Ketika Kematian Bukanlah Berpisah...

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Jadi bagaimana perasaannya melihat ayah yang telah meninggal selama tiga tahun bersama dengan para kerabat di sampingnya? Bangga. Dan bersemangat. Jasad ayahnya relatif utuh dan dapat dikenali, tak seperti kerabat lain yang terbaring di dekat situ, yang lebih tampak seperti tengkorak Halloween. Kulit ayahnya mulus. Kuku dan jenggotnya tampak tumbuh dibanding terakhir kali mereka melihatnya, demikian menurut kerabat. Keadaan jasadnya adalah suatu pertanda bagi Pieter bahwa ia juga akan sejahtera. “Tidak semua orang seperti ini. Ini akan membawa kesuksesan bagi anak dan cucunya,” ujar Pieter dengan riang.

Saya bersiap menghadapi momen ini dengan tegang. Saat berhadapan dengan beberapa jasad, ternyata saya tenang dan tertarik. Jasad yang ada termasuk seorang anak berusia setahun yang telah meninggal selama 38 tahun. Di dekat saya, seorang pengelana beransel dari Berlin merenung. “Saya amat beruntung bisa melihat ini,” kata Maria Hart, sambil mengingat dengan sedih bahwa ia amat kecewa dengan meninggalnya kakeknya sehingga menolak menghadiri pemakamannya.

Hal yang penting menurut orang Toraja, adalah bahwa orang-orang itu bukanlah sekadar individu. Kematian seseorang hanyalah tusukan jarum dan benang jahit di selembar kanvas emosional, sosial, dan finansial yang rumit, yang menusuk ke arah belakang melalui para leluhur dan ke depan ke arah anak dan cucu. Bagaimana orang Toraja percaya hal ini? Saya bertanya-tanya. Tanyakan kepada Kambuno, begitu kata orang-orang. Ia tahu jawabannya.

Dalam mencari Kambuno, kami menuju arah utara dari kota kecil Pangala, melewati desa demi desa. Penjaga warung, pengendara sepeda motor, dan orang lewat memberi petunjuk jalan. Semua orang tahu di mana Kambuno tinggal. Saat jalan mobil akhirnya habis, kami berjalan kaki menyusuri jalur terjal berbatu-batu.

Petrus Kambuno sedang membabat rumput di tepi jalan. “Kau beruntung menemukan saya,” katanya. “Tidak ada lagi orang selain saya yang tahu cerita ini.” Ia menyebut dirinya berusia 90 tahun. Ia menuturkan kisah penciptaan serupa dengan di kitab suci, dengan Toraja sebagai pusatnya. “Di sinilah Tuhan menciptakan lelaki di surga, dan perempuan dari Bumi,” ujarnya. Jika memandang keluar, mudah percaya bahwa Tuhan memilih tempat ini sebagai Firdaus.

Tuhan memberi berkah bambu dan pisang dari bumi serta pinang dan jeruk nipis dari surga. “Ia memerintahkan kami untuk memakai hal-hal yang dapat menyenangkan manusia ini untuk meredakan kesedihan kami.”

Saya sadar telah mengajukan pertanyaan yang salah. Kelihatannya, orang Toraja lebih terhubung secara mendalam dengan cara orang-orang di mana pun dalam merasakan kematian, dibandingkan kita: keinginan untuk tetap terhubung dengan orang terkasih baik jiwa maupun raga; untuk percaya bahwa seseorang tidak pernah sungguh-sungguh mati secara permanen; serta bahwa kita memiliki, dan menjadi, seorang leluhur. Jadi pertanyaannya bukanlah mengapa orang Toraja melakukan yang mereka lakukan, melainkan mengapa kita melakukan yang kita lakukan? Bagaimana bisa kita menjauhkan diri kita dari kematian, yang, bagaimanapun, hanyalah bagian dari kehidupan? Bagaimana bisa kita kehilangan rasa saling terhubung dengan orang lain, dengan tempat kita dalam masyarakat, di dalam jagad raya ini?

Kambuno menunjuk ke kubur keluarganya, yang menurutnya berisi lebih dari sepuluh kerabat. “Ayah saya ada di dalam situ,” katanya. “Tetapi saya ada di sini, jadi dia tidak benar-benar meninggal. Ibu saya ada di dalam situ, tetapi saya punya anak-anak perempuan, jadi dia tidak benar-benar meninggal. Putri-putri saya menjadi ganti ibu saya. Saya menjadi ganti ayah saya.”