Beriun Nan Gamang

By , Rabu, 7 Desember 2016 | 12:44 WIB

Survei yang dilakukan oleh The Nature Conservancy dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan bahwa Gunung Beriun, yang merupakan bagian dari Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat, adalah salah satu habitat orangutan di Kalimantan Timur.

Ekosistem karst merupakan tatanan bentang alam karst dengan semua daya, keadaan, dan makhluk hidup yang merupakan satu-kesatuan menyeluruh dan saling memengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Ekosistem karst sendiri bisa dikelompokkan menjadi tiga zona, yakni Zona Subkarst, Zona Epikarst, dan Zona Perikarst.

Zona Subkarst mencakup kawasan di bawah batuan karst yang terdiri dari zona gulita, remang, dan terang. Pada zona ini terdapat jaringan gua, juga sungai dan danau bawah tanah. Sedangkan Zona Epikarst mencakup kawasan di atas batuan karst dan merupakan daerah perantara Subkarst dan Peri-karst.

Gunung Beriun adalah Zona Peri-karst yang merupakan bentangan non-karst, namun memiliki fungsi yang juga penting dalam kelestarian Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat. Spesies kunci dalam ekosistem karst, yakni walet dan kelelawar yang mayoritas tinggal di dalam gua karst, mencari sumber makanan ke Gunung Beriun. Karst Sangkulirang Mangkalihat juga merupakan habitat bagi sekitar 120 jenis burung, yang mana 30 jenisnya adalah burung migran. Selain itu, dari 90 spesies kelelawar di Kalimantan, 32 spesies di antaranya ada di kawasan Sangkulirang Mangkalihat. Kawasan ini juga memiliki keanekaragaman spesies serangga dan artropoda yang mencapai 200, dengan 1 spesies kecoa raksasa, 50 jenis ikan, dan 400 vegetasi. Tentunya, sebagai satu ekosistem yang menyeluruh, pelestarian satu hal di kawasan akan berdampak terhadap pelestarian hal lainnya pula.

Pola pergerakan kami setiap hari adalah meninggalkan tempat berkemah usai sarapan pagi, lalu bergerak membuka jalur. Hutan yang akan kami lalui biasanya sangat rapat. “Hutan begitu rapat dan batu-batu besar pun menghadang,” ujar Iwan. “Ini salah satu hal yang cukup menantang dalam membuka jalur. Terlebih lagi, jalur yang akan kita buka tentunya bisa memudahkan pergerakan seluruh anggota ekspedisi dan regu pengangkut logistik dalam memindahkan barang,” tambahnya sebelum regu pembuka jalur berjibaku mencari jalan terbaik. 

Meskipun kawasan ini telah diajukan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, keuntungan sesaat tampaknya lebih menarik bagi penguasa.

Regu ini terdiri atas orang-orang yang penuh pengalaman. Oji dan Mahdi, dua pemuda lokal dari Karangan juga dilibatkan. Oji adalah mantan penebang pohon di hutan. Beberapa jalur alat berat untuk membawa kayu hasil penebangan hutan, dibuat oleh pria ini. Jalannya sangat cepat. Saya tak bisa bergerak terlalu kencang untuk mengikuti gerak langkah mereka. Mendokumentasikan kegiatan ini bukan perkara mudah, apalagi dilakukan dalam ritme yang pesat. Kadang saya menyerah untuk mengikuti laju pergerakan regu pembuka jalur, lalu mundur perlahan dan menjadi anggota paling buncit.

Briyan B. Hendro sangat hati-hati meniti jembatan kayu yang dibuat mendadak. “Berpeganganlah ke kayu yang sudah diikat ini,” teriak Arizona Sudiro. Dua pria ini akan melintasi jembatan yang lebarnya lebih kecil dari telapak kaki. Di bawahnya, menganga jurang sedalam 20 meter. Hujan yang melanda membuat kayu semakin licin saat dilintasi. Saya harap-harap cemas memperhatikan langkahnya. Jika terjerambap, tubuhnya akan langsung terjun bebas ke dasar jurang yang penuh dengan batu dan semak. Untunglah celaka masih jauh dari kami.

Upaya pencarian dan pembukaan jalur menuju puncak Gunung Beriun selalu menarik. Beberapa kali kami terlempar lumayan jauh dari jalur yang sudah ditetapkan lewat GPS karena tepat di hadapan kami adalah tebing atau jalur yang terjal dan sulit untuk dilalui.

Beragam cara pula untuk melewati rintangan yang ada di hadapan kami, mulai dari merangkak, melompat, merunduk, memanjat. Hal tersulit tentu saat kami bergerak pada hari ketujuh, menuju puncak Gunung Beriun.

