Taman Kota

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Ada keajaiban di sini, kepuasan karena tak sepenuhnya tersesat, namun juga tidak sepenuhnya dekat.

Saya keluar dari jalur, mengikuti sungai tak bernama di timur laut Ohio, menerobos pepohonan yang tumbang di atas kali yang dasarnya berselimut pecahan batu.Airnya keruh akibat lanau yang tercurah dari air terjun-air terjun kecil.Sinar matahari menari-nari bersama sungai dan pepohonan.Saat saya melepas sepatu bot dan menginjak genangan air, kesejukan lumpur terasa di sela-sela jemari kaki. Di kejauhan, di balik tanjakan, sayup-sayup terdengar riuh kota. Peradaban amat dekat namun terasa begitu jauh. Dalam hal yang saling bersisian itu, terdapat keindahan taman kota.

Tempat itu adalah Taman Nasional Cuyahoga Valley, di antara hamparan luas Cleveland dan Akron. Daya tarik utama taman itu adalah Sungai Cuyahoga nan kukuh, yang pernah menjadi lambang kerusakan lingkungan setelah timbunan sampah sarat minyak di sungai itu terbakar. Taman nasional itu didirikan lima tahun kemudian, pada 1974.

Kecantikannya beragam dan dapat dinikmati sedikit demi sedikit.Tebing-tebing batu pasir tersembunyi di dalam hutan.Bekas halaman bengkel mobil kini menjadi rawa yang diciptakan oleh berang-berang yang membendung kanal tua.Di arena itu kini terdapat lapangan yang ideal untuk mengamati elang.Dunia buatan dan alami berdekatan, saling melapisi dan berlomba-lomba meraih perhatian para pesepeda, pejalan kaki, dan pelari yang silih berganti mendaki dan menuruni jalur di pinggir kanal tua.

Inilah taman kota masa kini. Tidak seperti ruang publik yang tertata rapi pada masa lalu, taman-taman ini merupakan hasil reklamasi dari penggalan-penggalan kota yang terbengkalai: Petak-petak hutan gundul, pangkalan militer dan bandar udara yang sudah ditinggalkan, sistem pengolahan air hujan, rel dan jembatan kereta api, tempat-tempat yang menyatukan serpihan-serpihan lahan bagaikan selimut perca atau rangkaian manik-manik.

Eksperimen ini dilakukan di seluruh dunia. Taman-taman jalur kereta api, kebanyakan terinspirasi dari kesuksesan High Line di New York City, kini menjadi pesona di Sydney, Helsinki, dan kota-kota lainnya. Singapura tengah membangun hutan hujan tropis artifisial di Bandar Udara Changi. Di pinggir Mexico City, sebuah taman raksasa direncanakan akan dibangun di sisa-sisa Danau Texcoco.

Saya terkesima oleh kekayaan inovasi dan terpacu oleh gairah yang dihadirkan orang-orang ke tempat-tempat ini. Ketika saya menjelajah di sana, semakin jelas bahwa taman-taman kota bukanlah pengganti taman-taman nasional raksasa dan terpencil yang melindungi hutan, gunung, dan ngarai termegah kita. Taman-taman kota ini memiliki fungsi berbeda; kenyataannya, kita membutuhkan keduanya.

pada suatu siang yang panas dan berkabut, saya berjalan menyusuri jalur sepanjang enam kilometer di Cheonggyecheon, seruas sungai yang alirannya membentang, membelah jantung Seoul. Pada masa praindustri Seoul, sungai ini menjadi tempat para kekasih bercengkerama dan para wanita mencuci bersama.Tetapi, ledakan penduduk di Seoul setelah Perang Korea menghadirkan kawasan-kawasan kumuh dan terpolusi, dan sungai ini pun menjadi pemandangan buruk.Pada 1958 jalan raya dibangun di atasnya.Sebuah jalan layang bebas hambatan, yang selesai dibangun pada 1976, menguburkan sungai sepenuhnya.

