Taman Kota

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Salah satu tempat yang menerapkan agenda ini adalah Taman Nasional Tepi Danau Gumuk Pasir Indiana (Indiana Dunes National Lakeshore), yang membentang hingga menyentuh pabrik baja di sepanjang Danau Michigan di Indiana bagian barat laut dan merambah pantai besar tersembunyi di Gary, salah satu kota termiskin Amerika. “Taman  besar mendatangkan orang kaya berkulit putih,” ujar Paul Labovitz, superintenden taman nasional. Namun masa depan Park Service bergantung pada usaha menarik pengunjung baru, dan itu lebih mudah dilakukan di taman urban. Taman-taman ini lebih baru, kata Labovitz, sehingga tidak memiliki banyak tradisi yang menghalangi eksperimentasi.

taman-taman kota ikonik tidak akan tergusur. Taman itu telah menjadi permata di kota di seluruh dunia. Namun bentuk teratur yang menjadi kebutuhannya, sulit ditemukan di tempat-tempat yang telah dikepung pembangunan. Jadi taman kota baru kita, di Amerika Serikat dan negara lainnya, mencerminkan tantangan menduduki dan mengembangkan lahan. Saat ini terdapat lebih banyak tanggapan publik dan perhatian pemerintah, kata Adrian Benepe, direktur pengembangan taman kota untuk Trust for Public Land dan mantan komisioner pertamanan New York City.  “Ini sulit karena kota juga harus menanggung biaya asuransi kesehatan dan pendidikan,” kata Benepe. “Taman kerap menjadi prioritas terakhir.” Hal yang sedang marak saat ini, katanya, adalah model yang lebih bisa diandalkan, yakni bekerja sama dengan sektor swasta, baik untuk membangun maupun mengoperasikan taman.

Barangkali taman kota paling ambisius di dunia yang dijalankan dengan pola pikir wirausaha tersebut adalah Presidio, bekas pangkalan militer yang merupakan bagian dari Area Rekreasi Golden Gate, namun dioperasikan secara terpisah. Terletak di pintu masuk menuju Teluk San Francisco, awalnya Presidio diklaim oleh Spanyol, kemudian Meksiko, dan akhirnya, pada 1846, oleh AS. Pada 1898 Presidio dianggap tak diperlukan bagi pertahanan nasional.Pangkalan militer—barak, gedung, lembah, dan pemandangan menakjubkan—di lahan seluas 603 hektare itu pun ditutup.

Pada 1994 pengelolaannya diserahkan kepada Park Service. Berbeda dengan taman-taman nasional lainnya, Presidio memiliki dewan direktur sendiri dan kini menggalang seluruh pemasukannya sendiri, terutama dengan menyewakan bekas perumahan militer, juga rumah sakit dan gedung-gedung administratif kepada para penyewa residensial dan komersial. Bisnis yang dikelola swasta menyerap sekitar 4.000 tenaga kerja, dan lebih dari 3.500 orang menghuni pangkalan yang telah direhabilitasi.Harga sewa sebuah rumah di salah satu lingkungan mewah, yang dahulu dihuni oleh para pejabat militer, mencapai 150 juta rupiah per bulan.Uang sewa disalurkan kembali ke proyek restorasi, renovasi, dan perawatan.Untuk menciptakan kembali lahan basah, yang merupakan bagian dari rencana besar restorasi keanekaragaman hayati, apartemen-apartemen yang nilai sejarahnya kurang, perlu dirobohkan, untuk menjaga keseimbangan bagi penghuni dan pengunjungnya.

Alam liar bisa terlihat seperti standar tegas dan deskripsi yang semakin subjektif mengenai lingkungan yang semakin tergerus. Terkait taman kota, pembahasan yang dilakukan bukanlah tentang alam yang perawan, namun kerap kali hanya tentang kenikmatan berada di luar ruangan. Saya teringat pada kunjungan saya ke Tempelhof, bandar udara yang diubah menjadi taman di dekat jantung Berlin. Ketika itu hari kerja, dan satu jam sebelum matahari terbenam, orang berduyun-duyun mendatangi taman. Mereka mengendarai sepeda dan berlari mengelilingi hamparan rumput.Para pemuda meluncur dengan papan luncur, dan para ibu bermain sepak bola dengan anak-anak mereka.

Bandara Tempelhof ditutup pada 2008. Ketika tempat ini dibuka kembali sebagai taman dua tahun setelahnya, terdapat keraguan apakah penduduk Berlin akan menerimanya. Beberapa hal yang dahulu ada, dipertahankan hingga kini. Tetapi keaslian ini—yang tidak diutak-atik—justru terbukti menjadi daya tarik taman. Para penduduk menyukai keterbukaannya dan pemandangan matahari terbenam yang nyaris tanpa gangguan.Mereka senang karena bisa memasuki properti yang dahulu terlarang.Tetapi yang terpenting, mereka menikmati kesan merdeka yang diberikan oleh Tempelhof dengan 300 hektare areanya. Ketika para ahli tata kota mengajukan proposal pembangunan kompleks perumahan dan perkantoran di seperlima lahannya, terjadi aksi penolakan yang pada 2014 menghasilkan referendum yang menghadang sebagian besar rencana pembangunan di sana.

“Anda bisa merasakan langit. Anda bisa bernapas,” kata Diego Cárdenas, salah seorang pemimpin gerakan referendum, ketika kami duduk di hamparan rumput di Tempelhof. “Jika pembangunan mulai dilakukan di satu bagian, di manakah itu akan berakhir?” Masa depan Tempelhof masih melibatkan perumahan, walaupun mungkin tidak seperti yang dibayangkan oleh kedua belah pihak. Sebagian bangunan terminal, dengan atap melengkung sepanjang 1.200 meter, dijadikan tempat penampungan sementara bagi ribuan pengungsi yang membanjiri Jerman.

Berkaca pada pengalaman, para pejabat yang berwenang mengatakan bahwa rencana pembangunan tidak dijelaskan dengan baik dan mereka tidak menyadari bagaimana orang-orang akan merespons setelah mereka berada di taman. Penduduk Berlin memiliki sejarah, ungkap mereka, dalam merebut lahan terbuka yang terbengkalai dan menguasainya. Hal yang sama terjadi di Tempelhof, dalam skala kolosal.

“Mereka ingin menduduki tempat itu,” ujar Ursula Renker, perencana tata kota yang bekerja untuk pemerintah kota Berlin. “Bagi banyak orang, bandara itu merupakan bagian dari sejarah mereka. Ada perasaan istimewa karena tempat itu dahulu berpagar rapat. Anda hanya bisa masuk melalui gerbang.”

Gerbang itu masih ada, dan orang-orang tersenyum saat melewatinya. Keakraban mereka dengan tempat itu mendatangkan suatu kegembiraan tersendiri.

Maka inilah taman kota favorit saya, lahan basah di dekat rumah saya. Tidak mewah, hanya dataran rendah seluas satu hektare yang bebas dari pembangunan. Saya kerap pergi ke sana. Saya senang mendatanginya pada pagi hari, berjalan di antara rumpun-rumpun embet, dan menyaksikan dua dunia—jalan raya dan rawa—terbangun dari tidur. Bersama terbitnya matahari, yang memancarkan sinarnya ke pucuk pepohonan, lalu lintas di sepanjang jalan berlajur empat di pinggir taman berangsur-angsur ramai. Akhirnya, keriuhan jalanan berbaur dengan latar belakang.Kemudian, jika saya menajamkan pendengaran, saya bisa mendengar burung-burung berkicau.