Beriun Nan Gamang

By , Rabu, 7 Desember 2016 | 12:44 WIB

Firmansyah adalah generasi terakhir Dayak Basap yang lahir di gua. “Saya lahir di Karst Ara Raya, KM 15. Desa Karangan Dalam. Baru setelah umur 14 tahun saya keluar dari gua. Itu pun setelah ditemukan oleh sebuah perusahaan yang sedang membuat jalan untuk jalur membawa hasil penebangan hutan.”

Iwan Irawan, komandan operasi ini, meng-ambil tindakan yang bijak dengan mem-pertimbangkan beberapa faktor, termasuk cerita dari Firmansyah. “Sekarang kita kembali ke KM 48, dekat pondokan yang berada di tepi Sungai Marak,” ujarnya memberikan komando. Lenguh kendaraan yang membawa anggota tim dan perbekalan yang jumlahnya melimpah, kembali membelah jalanan tanah.

Tiga pondok kayu yang sudah lama ditinggalkan menjadi tempat bermalam kami sebelum melanjutkan perjalanan panjang mencari puncak Gunung Beriun. Pondok kayu ini menjadi rumah bagi para perambah hutan saat musim tebang berlangsung. Hutan di Gunung Beriun sendiri dikelompokkan menjadi tiga, yakni hutan primer, hutan sekunder, dan belukar tua.

Pada hutan primer yang memiliki luas 12.272 hektare, tegakan hutan yang mendominasi adalah kelompok Dipterocarpaceae yaitu kelompok meranti (Shorea spp.),  sedangkan kelompok rimba campuran didominasi jenis dedang (Litsea spp.), jambu-jambu (Eugenia spp.), banitan (Polyalthia spp.), dan nyatoh (Palaquium spp.). Tegakan hutan yang mendominasi di hutan sekunder seluas 12.034 hektare adalah kelompok Dipterocarpaceae, yaitu kelompok meranti, sedangkan kelompok rimba campuran didominasi jenis jambu-jambu, nyatoh, dan medang. Kawasan seluas 1.564 hektare merupakan kawasan belukar dengan tegakan hutan yang mendominasi berupa kelompok rimba campuran seperti jenis jambu-jambu, mahang (Macaranga spp.), dan jabon (Anthochephallus spp.).

Saat senja, Firmansyah bersiap menggelar ritual puun. Menggunakan pakaian kulit jomo dan topi petik, tanpa alas kaki, Firmansyah berjalan menuju tepian jalan yang berbatasan langsung dengan hutan yang muram sehabis hujan, dan karena gelap mulai datang. Ritual puun dilakukan untuk memohon perlindungan kepada leluhur penunggu hutan sebelum memasuki hutan Gunung Beriun.

Nasi putih diletakkan di atas daun. Lalu, mulutnya komat-kamit melafalkan mantra dalam bahasa Dayak Basap. “Secara bergiliran, ludahi nasi putih ini,” pintanya. Kami meludahi nasi ini secara bergantian sebelum nasi ini dilemparkan ke dalam hutan. Meludahi nasi yang ada di atas daun merupakan bentuk ke-ikut-sertaan dan sebagai bentuk permohonan perlindungan oleh masing-masing individu kepada para penunggu hutan. Bagi masyarakat Dayak Basap, hutan adalah sumber kehidupan dan aset masa depan bagi anak-cucu mereka. Kelestarian hutan adalah mutlak, tak bisa diganggu gugat.

Kami melewati malam pertama di ruangan yang cukup menampung 10 orang. Mi, sayur rebus, dan nasi putih menjadi penyumbat perut yang sudah keroncongan. Kelak inilah makanan yang akan kami santap saat pagi dan malam beberapa hari ke depan. Hujan dan suasana nan dingin tak mengurangi diskusi hangat kami tentang rencana perjalanan hari berikutnya. Esok hari adalah hari bagi seluruh anggota tim bergerak masuk ke dalam rimba Gunung Beriun. Rencananya, tim mendirikan barak pangkalan untuk mempermudah regu pembuka jalur dan regu pengantar logistik dalam menjalankan tugas masing-masing.

“Besok pagi, seluruh tim diharapkan sudah bisa bergerak dari tempat ini menuju basecamp. Perjalanan tidak terlalu sulit dan jaraknya tidak terlalu jauh untuk tiba di sana,” ujar Iwan yang juga bertugas merencanakan pergerakan ekspedisi.

Barak pangkalan kami letaknya tak jauh dari Sungai Marak. Sungai ini merupakan salah satu keunikan yang bisa dijumpai di Gunung Beriun. “Meskipun airnya berwarna merah, rasanya tidak kelat. Di beberapa tempat, air berwarna merah ini rasanya kan kelat,”  ujar Firmansyah. Air sungai ini akan bermuara di Sungai Karangan dan menjadi salah satu sumber air bagi warga yang bermukim di sepanjang alirannya.

Masing-masing orang sibuk dengan aktivitas-nya masing-masing. Ada yang me-masang terpal pelindung, membangun  dapur, mengambil dan memasak air, hingga mencari pohon yang tepat untuk mengikat keranjang tidur gantung. Ekspedisi dalam waktu yang lumayan panjang dan melibatkan anggota yang juga sangat besar tentunya membutuhkan kesadaran masing-masing untuk ikut terlibat dalam setiap hal sekecil apa pun.

Saat matahari mulai condong ke barat, barak pangkalan kami sudah selesai dengan sempurna. Rencana berikutnya adalah per-gerakan membuka jalur. Saya mengikuti Iwan, Djukardi, Oji, Saipul, dan Firmansyah mencari jalur yang akan digunakan untuk perpindahan hari berikutnya. “Hari ini kita coba mencari jalur dan titik perhentian yang memungkinkan untuk dilewati,” ujar Iwan.

Saya mengikuti Iwan menyeberangi Sungai Marak, meloncat dari satu batu ke batu yang lainnya. Lalu sesekali saya harus memanjat tebing yang vertikal. Tak jauh dari tanjakan tersebut, saya terkesima. Dua sarang orangutan yang tak dihuni menjadi bonus luar biasa. Letaknya sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Posisinya berada di antara cabang batang dan di bawah tajuk pohon.