Aliran Sungai Marak yang airnya berwarna merah siang itu tak bersahabat. Saya membangkitkan kenangan beberapa hari lalu saat melintasi sungai ini. Batu tempat kaki saya bertumpu saat perjalanan sebelumnya, tak lagi terlihat permukaannya. Aliran yang tadinya damai, sekarang berganti dengan suara gemuruh yang menakutkan. Dari tempat penyeberangan
sebelumnya, saya bergesar ke arah hulu untuk mencari celah tebing agar dapat turun ke tepian sungai.
Hujan beberapa hari ini telah menambah debit air di sungai tersebut. Warnanya yang merah pekat menghasilkan busa saat arus sungai ini terkurung di antara batu besar. Pakis air yang semula menawarkan keindahan, sekarang hanyut diterjang arus. Saya dengan hati-hati menuruni tebing kecil menuju tepian sungai, berpegangan pada batang pohon seukuran paha lelaki dewasa. Batu yang saya injak sungguh licin. Jika tergelincir, ransel yang saya panggul dengan berat 24 kilogram dan peralatan kamera yang saya gendong di bagian depan pastilah akan hanyut.
Sebilah kayu bisa menjadi pemandu pijakan yang baik. Saya menjulurkannya ke arah permukaan batu, mencari tempat yang tepat untuk menopang badan dan beban yang saya bawa. Dan, dengan satu langkah penuh keyakinan, saya meloncat dari batu pertama ke batu berikutnya. Beberapa kali saya hampir terjerembap ke dalam derasnya aliran sungai. Namun, dengan sangat baik pula saya bisa mengatasinya. Saya berhasil tiba di seberang sungai dengan selamat.
Perjalanan pulang dari Kemah I menuju barak pangkalan cukup melelahkan. Ini adalah hari kesembilan saya berjalan kaki. Kami sedang menuntaskan misi pencarian titik tertinggi Gunung Beriun, sekaligus meretas jalur menuju singgasananya. Dengan tenaga yang tersisa, saya meloncat dari satu batu ke batu lainnya, juga tanah nan licin akibat hujan. Langkah saya mulai gamang saat jarak menuju barak pangkalan hanya tersisa beberapa ratus meter. Jalan tanah di tepian tebing nan curam sungguh licin.
Tak ada pegangan yang bisa diandalkan untuk menopang badan saat melewati jalan nan licin itu. Hingga akhirnya, “Brakkk!” tubuh saya jatuh ke permukaan jurang sedalam sepuluh meter. Darah segar mengalir dari siku sebelah kiri akibat tergores akar dan permukaan tanah berbatu. Saya kemudian berdiri dan mengecap bibir yang kebas, ada rasa darah di bibir saya.
Siang itu matahari sedang ceria. Teriknya memanggang kulit kami yang sedang larut dalam suasana gembira. Perjalanan membelah jalanan tanah yang biasa digunakan truk pem-bawa kayu gelondongan terasa menantang. Hampir dua jam perjalanan dari Karangan belum juga menemukan titik awal pendakian. Beberapa kali saya melihat burung rangkong terbang melintasi sisa hutan di kawasan Gunung Beriun yang seakan menunggu waktu untuk ditebang.
Gunung Beriun memiliki luas kawasan mencapai 25.870 hektare. Hanya sekitar 5.265 hektare kawasan ini yang merupakan hutan lindung, sedangkan sisanya adalah hutan produksi terbatas dengan luas total 20.605 hektare. Jalan yang kami lintasi ini adalah milik PT. Segara Indochem. Perusahan yang mendapat izin pada 1999 untuk menebang hutan di area seluas 10.508 hektare.
Saya berharap-harap cemas memperhatikan langkahnya. Jika terjerambap, tubuhnya akan langsung terjun bebas ke dasar jurang.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari 60 kilometer dari Desa Karangan, Iwan Irawan, Djukardi Adriana, dan Sony Takari terlihat serius memperhatikan peta yang tercetak di kertas seukuran kalender dinding. Beberapa kali mereka mengalihkan fokus dari peta, kompas, dan sistem pemosisi global (GPS).
Di kejauhan, Karst Tutunambo terlihat tinggi menjulang. Ketinggiannya mencapai 700 meter. Tebing batunya yang terjal mem-berikan kesan megah. Tutunambo adalah salah satu gunung karst yang ada di kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat seluas 1,8 juta hektare. Tetapi, kali ini tujuan kami bukanlah Tutunambo, melainkan ke Gunung Beriun, yang memiliki peran penting dalam Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat.
Rombongan besar ini masih tertahan dalam diskusi alot tentang penentuan titik awal jalur pendakian. Kami hanya berpedoman pada data-data yang belum bisa untuk diandalkan sebagai titik awal pendakian, karena kondisi geografis di lapangan tidak memungkinkan menjadikan koordinat tersebut sebagai titik awal pendakian.
“Saya biasanya naik dari dekat sungai tadi,” ujar Firmansyah, warga Dayak Basap yang bermukim di Muara Bulan. “Saya menjelajahi Beriun tidak pernah menggunakan alat modern, semuanya serba alami dan manual. Kami mengikuti jalur yang diberikan nenek moyang. Salah satunya adalah mengikuti aliran Sungai Marak,” tambahnya.