Sepanjang 1990-an, sekelompok kecil beranggota akademisi dan insinyur berusaha membuka kembali saluran air itu. Mereka memikirkan cara untuk mengatur sistem hidrologi dan mengatasi kemacetan yang mungkin timbul ketika jalan bebas hambatan dan jalan raya di bawahnya, yang dilewati lebih dari 170.000 kendaraan per hari, dipindahkan.

Komponen yang hilang adalah pemimpin bertangan dingin.Sosok itu hadir dalam wujud Lee Myung-bak, mantan eksekutif di bidang konstruksi dengan perusahaan yang dahulu menjadi kontraktor utama dalam pembangunan jalan bebas hambatan. Dia menjadikan restorasi sungai sebagai isu kunci dalam kampanye suksesnya sebagai wali kota Seoul pada 2002. Lima tahun kemudian, dia terpilih menjadi Presiden Korea Selatan.

Dengan anggaran 4,8 triliun rupiah, proyek reklamasi besar-besaran itu dimulai pada 2003.Pertama-tama, jalan layang bebas hambatan dirobohkan.Kemudian jalan raya dibongkar sehingga sungai kembali terlihat.Debitnya berubah-ubah, alirannya kecil di musim kemarau dan deras pada monsun musim panas. Berkat stasiun pemompa yang mengalirkan 120.000 ton air per hari dari Sungai Han, aliran Cheonggyecheon kini dapat diperkirakan.

“Orang-orang mengeritiknya dengan sebutan sungai buatan atau akuarium,” Lee In-keun, mengatakan saat kami berjalan-jalan menyusuri bagian atas Cheonggyecheon. Jalur di pinggir sungai itu dipenuhi oleh orang yang menikmati pemandangan ikan mas yang tengah bersantai di bagian kolam yang dalam. Penelitian menunjukkan bahwa sungai itu memberikan efek menyejukkan selama musim panas di Seoul.Lee, yang mengawasi proyek restorasi, sepakat bahwa Cheonggyecheon artifisial. Tetapi itu tidak berarti apa-apa baginya; menurutnya kehadiran alam sama vitalnya dengan di tempat yang sungguh-sungguh alami. “Sungai ini menjadi permata kota. Anda bisa mendengar gemericik air yang mengalir di pusat kota yang dihuni sepuluh juta jiwa. Ini menakjubkan.”

Cheonggyecheon berhulu di distrik finansial, di tengah ngarai gedung perkantoran.Sungai itu mengalir ke timur, tepiannya melebar, beton digantikan oleh petak alang-alang dan pepohonan.Alirannya melewati area perbelanjaan meriah, distrik grosir, dan kompleks apartemen raksasa yang menjulang bagaikan benteng.Di satu titik, sepasang tumpuan beton menjulang dari sungai.Bagian dari jalan layang lama. Keduanya menjadi pengingat akan masa lalu dan kefanaan teknik manusia. Banyak penduduk Seoul sulit mengingat kala sungai tertutup, saat burung bangau tidak berjingkat-jingkat memburu ikan, kala tempat itu tidak mengundang.

Saya berada di dekat hilir Cheonggyecheon ketika mendengar seorang penyanyi.Saya mengikuti suaranya menuju panggung kecil di bawah jembatan.Kelompok musik tengah memainkan lagu—dengan cengkok khas Korea.

Saya duduk di bangku, di pinggir sekumpulan pensiunan dan mendengarkan. Seorang wanita dengan senyum manis bersikeras mengajak saya berdansa. Kami menari bersama musik, berpegangan tangan, berpadu bagaikan kota dan taman yang membelahnya.

“Di sinilah semuanya dimulai,” ujar Amy Meyer ketika kami memasuki halaman Fort Miley, bagian dari Area Rekreasi Taman Nasional Golden Gate, di ujung barat laut San Francisco. Seekor coyote berdiri di tengah jalan dan memandang kami, sepertinya tak hendak bergegas pergi. Walaupun National Park Service bertahun-tahun hadir di berbagai kota, pembangunan Golden Gate dianggap sebagai titik balik dalam gerakan taman kota.

