Gelombang Panas

By , Jumat, 2 September 2016 | 19:30 WIB
Zona rendah-oksigen alami di laut dalam meluas. Pengasaman laut membahayakan hidup kerang-kerangan. Memprediksi masa depan bukan hal mudah—apalagi kalau keadaan saat ini pun baru sekelumit yang kita pahami.

Blob tersebut mulai menghilang pada Desember 2015, panasnya tenggelam ke dalam lautan bersama kedatangan El Niño. Namun, pemahaman akan makna panas itu memerlukan waktu bertahun-tahun. Penelitian baru menunjukkan bahwa gelombang panas seperti blob ini akan terjadi lebih sering dan lebih parah karena perubahan iklim. Ilmuwan meramalkan “peristiwa yang lebih tak lazim dan lebih ekstrem. Akan menjadi lebih kacau,” kata Raphael Kudela, profesor ilmu kelautan University of California, Santa Cruz. Ilmuwan memperkirakan bahwa ledakan alga beracun akan terjadi lebih sering, lebih luas, dan lebih beracun.

Hal ini juga dapat menyebabkan masalah bagi manusia. Ketika saya bertemu dengan Dick Ogg, di Marina Tanjung Spud di Teluk Bodega. Nelayan komersial ini menangkap ikan salem, albakora, dan kod hitam tetapi penghasilan terbesarnya berasal dari kepiting dungeness. Sayangnya beberapa bulan ini kapalnya banyak menganggur. Kepiting tetap tidak aman dimakan lama setelah ledakan alga beracun mereda, sehingga California menunda panen kepiting selama berbulan-bulan, menyebabkan kerugian lebih dari 600 miliar rupiah. “Banyak orang yang benar-benar kesulitan,” kata Ogg.

Namun, kerusakan yang diakibatkan blob ini belum tentu mencerminkan keadaan di masa depan. Karena pemanasan berlangsung selama puluhan tahun, tidak seperti periode blob yang sekitar dua tahun, tanaman dan hewan dapat beradaptasi atau pindah. Beberapa kematian massal mungkin tetap terjadi tanpa adanya blob.

Dan masih banyak perubahan lain yang akan terjadi. Naiknya permukaan air laut mengubah garis pantai. Zona rendah-oksigen alami di laut dalam meluas. Pengasaman laut membahayakan hidup kerang-kerangan. Memprediksi masa depan bukan hal mudah—apalagi kalau keadaan saat ini pun baru sekelumit yang kita pahami.

Lefebvre tidak berhasil memecahkan misteri berang-berang laut. Sampai akhir tahun, ada 304 yang mati—hampir lima kali rata-rata. Sepertiga bangkai yang diperiksa para ilmuwan positif mengandung alga beracun. Tetapi infeksi streptokokus didiagnosis merupakan penyebab utama kematian kebanyakan berang-berang. Apakah racun alga melemahkan hewan itu? Apakah air hangat memperburuk keadaan? “Kita masih belum mengetahui dampak semua perubahan ini,” kata Lefebvre.

Beberapa minggu kemudian, saya membahas hal yang sama dengan Julia Parrish, ahli burung di University of Washington, yang meneliti kematian burung guillemot. Dia tidak tahu apakah burung laut itu mencari makanan yang menipis jumlahnya hingga ke tempat yang tidak biasa, terganggu otaknya oleh asam domoat, atau terbawa oleh angin ke darat. “Masih teka-teki bagi saya,” ungkapnya.

Saya pun tersadar bahwa mungkin itulah yang akan menjadi kelaziman baru bagi kita: jurang ketidaktahuan antara laut yang dulu kita kenal, dengan laut yang kita ubah dengan cepat.