Baik Anita maupun Sean menggunakan sosial media untuk mempromosikan usahanya. Selain untuk mempromosikan usaha, teknologi juga dimanfaatkan maksimal oleh waria untuk berjejaring dengan teman mereka, termasuk mencari referensi desain baju dan mengunggah video dokumentasi karya. Selain itu, mereka juga sangat melek informasi dan paham menggunakan teknologi untuk perlindungan diri apabila ada tindak kekerasan yang dialami.“Kalau ada yang melecehkan, tinggal difoto, segera buat visum, lalu lapor polisi,” papar Sean.
Di ranah kesenian, saya juga menjumpai waria muda asal Tasikmalaya bernama Tamara Pertamina, 27 tahun. Saya bertemu Tamara di Via-Via Cafe di kawasan kampung wisata Prawirotaman. Di cafe ini, Tamara pernah menggelar pameran tunggal berjudul namanya sendiri pada Juli 2016. Tamara adalah seniman yang aktif berpartisipasi dengan belasan pameran karya seni, baik solo maupun grup, sejak 2011. Salah satu karya teranyar Tamara adalah karya untuk Museum Tanpa Tanda Jasa, yang merespons refleksi kehidupan waria dengan tema kesetaraan pengetahuan. “Waria bisa jadi apa saja sama seperti warga lainnya, pentingnya saat ini adalah kebutuhan berbagi pengetahuan,” ungkap Tamara.
Dia memilih fokus pada dunia kesenian sejak 2011. Awalnya, bersama waria lainnya, ia menjadi salah satu kolaborator Makcik Project, satu rangkaian kegiatan Biennale Jogja XII Equator ke-2 yang memamerkan hasil kolaborasi tiga seniman dengan sejumlah individu maupun kelompok wanita transgender di Yogya. Setelah itu, Tamara kemudian aktif berkarya, menjajal aneka medium seni dari video, foto, instalasi, sampai performing art dengan pementasan di Indonesia dan Australia.“Kesenian adalah kendaraan untuk berbicara banyak hal,” jelas Tamara.
“Kalau ada yang melecehkan, tinggal difoto, segera buat visum, lalu lapor polisi,” papar Sean.
Karya seni yang dibuat Tamara berawal dari refleksi diri atas pengalaman-pengalaman tubuhnya. “Tidak semua masyarakat mengalami pengalaman tubuh yang aku alami,” ujarnya tegas. Berangkat dari pengalaman, ia memulai proses berkarya dan mengeksplorasi material. Karya-karya Tamara banyak yang mengambil tema kesetaraan sebagai respons atas banyak tuntutan orang atas kesetaraan itu sendiri. “Ini hasil bacaan saya di lingkungan, dan kesadaran atas pengalaman selama berada di komunitas waria, maupun setelah memilih memberi jarak.”
Menurutnya, seiring dengan berjalannya waktu ia belajar, penghapusan stigma dan diskriminasi hanya bisa dilakukan oleh individu bukan komunitas. Kondisi selama ini di komunitas, ia dan waria-waria lainnya terus menerus diposisikan menuntut ke pemerintah. “Perubahan stigma itu terkait pola pikir dan hanya bisa dilakukan oleh waria itu sendiri,” ujar Tamara.
Saya kemudian mencari tahu cara memperoleh mobilitas. Ia kemudian menjelaskan tentang prinsip utama, yaitu pentingnya memahami lingkungan termasuk kebijakan.Terkait mobilitas kesehatan, Tamara mempelajari kesehatan di Indonesia termasuk fasilitas yang diberikan pemerintah, prosedur dan pengetahuan tentang fasilitas kesehatan terdekat—seperti puskesmas. Begitu juga dengan pekerjaan. Tamara berkata, “Informasi-informasi sekarang mudah dicari melalui internet.”
Kesadaran individu juga saya peroleh dari hasil obrolan saya dengan Olivia Sonya Aresta, lulusan akademi jurusan Tata Busana yang menyukai sejarah dan filateli. Sonya, begitu sapaannya, merupakan waria asal Klaten yang pernah menjadi Koordinator Divisi Waria PKBI DIY. Menurutnya, waria itu harus memiliki wawasan yang luas dengan membuka mata dari sudut pandang yang lain. Prinsip ini yang dilakukan Sonya yang kemudian aktif berjejaring dengan orang-orang di luar komunitas waria.