Meyer kini berusia 82. Dia berprofesi sebagai ibu rumah tangga pada 1969, saat mendengar rencana pembangunan pusat arsip di Fort Miley, benteng besar yang lama terbengkalai, beberapa blok dari rumahnya. Dia mulai mengorganisir massa untuk menyelamatkan lokasi itu agar dibiarkan menjadi ruang terbuka, dan akhirnya bergabung dengan aktivis di seberang Jembatan Golden Gate yang khawatir, bahwa meluasnya suburban akan menghancurkan kecantikan menawan daerah Marin Headlands.

Golden Gate, bersama Area Rekreasi Taman Nasional Gateway di New York dan New Jersey, didirikan pada 1972. Taman-taman baru ini melambangkan gerakan Park Service untuk melebarkan sayap mereka dari taman alam liar ke tempat yang lebih mudah diakses dan lebih dekat dengan kota besar Amerika. Sebagaimana yang dikatakan oleh Walter Hickel, sekretaris dalam negeri dan mantan gubernur Alaska, “Kita harus membawa alam ke tengah manusia, bukan membiarkan mereka tinggal di lingkungan yang terkungkung beton.”

Masyarakat jelas mendukung Golden Gate, salah satu tempat yang terbanyak dikunjungi dalam sistem taman nasional, menyedot sekitar 15 juta pengunjung setiap tahun. Taman ini membentang di kedua sisi pintu masuk menuju Teluk San Francisco, dengan pantai, tebing menjulang, pepohonan redwood, dan sisa instalasi militer. Ada pula Alcatraz, tempat 4.000 turis per hari turun dari kapal feri untuk mengikuti tur bekas penjara federal.

Taman ini amat meriah: Penduduk setempat berjalan pagi melewati turis, permainan Frisbee dan pesta di lapangan pada akhir pekan, dan anjing yang diikat maupun dilepas di mana-mana. Kebanyakan pengunjung tidak menyadari, mereka berada di dalam taman nasional. Itu bisa dimengerti.Tidak ada gerbang megah. Hal yang lebih membingungkan, San Francisco juga memiliki Taman Nasional Golden Gate, bersebelahan dengan taman nasional dekat laut.

Semua ini menghasilkan ragam hal yang mencengangkan, dari pelayang gantung dan politisi, hingga peselancar dan komuter. Perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengelola sumber daya di sana, bisa memanas.

!break!

“Kita hidup di negara demokrasi, dan demokrasi bisa berantakan,” ujar Chris Lehnertz, Superintenden Golden Gate.

Lehnertz bekerja sama dengan pemerintah setempat, menjalankan strategi pendampingan tunawisma, masalah di banyak taman kota. “Saya memandang tunawisma yang bermalam di sini sebagai pengunjung,” katanya, “seperti jika saya melihat orang yang membawa anjing mereka berjalan-jalan di jalur yang tertata rapi.”

Di suatu pagi, saya mengendarai mobil sekitar delapan kilometer di selatan San Francisco menuju Gigir Milagra, bagian terpencil taman nasional yang menyajikan pemandangan menawan Samudra Pasifik. Pada puncak Perang Dingin, tempat ini menjadi basis misil, dengan kawat berduri dan anjing penjaga.Gigir ini masuk ke dalam Golden Gate. Menjulang di atas lautan perumahan, ia menjadi pulau yang tenteram dan tangguh, suaka bagi spesies terancam seperti katak kaki merah california.

Tahun lalu, untuk merayakan ulang tahun ke-100, National Park Service meluncurkan Agenda Urban.Ini merupakan kelanjutan, walaupun lebih mendesak, dari panggilan aksi yang telah ada dan dimulai pada 1970-an. Laporan menjelaskan bahwa hal ini adalah bisnis yang baik.Dan dengan demografi Amerika yang berubah dengan cepat, ini juga politik yang baik untuk menjadikan instansi lebih relevan saat Amerika semakin urban dan beragam.