Pembuktian stamina dan mental sungguh diuji dengan baik oleh jalur, kondisi alam, dan cuaca saat itu. “Kita coba bergerak ke arah pukul dua,” ujar Iwan. Kali ini, batang pohon yang dihadapi lumayan besar untuk perintisan jalur. Butuh stamina yang prima untuk membersihkan jalan yang akan kami lalui. Ditambah lagi hujan mengguyur jalur menuju puncak.

“Ancaman kawasan ini adalah kerakusan,” ujar Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas yang telah mendedikasikan 21 tahun hidupnya untuk karst. Raut wajahnya berubah menjadi serius saat mengisahkan tentang tantangan bagi pelestarian kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat malam itu di Camp I. Pindi telah bersinggungan dengan kawasan ini sejak tahun 1995. Kala itu, bersama ahli speleologi, Luc-Henri Fage, dan arkeolog serta spesialis prasejarah Oceania, Jean-Michel Chazine, mereka menemukan gua yang menyimpan gambar cadas.

“Semuanya diambil. Ada yang membuka hutan untuk diambil kayunya, ada juga untuk alih fungsi lahan untuk sawit, dan yang hangat, adalah rencana pembukaan pabrik semen. Mayoritas, mereka memiliki banyak uang. Tapi kerakusan juga melanda masyarakat lokal yang mengambil semuanya,” sambungnya. Ia mencontohkan soal walet. “Walet itu banyak, jika hutannya heterogen. Warga yang mengambil walet di gua, akan terus mengambil walet tersebut. Si penebang hutan akan terus menebang hutan.” Saat hutan tempat walet mencari makan musnah, walet pun turut binasa.

Upaya eksploitasi kawasan ini untuk kepentingan sesaat tentu akan menjadi ancaman nyata dalam pelestarian Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat. Upaya-upaya untuk melindungi kawasan ini terus dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, para peneliti, hingga pemuda lokal. “Ide besarnya adalah, jika alamnya terlindungi, secara otomatis budaya di dalamnya pun terlindungi.”

Upaya untuk peduli terhadap kawasan di Gunung Beriun dan kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat telah mendorong para pemuda untuk berjuang melestarikannya. Salah satunya adalah Forum Karst Kutai Timur. “Kami ingin menyosialisaikan karst ini kepada masyarakat yang langsung berkaitan dengan karst. Kami mengedukasi bagaimana pentingnya karst untuk kehidupan mereka, sehingga nanti ke depannya mereka aktif untuk melindungi serta mendapat manfaat secara langsung dari karst,” ujar Irwan, Ketua Forum Karst Kutai Timur yang ikut ambil bagian dalam ekspedisi ke Gunung Beriun ini.

“Kami juga mengampanyekan Save Karst untuk melindungi karst dari eksploitasi menjadi pabrik semen,” tambahnya. “Tambang mungkin akan memberi pemasukan yang signifikan kepada kas daerah dan negara. Namun, rakyat juga butuh sejahtera. Jika karst dan alamnya lestari, masyarakat bisa mendapat manfaat juga secara langsung lewat pengembangan pariwisata berkelanjutan yang dikelola langsung oleh masyarakat,” tambahnya. “Kami terus mengawal karst dari sisi kebijakan ruang. Kalau sudah dilindungi, ya tidak boleh di eksploitasi.”

Isu pembangunan pabrik semen sedang hangat melanda kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat. Meskipun kawasan ini sudah diajukan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO, manfaat eksploitasi kawasan dan keuntungan sesaat nampaknya lebih menarik bagi para pemilik modal dan penguasa, sehingga mengesampingkan alasan-alasan kelestarian.

Keringat bercucuran saat saya memacu langkah menuju puncak Gunung Beriun Raya. Pohon-pohon berselimut lumut nan tebal menjadi payung saat saya mengayun kaki melewati tanah nan gembur. Puncak Beriun Raya dengan ketinggian 1.261 meter sudah semakin dekat. Dari jauh saya sudah bisa mendengar suara bising anggota tim ekspedisi. Langkah saya semakin beringas.

Puncak gunung ini adalah gugusan hutan nan rimbun tempat batang pohon sepenuhnya berselimut lumut. Saya melepas pandang jauh ke depan. Di hadapan saya, hamparan karst nan megah menjadi panorama yang menyejukkan mata. Sejauh mata memandang, hutan-hutan nan lebat terlihat seperti permadani yang terbentang luas.              

Dalam keheningan, saya tertegun. Tiba-tiba, lengkingan suara mesin mobil terdengar di kejauhan. Saya berusaha mencari sumber suara, ternyata sebuah truk yang membaya kayu hasil penebangan hutan di kawasan Gunung Beriun, membelah jalanan tanah di antara hutan nan indah.

Seketika, ketakutan saya menjadi nyata. Apa mungkin gunung ini masih akan lestari saat saya tua nanti?