Kemampuan memanfaatkan kapasitas yang dimiliki, dilakukan Sonya untuk dirinya sendiri sebelum diterapkan kepada orang lain. Ia menurunkan kepada hal-hal kecil yang dia bisa lakukan, misalnya terkait lingkungan. “Pilihanku adalah bukan reduksi stigma dan diskriminasi waria, tapi reduksi sampah,” ujarnya tegas sambil mencontohkan kebijakan bungkus daun jati untuk makanan yang dibawa pulang. Bersama teman-teman perempuannya, Sonya saat ini mengelola beberapa unit usaha, seperti warung makan dan penginapan.
“Tuhan tidak mengubah nasib orang kalau orang itu tidak berusaha,” kata Sonya. Ia sadar betul waria adalah warga minoritas dan membutuhkan usaha keras untuk bisa berdaya. “Kepercayaan itu tiket untuk semua orang, termasuk waria.” Sonya memutuskan mandiri dari komunitas dan mencoba banyak hal seperti mendesain baju, membuat bank sampah, berkebun organik, dan kegiatan lainnya.
“Kepercayaan itu tiket untuk semua orang, termasuk waria,” ucap Sonya.
Dinamika yang terjadi di komunitas waria pun berbeda dalam lima sampai sepuluh tahun ter-akhir. “Selain konteks, kebutuhannya pun berbeda, makanya sudut pandangnya juga seharusnya diubah,”papar Sonya. “Sementara itu, sayangnya, diskusi teman-teman komunitas dan lembaga pendamping masih di situ-situ saja,” kritik Sonya untuk komunitas-komunitas waria. “Tapi, apa yang kami bangun dan masih ada saat ini adalah ke-rukunan antara teman-teman yang termarjinalkan.”
Pada akhir penugasan ini saya kembali berjumpa dengan Mutiara. Kami berbincang banyak soal cita-citanya membuat salon sendiri. Kali ini ia mengundang saya untuk berbincang di rumahnya, di barat daya Kota Wates. Saat saya tiba, kakak perempuan dan ayah Mutiara, yang baru saja kembali dari pasar, turut menyambut kedatangan saya. Tidak ada kecanggungan melihat interaksi mereka. Semuanya berjalan alami dan tidak dibuat-buat.
Meski sesekali sibuk dengan gawai, Mutiara runtut bercerita tentang perjalanan hidupnya selepas SMA. Ia merantau ke Jakarta dan Bandung sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.Ia sempat mengontrak rumah yang tidak jauh dari kediaman orang tua. “Saya ingin buktikan bahwa saya mandiri terlebih dahulu, akhirnya pelan-pelan bisa beli motor dan punya uang untuk urun dana membangun,” ujarnya sambil menunjuk bangunan sederhana di depan rumah utama.
Di ruang keluarga, sambil menonton pertandingan tinju dari televisi, Bu Surtini, ibunda Mutiara tiba-tiba bercerita panjang tentang satu tokoh di sinetron yang ditontonnya semalam. “Kasihan lho dia dimasukkan ke jurang,” ucap ibunya sambil menatap Mutiara. Namun, Mutiara hanya menjawab dengan sekenanya. Pecahlah tawa setelahnya. Ayahnya ikut bergabung dan berbincang sambil melinting rokok. Ia bercerita tentang usaha Mutiara sebelum akhirnya bekerja di salon dan menyanyi dari panggung ke panggung.
“Dulu jualan angkringan nasi kucing, laris sebenarnya. Tapi, karena anaknya nggak sreg ya ndak dilanjutkan,” cerita sang ayah sambil tersenyum ke arah Mutiara.
Sembari mengendarai sepeda motor menuju Yogya, saya mengurai temuan saya tentang pilihan atas cara hidup waria untuk mandiri dengan tidak selalu terkait keluarga, komunitas, ataupun gerakan lembaga tertentu. Waria-waria muda yang saya temui memiliki kesetaraan dalam menentukan tujuan hidup. Kesuksesan hidup waria sangat beragam, seberagam pilihan kebebasan ekspresi gender mereka dan sesederhana menjadi perempuan, bukan di tengah-tengah. Soal identitas gender, saya kemudian ingat ucapan Tamara. Katanya, ”Identitas gender itu harusnya eksklusif di dalam, inklusif di luar.”