Salah satu tempat yang menerapkan agenda ini adalah Taman Nasional Tepi Danau Gumuk Pasir Indiana (Indiana Dunes National Lakeshore), yang membentang hingga menyentuh pabrik baja di sepanjang Danau Michigan di Indiana bagian barat laut dan merambah pantai besar tersembunyi di Gary, salah satu kota termiskin Amerika. “Taman  besar mendatangkan orang kaya berkulit putih,” ujar Paul Labovitz, superintenden taman nasional. Namun masa depan Park Service bergantung pada usaha menarik pengunjung baru, dan itu lebih mudah dilakukan di taman urban. Taman-taman ini lebih baru, kata Labovitz, sehingga tidak memiliki banyak tradisi yang menghalangi eksperimentasi.

taman-taman kota ikonik tidak akan tergusur. Taman itu telah menjadi permata di kota di seluruh dunia. Namun bentuk teratur yang menjadi kebutuhannya, sulit ditemukan di tempat-tempat yang telah dikepung pembangunan. Jadi taman kota baru kita, di Amerika Serikat dan negara lainnya, mencerminkan tantangan menduduki dan mengembangkan lahan. Saat ini terdapat lebih banyak tanggapan publik dan perhatian pemerintah, kata Adrian Benepe, direktur pengembangan taman kota untuk Trust for Public Land dan mantan komisioner pertamanan New York City.  “Ini sulit karena kota juga harus menanggung biaya asuransi kesehatan dan pendidikan,” kata Benepe. “Taman kerap menjadi prioritas terakhir.” Hal yang sedang marak saat ini, katanya, adalah model yang lebih bisa diandalkan, yakni bekerja sama dengan sektor swasta, baik untuk membangun maupun mengoperasikan taman.

Barangkali taman kota paling ambisius di dunia yang dijalankan dengan pola pikir wirausaha tersebut adalah Presidio, bekas pangkalan militer yang merupakan bagian dari Area Rekreasi Golden Gate, namun dioperasikan secara terpisah. Terletak di pintu masuk menuju Teluk San Francisco, awalnya Presidio diklaim oleh Spanyol, kemudian Meksiko, dan akhirnya, pada 1846, oleh AS. Pada 1898 Presidio dianggap tak diperlukan bagi pertahanan nasional.Pangkalan militer—barak, gedung, lembah, dan pemandangan menakjubkan—di lahan seluas 603 hektare itu pun ditutup.

Pada 1994 pengelolaannya diserahkan kepada Park Service. Berbeda dengan taman-taman nasional lainnya, Presidio memiliki dewan direktur sendiri dan kini menggalang seluruh pemasukannya sendiri, terutama dengan menyewakan bekas perumahan militer, juga rumah sakit dan gedung-gedung administratif kepada para penyewa residensial dan komersial. Bisnis yang dikelola swasta menyerap sekitar 4.000 tenaga kerja, dan lebih dari 3.500 orang menghuni pangkalan yang telah direhabilitasi.Harga sewa sebuah rumah di salah satu lingkungan mewah, yang dahulu dihuni oleh para pejabat militer, mencapai 150 juta rupiah per bulan.Uang sewa disalurkan kembali ke proyek restorasi, renovasi, dan perawatan.Untuk menciptakan kembali lahan basah, yang merupakan bagian dari rencana besar restorasi keanekaragaman hayati, apartemen-apartemen yang nilai sejarahnya kurang, perlu dirobohkan, untuk menjaga keseimbangan bagi penghuni dan pengunjungnya.

