Bergantung di Dahan nan Lapuk

By , Rabu, 7 Desember 2016 | 13:21 WIB

Saat saya tengah mengamati, dia bangkit dan mengeluarkan serangkaian suara keras yang disebut long call atau teriakan panjang: rentetan deguk dan derum rendah yang dapat terdengar hingga lebih dari satu kilometer di hutan. Biasanya teriakan panjang jantan berlangsung kurang dari satu menit, tetapi suara Prabu terus berkumandang hingga lebih dari lima menit. Sang Prabu unjuk kekuasaan kepada jantan saingan dan betina calon pasangannya.

Barisan kelapa sawit menggantikan hutan hujan di dekat Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan. Hamparan luas habitat orangutan tergusur oleh kebun kelapa sawit, yang minyaknya digunakan untuk memasak, produk makanan, dan kosmetik.

Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa dikotomi antara orangutan jantan, sebagian disebabkan oleh perbedaan sejarah geologi Sumatra dan Kalimantan. Sumatra lebih subur daripada Kalimantan, yang tanah lapuk purbanya kekurangan zat hara, dan selang antara musim buahnya sangat panjang, sehingga menyebabkan masa-masa kekurangan makanan. Orangutan di Sumatra tidak perlu berjalan jauh untuk menemukan makanan yang cukup, dan jumlah betinanya lebih banyak. Ini membuat sang jantan dapat menetap di satu tempat dan menjalin hubungan. Lingkungan Kalimantan yang relatif miskin zat hara menciptakan persaingan bebas. Semua orangutan berkeliaran di daerah yang luas, mencari makanan dan pasangan di mana saja.

Hal ini mungkin menjelaskan perbedaan perkembangan karakteristik jantan dominan di kedua pulau. Namun, ini menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih pelik.

“Bagaimana jantan Sumatra tahu, bahwa jika dia menumbuhkan bantalan pipi dan tidak berkuasa, dia tidak akan mendapatkan pasangan?” tanya Carel van Schaik saat kami berbincang di kantornya di Swiss, di Universität Zürich, tempat ia dan rekannya menerbitkan puluhan makalah ilmiah penelitian orangutan Sumatra dan Kalimantan.

Jawaban atas pertanyaan van Schaik, tentu saja, adalah bahwa sang jantan tidak benar-benar “tahu”. “Ini bukan sesuatu yang bisa dipelajari,” kata van Schaik. “Harus ada pemicunya, sensitivitas pemicu itu tentu berbeda untuk setiap populasi, dan pasti terkait dengan genetikanya.”

Pertanyaan tentang pemicu perubahan tubuh jantan masih belum terjawab, sebagian karena kesulitan yang dihadapi oleh peneliti orangutan di semua lini: subjek mereka sangat sulit diteliti.

Selain keanekaragaman fisiologisnya, orangutan menunjukkan perbedaan perilaku yang diwariskan antar-individu dan antar-generasi dengan cara yang dapat disebut budaya.

“Di salah satu lokasi penelitian, kami mendengar suara yang digunakan oleh induk ketika menenangkan anak-anaknya,” tutur Maria van Noordwijk, anggota tim Zurich yang meneliti pengasuhan anak primata. “Kami menyebutnya throat scrape. Ada betina yang sudah kami kenal sebelum melahirkan anak pertamanya. Sehari setelah melahirkan, dia mulai menggunakan suara itu. Padahal sebelumnya kami tidak pernah mendengar dia mengeluarkan suara itu. Ini jelas sesuatu yang dipelajarinya dari induknya.”

“Primata biasanya tidak belajar vokalisasi,” kata Carel van Schaik. “Jadi, kecuali jika menurut Anda ini merupakan hal genetis—yang kami kira bisa kita anulir—maka sangat mungkin ini adalah budaya. Vokalisasi orangutan tidak seperti kemampuan bicara manusia, tetapi jelas ada pemahaman, pembelajaran, dan peniruan suara.”

Di mata para peneliti, perilaku orangutan tidaklah seperti satwa biasa. Di balik catatan lapangan dan data, tersimpan satu pertanyaan: apa yang bisa kita pahami tentang manusia dari penelitian orangutan ini.

