewajiban turun-temurun dan konsumsi yang besar. Sepupumu memberi kerbau? Kau harus memberi yang lebih besar. Kau tidak bisa membalas pemberian yang dulu? Kalau begitu, anak-anakmu yang harus membayarnya. Kalau mereka tidak bisa juga, beban itu akan turun ke cucumu. Sisi gelap kewajiban pemakaman ini dapat terdengar jelas dalam teriakan yang dilontarkan pembawa acara saat mengumumkan pemberian. Di sebuah tempat di bawah pembawa acara, petugas pemerintah mencatat dan menghitung mutu dan ukuran setiap pemberian untuk dihitung pajaknya. Di akhir upacara, buku besar yang rapi diberikan kepada keluarga yang mengadakan upacara pemakaman. Keluarga ini diharapkan membalas pemberian itu saat anggota dari keluarga yang memberi tadi, meninggal.

Pemakaman orang Toraja juga amat menyenangkan. Pemakaman mewah adalah kesempatan untuk, makan dan minum enak, menikmati permainan dan hiburan—bahkan membangun jaringan lapangan kerja dan mencari jodoh. Ada pula adu kerbau. Saat ada seruan bagi orang-orang terkuat untuk mengangkat peti mati ke menara, setidaknya 50 pemuda meraih bambu-bambunya. Mereka bernyanyi, berjalan melewati sawah, mengusung peti selagi syair lagunya menjadi kurang santun: tentang bagian tubuh, ukuran, dan kehebatan seksual. Perang air pun pecah. Peserta saling membasahi, juga membasahi penonton, dengan air di gelas plastik.

“Kita bisa buat alasan untuk tak datang di pernikahan, tapi kalau pemakaman, harus datang,” ujar Daniel Rantetasak, 52 tahun, yang duduk pada suatu siang yang benderang saat pemakaman Lassi Allo To’dang, kakek Dinda. Daniel memperkirakan ia telah menghadiri lebih dari 300 pemakaman selama hidupnya. Katanya, untuk pemakaman seperti ini sedikitnya 24 kerbau harus dikurbankan. Kadang kala jumlahnya bisa lebih dari seratus. Dengan harga rata-rata 20 juta rupiah per kerbau—harganya bisa jauh lebih mahal untuk kerbau belang yang amat berharga—pemakaman elite bisa menghabiskan sampai  5,2 miliar rupiah hanya untuk kerbau. Biaya ini dibayarkan dari sumbangan yang wajib secara sosial dan juga dari anggota keluarga yang mengirimkan uang dari luar negeri. Makanan dan minuman untuk ratusan tamu dan rumah bambu sementara untuk pengunjung menambah biaya pula. Telah umum dikatakan, bahwa di Toraja orang hidup untuk mati.

Namun demikian, sejumlah wisatawan Barat yang datang ke Toraja untuk mencari pertunjukan eksotis sebuah pemakaman menemukan bahwa hubungan antarmanusia, kontak tanpa rasa takut dengan orang mati, dan kesenangan sepenuhnya telah membantu mengubah pemikiran tentang kebiasaan dalam budaya mereka sendiri. “Di Spanyol, kalau seseorang meninggal, itu hal terburuk yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga,” kata Antonio Mouchet, seorang konsultan IT yang berwisata dari Madrid. “Kami orang Barat... tidak berpikir tentang akhir kehidupan. Di sini, mereka sudah bersiap-siap selama bertahun-tahun.”

Saya mengalihkan pandangan ke acara pengurbanan kerbau—seluruhnya 55 ekor. Upacaranya terasa brutal bagi orang Barat. Orang Toraja memandangnya tanpa terganggu. Mereka lebih khawatir terhadap kerbau dalam populasi keseluruhan dan bukan individu, demikian ujar Stanislaus Sandarupa, antropolog bahasa di Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia adalah orang Toraja. Telah menjadi kewajiban kerbau, ujarnya, untuk menyediakan dagingnya untuk dimakan. Manusia harus menjaga dan merawat kerbau, memastikannya tidak punah.

!break!

Selagi upacara pemakaman digelar di kota, serangkaian upacara lain dilakukan di desa. Agustus bukan hanya bulan untuk pemakaman, tetapi  juga untuk ma’nene’. Hal ini diadakan oleh keluarga dalam beberapa tahun sekali, saat mereka kembali ke kubur leluhur untuk membersihkan, memberikan penganan kecil serta rokok untuk orang yang telah meninggal, dan membawa keluar jasad untuk berjemur di sinar matahari dan digantikan bajunya. Daniel Seba Sambara ada dalam sekumpulan orang yang terdiri dari istrinya, anak dan cucu perempuan, anak laki-laki, menantu laki-laki, dan banyak orang lainnya. Mereka berkumpul di sekitar pekuburan keluarga besar yang menghadap lembah. Daniel bercelana panjang baru dan tampak terkejut, seolah mengintip dari balik kacamata berbingkai logam yang baru. Ia meninggal pada 2012 setelah 20 tahun menderita diabetes. Inilah pertama kali keluarganya melihatnya lagi sejak dimasukkan ke dalam kubur. Untuk upacara ma’nene’, ia diusung keluar bersama sekitar selusin kerabat yang meninggal lebih dulu.

Pieter, putra Daniel, terlihat santai dan sehat. Ia mengikuti jejak ayahnya dalam usaha konstruksi di Papua. Bahasa Inggris Pieter amat bagus. Putrinya, Monna, insinyur teknik sipil, memperlihatkan ke anggota keluarganya yang lain, foto di ponselnya yang menunjukkan pelatihan paduan suaranya di Cincinnati, AS.