Alam liar bisa terlihat seperti standar tegas dan deskripsi yang semakin subjektif mengenai lingkungan yang semakin tergerus. Terkait taman kota, pembahasan yang dilakukan bukanlah tentang alam yang perawan, namun kerap kali hanya tentang kenikmatan berada di luar ruangan. Saya teringat pada kunjungan saya ke Tempelhof, bandar udara yang diubah menjadi taman di dekat jantung Berlin. Ketika itu hari kerja, dan satu jam sebelum matahari terbenam, orang berduyun-duyun mendatangi taman. Mereka mengendarai sepeda dan berlari mengelilingi hamparan rumput.Para pemuda meluncur dengan papan luncur, dan para ibu bermain sepak bola dengan anak-anak mereka.

Bandara Tempelhof ditutup pada 2008. Ketika tempat ini dibuka kembali sebagai taman dua tahun setelahnya, terdapat keraguan apakah penduduk Berlin akan menerimanya. Beberapa hal yang dahulu ada, dipertahankan hingga kini. Tetapi keaslian ini—yang tidak diutak-atik—justru terbukti menjadi daya tarik taman. Para penduduk menyukai keterbukaannya dan pemandangan matahari terbenam yang nyaris tanpa gangguan.Mereka senang karena bisa memasuki properti yang dahulu terlarang.Tetapi yang terpenting, mereka menikmati kesan merdeka yang diberikan oleh Tempelhof dengan 300 hektare areanya. Ketika para ahli tata kota mengajukan proposal pembangunan kompleks perumahan dan perkantoran di seperlima lahannya, terjadi aksi penolakan yang pada 2014 menghasilkan referendum yang menghadang sebagian besar rencana pembangunan di sana.

“Anda bisa merasakan langit. Anda bisa bernapas,” kata Diego Cárdenas, salah seorang pemimpin gerakan referendum, ketika kami duduk di hamparan rumput di Tempelhof. “Jika pembangunan mulai dilakukan di satu bagian, di manakah itu akan berakhir?” Masa depan Tempelhof masih melibatkan perumahan, walaupun mungkin tidak seperti yang dibayangkan oleh kedua belah pihak. Sebagian bangunan terminal, dengan atap melengkung sepanjang 1.200 meter, dijadikan tempat penampungan sementara bagi ribuan pengungsi yang membanjiri Jerman.

Berkaca pada pengalaman, para pejabat yang berwenang mengatakan bahwa rencana pembangunan tidak dijelaskan dengan baik dan mereka tidak menyadari bagaimana orang-orang akan merespons setelah mereka berada di taman. Penduduk Berlin memiliki sejarah, ungkap mereka, dalam merebut lahan terbuka yang terbengkalai dan menguasainya. Hal yang sama terjadi di Tempelhof, dalam skala kolosal.

“Mereka ingin menduduki tempat itu,” ujar Ursula Renker, perencana tata kota yang bekerja untuk pemerintah kota Berlin. “Bagi banyak orang, bandara itu merupakan bagian dari sejarah mereka. Ada perasaan istimewa karena tempat itu dahulu berpagar rapat. Anda hanya bisa masuk melalui gerbang.”

Gerbang itu masih ada, dan orang-orang tersenyum saat melewatinya. Keakraban mereka dengan tempat itu mendatangkan suatu kegembiraan tersendiri.

Maka inilah taman kota favorit saya, lahan basah di dekat rumah saya. Tidak mewah, hanya dataran rendah seluas satu hektare yang bebas dari pembangunan. Saya kerap pergi ke sana. Saya senang mendatanginya pada pagi hari, berjalan di antara rumpun-rumpun embet, dan menyaksikan dua dunia—jalan raya dan rawa—terbangun dari tidur. Bersama terbitnya matahari, yang memancarkan sinarnya ke pucuk pepohonan, lalu lintas di sepanjang jalan berlajur empat di pinggir taman berangsur-angsur ramai. Akhirnya, keriuhan jalanan berbaur dengan latar belakang.Kemudian, jika saya menajamkan pendengaran, saya bisa mendengar burung-burung berkicau.