Dengan memahami semua rahasia yang terkandung dalam otak dan tubuh kera-besar yang masih berkerabat dengan manusia ini, kita melestarikan seluruh spektrum adaptasi. “Jika setiap kelompok itu unik, tidak cukup kita hanya melindunginya di beberapa tempat saja,” kata Knott. Musnahnya satu populasi di mana pun, menutup kesempatan untuk belajar dari adaptasi lingkungan dan budayanya yang unik.

Saya menghabiskan waktu di lapangan bersama Marc Ancrenaz, yang sejak 1996 memimpin proyek penelitian dan konservasi orangutan di Sungai Kinabatangan, di Sabah, Malaysia. Di sini, beberapa ratus orangutan hidup di koridor sempit, di daerah tepi sungai yang rusak habitatnya, di antara desa yang terkepung kelapa sawit. Hutan cerang ini tak seperti “hutan hujan perawan” yang biasanya dikaitkan dengan orangutan.

“Tentu saja kami ingin hutan primer, tetapi inilah yang ada,” kata Ancrenaz, saat berteduh dari hujan di sebuah pondok di lokasi penelitiannya. Di luar, tanah berlumpur penuh jejak bulat gajah kalimantan. “Dua puluh tahun silam para ilmuwan mengira orangutan tidak bisa bertahan hidup di luar hutan primer. Kami di sini terkaget-kaget. Kok bisa orangutan berada di tempat yang tidak seharusnya ini?”

Ancrenaz merupakan salah satu dari sekian peneliti yang memandang lanskap ubahan manusia ini penting bagi kelangsungan hidup orangutan. “Saya pikir inilah masa depan keanekaragaman hayati,” katanya.

Di Kalimantan bagian barat, Knott mendirikan organisasi yang bekerja sama dengan masyarakat setempat guna mengembangkan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan, mengurangi pembalakan liar dan perburuan, serta memberikan pendidikan konservasi di daerah sekitar Taman Nasional Gunung Palung. Dengan semangat yang sama, Ancrenaz membuat program pendidikan konservasi di sekolah dan masyarakat Sabah, mencoba menemukan cara agar manusia dan alam dapat hidup berdampingan. Dia bermitra dengan masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Kinabatangan, membantu mereka memperoleh nafkah dari orangutan dan margasatwa lainnya melalui ekowisata dan usaha terkait. Dia berharap warga terdorong untuk ikut melestarikan margasatwa. “Desa-desa terpencil merupakan garis depan pelestarian margasatwa,” katanya. “Jika kita tidak melibatkan warga kampung ke dalam rencana pelestarian, saya jamin pasti gagal.”

Agar orangutan dapat mempertahankan keragamannya saat ini, pemerintah dan pelestari lingkungan harus membuat pilihan cerdas mengenai lokasi pembuatan suaka, cara mengelolanya, dan cara menggunakan sumber daya yang terbatas. Mereka harus menemukan cara agar semua spesies orangutan dapat hidup berdampingan dengan manusia di kedua pulau yang kian menyusut habitatnya.

“Saya melihat banyak orang yang berupaya melestarikan lingkungan dengan hatinya, dengan perasaannya, tentu itu sah-sah saja,” kata Ancrenaz. “Namun, konservasi harus didukung dengan ilmu pengetahuan yang mantap. Tujuan penelitian adalah memperdalam pengetahuan serta lebih memahami genetika dan ekologi orangutan. Selanjutnya tinggal memanfaatkan pengetahuan ini untuk mengatur penggunaan lahan dan keterlibatan masyarakat. Saat itulah konservasi dilaksanakan.”

Di hutan Kalimantan dan Sumatra, perilaku orangutan yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi masih tidak berubah: Jantan memekikkan sesumbar silih berganti, yang muda menunggu kesempatan untuk berkuasa, sementara betina mengajari anak-anak cara bertahan hidup di atas pohon. Sebagian misteri kehidupannya telah terungkap. Pengungkapan misteri lainnya bergantung pada keberhasilan kerja sama konservasi dan ilmu pengetahuan, yang berusaha memahami hubungan antara orang dan orangutan.

“Sebagai ilmuwan kita harus bersikap objektif,” kata Knott, saat kami mengobrol di kampnya di pedalaman hutan hujan Kalimantan. “Namun kita juga manusia, dan karena hubungan antara manusia dan orangutan itulah saya ada di sini.”