Peran ibu juga saya temukan pada sosok Rully Mallay, berusia 55 tahun, yang merupakan waria aktif di Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya). Karakter seperti inilah yang kemudian menjadi perekat, sekaligus menempatkan komunitas sebagai keluarga. Transfer informasi dan pengetahuan terjadi di komunitas—seperti cara berdandan sampai dengan berbagi kontak jaringan dan kesempatan kerja.
“Waria di Yogyakarta tidak semuanya asli Yogya tapi dari seluruh Indonesia dengan beragam ren-tang usia,” jawab Shinta sambil menerangkan asal setiap waria yang hadir saat itu. “Secara jumlah, antara 200-300 orang waria, tersebar di beberapa tempat dan komunitas, datang dan pergi.”
Beberapa lembaga aktif mendampingi komunitas waria di Yogyakarta, salah satunya adalah PKBI DIY. Menurut Gama Triono, Direktur PKBI DIY, komunitas waria adalah komunitas yang paling berani menunjukkan ekspresi seksualitas dan gendernya, serta paling siap menerima segala konsekuensi atas perbedaan yang mereka tunjukkan. “Sepanjang pengalaman kami, komunitas waria diterima oleh komunitas desa atau kampung tempat mereka tinggal,” jelas Gama.
Ukuran penerimaan komunitas tersebut adalah bagaimana waria-waria ini bergaul bersama komunitas sekitarnya. Di beberapa wilayah di Yogyakarta, seperti Kricak, Badran dan Winongo, komunitas waria diterima menjadi bagian masyarakat dan memiliki peran yang sama dengan masyarakat lain. “Kebersamaan ini yang jadi bukti penerimaan tersebut,” imbuhnya.
Komunikasi dan interaksi menjadi hal yang mutlak untuk membangun kesadaran atas realitas keberagaman ini. Beruntung, saya berkesempatan menyaksikan proses ini di Puskesmas Depok 1 Sleman. Siang itu sebuah diskusi awal digelar dalam rangka memperkenalkan fasilitas pemeriksaan kesehatan gratis oleh puskesmas. Dokter Rani mengawali perkenalan dengan menekankan bahwa pihaknya terbuka dengan masukan dan ingin belajar dari teman-teman waria. “Kami mau sekali belajar,” ucapnya mantap.
“Kalau harus daftar dulu dan menunggu, ya nggak papa, jangan karena waria, kami terus diistimewakan,” pinta Jenny.
Pertemuan itu adalah kali pertama bagi mereka melayani waria dalam kelompok besar. Jenny, salah satu dari 12 waria yang hadir, menyampaikan pertanyaan dan masukannya kepada forum. “Soal prosedur pemeriksaan pasien, mohon dibuat sama saja dengan pasien lainnya. Kalau harus daftar dulu dan menunggu, ya nggak papa, jangan karena waria, kami terus diistimewakan,” pintanya.
Seorang petugas bagian pendaftaran puskesmas melontarkan pertanyaan. “Baiknya kalau besok saya memanggil dengan sebutan apa ya, mas atau mbak?” tanyanya sopan. Nike Faradilla, salah satu waria anggota Trio Musang sigap menjawab. “Kami kadang-kadang masih suka berganti penampilan, jadi mungkin disesuaikan baju yang kami pakai saja, kalau saya sedang dengan baju kerja full seperti ini ya jangan dipanggil mas,” jawab Nike disambut tawa seluruh ruangan.Setelah tidak ada lagi pertanyaan untuk pihak puskesmas, giliran para waria memperkenalkan diri. Masing-masing menyebut nama, asal, dan pekerjaan. Beberapa waria muda menyebutkan juga nama asli mereka.
Di kesempatan itu saya berkenalan dengan dua waria muda bernama Jessica Julia Sanchez, 27 tahun, dan Sean Gemblak, 28 tahun.
Jessica berasal dari Semarang dan bekerja sebagai staf sebuah lembaga swadaya. Awal Desember lalu, Jessica terpilih sebagai salah satu duta HIV AIDS Komisi Penanggulangan AIDS DIY. Saya mengikuti Jess, demikian sapaan akrab Jessica, sehari setelah penobatan. Saat itu ia bertugas di acara peringatan hari AIDS di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Selama perjalanan, Jess menceritakan tentang dirinya dan rencana jangka panjangnya. “Di Semarang saya susah berkembang, sedikit sekali temannya. Saya memutuskan pindah dari Semarang sejak Mei tahun ini, kesempatan berkembang di Yogya lebih besar. Akses penting sekali buat waria muda seperti saya,” jelas Jess yang memiliki hobi membaca buku tentang pengembangan diri. Sebelum pindah, Jess pernah bekerja sebagai SPG dan guru menari.
Sedangkan Sean, saat ini bekerja sebagai penata rias dan membuka salon di wilayah timur Kota Yog-yakarta, bekerja sama dengan teman waria asal Magelang, Anita Hara. Keduanya memiliki keah-lian berbeda dan saling mendukung satu sama lain.
Saya berkesempatan mengikuti keduanya merias. Mereka membagi peran dengan sangat baik. Anita, yang pernah mendapatkan pelatihan salon dari Dinas Sosial DIY, bertindak sebagai petugas kontrol kualitas saat proses rias. “Sean pandai merias wajah sedangkan saya bisa merancang baju pengantin,” jelas Anita sambil menunjukkan koleksinya di laman Instagram.
Koleksi baju pengantin siap sewa yang dimiliki Anita sudah mencapai lebih dari 30 potong kebaya panjang dengan detail payet istimewa. Modal membuat baju ia peroleh dari tabungan hasil mengamen setiap Senin sampai Kamis. “Manajemen keuangan saya terbilang baik, pokoknya 60 persen penghasilan harus masuk ke tabungan dan ikut arisan bersama komunitas pedagang Condongcatur,” tutur Anita yang mulai tinggal di Yogya sejak 2013. “Niat awal di Yogya saya ingin berkarya, bukan foya-foya.”