Bergantung di Dahan nan Lapuk

By , Rabu, 7 Desember 2016 | 13:21 WIB

“Terkadang saya merasa ini subjek penelitian yang paling sulit di dunia,” ujar Cheryl Knott, sembari duduk di bawah kerindangan hutan, di stasiun penelitian orangutannya di Kalimantan Barat. Bunyi tonggeret yang melengking nyaring memenuhi udara, sehingga sesekali obrolan kami terhenti. Sementara kami bercakap-cakap, rekan-rekan Knott bekerja di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, dengan peralatan GPS dan iPad, mengikuti kembara harian orangutan. Mereka mencatat apa saja yang dilakukan, apa yang dimakan, serta cara berinteraksi dengan orangutan lainnya.

Tidak seperti gorila dan simpanse—kera besar lainnya yang hidup berkelompok dan relatif mudah untuk diikuti dan diamati—orangutan biasanya hidup soliter. Hewan ini melewatkan sebagian besar waktunya di atas pohon, berkeliaran dalam wilayah yang luas, dan biasanya hidup di hutan terjal atau dataran rendah berawa yang sulit dijamah manusia. Akibatnya, orangutan termasuk hewan darat besar di bumi yang kurang dikenal sampai akhir-akhir ini. Baru sekitar 20 tahun terakhir bukti ilmiah menggantikan spekulasi, saat generasi baru peneliti mengikuti langsung kera yang hanya hidup di Kalimantan dan Sumatra ini.

Selama lebih dari dua dekade, Knott memimpin penelitian di Gunung Palung, mengamati berbagai aspek riwayat hidup orangutan tetapi terutama berfokus pada pengaruh ketersediaan pangan terhadap hormon dan reproduksi betina. “Pada saat kami mulai melakukan riset di sini, belum ada yang meneliti hormon kera liar,” katanya. “Orang menganggap saya gila.”

Penelitian Knott sangat penting karena orangutan betina hanya melahirkan setiap enam sampai sembilan tahun sekali. Ini selang kelahiran yang paling lama di antara mamalia. Hasil penelitiannya mungkin saja bermanfaat bagi pengetahuan kita tentang kesuburan manusia; manusia dan orangutan sedemikian miripnya sehingga Knott dapat menggunakan alat uji kehamilan standar yang dijual di apotek untuk memeriksa urine orangutan betina.

Sebagaimana kebanyakan hutan di Asia Tenggara, pepohonan di Gunung Palung biasanya tidak berbuah atau hanya berbuah sedikit. Kemudian, sekitar empat tahun sekali, berbagai jenis pohon secara bersamaan berbuah lebat. Fenomena ini menyebabkan Knott menduga ada hubungan antara berlimpahnya makanan dan reproduksi orangutan.

Penelitiannya menunjukkan bahwa hormon reproduksi orangutan betina paling tinggi ketika buah melimpah di hutan.

“Itu sangat masuk akal,” kata Knott. “Berat badannya bertambah selama periode buah berlimpah, kemudian cadangan tersebut dipakai pada musim paceklik. Selama periode buah berlimpah ini, kemungkinan betina hamil menjadi lebih besar.”

Sekarang ini masa yang menggembirakan bagi Knott dan peneliti orangutan lainnya. Berkat kemajuan teknologi (termasuk kemungkinan menggunakan drone untuk mencari dan mengikuti orangutan di medan terjal), hal ini dapat mempercepat laju penemuan, yang sudah jauh lebih cepat daripada dua dekade silam. Tentu saja dengan asumsi, bahwa masih tersisa orangutan yang dapat mereka teliti di hutan Kalimantan dan Sumatra.

Pada 1980-an dan 90-an, beberapa pelestari lingkungan meramalkan bahwa orangutan akan punah di alam liar dalam waktu 20 atau 30 tahun. Untungnya itu tidak terjadi. Jumlah orangutan yang diketahui saat ini ribuan ekor lebih banyak daripada saat pergantian milenium.

Ini tidak berarti bahwa dunia orangutan baik-baik saja. Jumlah yang lebih tinggi ini akibat metode survei yang lebih cermat serta penemuan populasi baru, bukan karena pertambahan populasi sebenarnya. Malah, populasi keseluruhan orangutan turun sekurangnya 80 persen dalam 75 tahun terakhir. Sulitnya penelitian orangutan tecermin dalam sikap Erik Meijaard. Ia adalah ilmuwan yang telah lama meneliti tren populasi spesies ini, yang hanya berani menyatakan bahwa populasi di Kalimantan antara 40.000 sampai 100.000. Pelestari lingkungan di Sumatra memperkirakan hanya tersisa 14.000 ekor di sana. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kerusakan habitat akibat pembalakan dan maraknya perkebunan kelapa sawit, yang buahnya diproses menjadi minyak yang digunakan untuk memasak dan beragam produk makanan.

Ada satu faktor lain. Laporan 2013 yang disusun beberapa peneliti terkemuka menyatakan bahwa sebanyak 65.000 orangutan mungkin dibunuh di Kalimantan saja dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa dibunuh untuk dimakan oleh penduduk miskin. Lainnya ditembak karena merusak tanaman warga—atau melindungi anaknya. Karena wajahnya ekspresif dan menggemaskan, bayi orangutan berharga sangat mahal di pasar gelap hewan peliharaan, baik di Indonesia maupun diselundupkan ke luar negeri, dari Kalimantan atau Sumatra. Karena induk orangutan melindungi anaknya dengan ganas, cara termudah untuk mendapatkan bayinya adalah dengan membunuh sang induk—sebuah tragedi ganda, tidak hanya dua satwa terenggut dari alam, tetapi pupus pula keturunan yang dapat dilahirkan sang induk selama hidupnya.

Di pusat rehabilitasi seperti International Animal Rescue dekat Gunung Palung, banyaknya orangutan piatu yang dibawa ke sini menunjukkan bahwa pembunuhan masih menjadi masalah serius. Lebih dari seribu orangutan kini tinggal di beberapa lokasi rehabilitasi. Sulit sekali mengajarkan keterampilan bertahan hidup kepada anakan orangutan. Hasilnya pun belum terbukti.

Ancaman terhadap orangutan ini justru terjadi, saat banyak penelitian mutakhir mengungkapkan betapa beragam genetika, struktur fisik, dan perilakunya. Termasuk pula awal perkembangan budaya, yang dapat membantu kita memahami evolusi kera menjadi manusia.