Waria Setara Warga

By , Selasa, 17 Januari 2017 | 18:01 WIB

Pada minggu siang yang mendung di Wates, Kulonprogo, lima motor beriringan menyusur jalan-jalan desa yang berkelok menuju sebuah pesta pernikahan di Kecamatan Temon.

Motor yang dipacu dengan kecepatan sedang membawa Trio Badak dan empat waria anggota Waria Kulonprogo (Warkop) yang berdandan maksimal. Salah satu anggota Warkop, Mutiara Anzella, usianya 31 tahun, sedang pentas menyanyi di hajatan tersebut. “Kami diundang datang, biasanya juga jadi bintang tamu,” ucap seorang anggota sambil terbahak.

Ketika tiba di tempat tujuan, mereka disambut dengan hangat, kendati tidak berlebihan. Penerima tamu yang duduk berjajar di gang berdiri menyambut dengan bersalaman dan tersenyum. “Jangan lupa nanti nyanyi lho ya, tapi duduk dan makan dulu,” ucap seorang ibu.

Pembawa acara pun sigap, ucapan selamat datang segera diberikan lewat mikrofon beradu dengan suara merdu Mutiara menyanyi lagu berjudul Lungset. Lagu berlirik Banyuwangi rupanya sedang menjadi primadona di wilayah ini.

Trio Badak dan Waria Kulonprogo memang salah satu bagian penting panggung kesenian di Kulonprogo. Pada 2015, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kulonprogo dan Sanggar Singlon menginisiasi kesenian Jathilan Waria dengan anggota dari komunitas waria Kulonprogo. “Kami pentas terakhir di Festival Kesenian Yogyakarta mewakili kabupaten, dokumentasinya ada di Youtube,” ucap salah  seorang anggota Warkop sambil menyodorkan gawainya kepada saya, yang berisi foto mereka saat pentas. Selain Mutiara, dua anggota Warkop lain juga aktif menjadi penari tradisional Angguk, tarian khas Kabupaten Kulonprogo, daerah di sebelah barat Kota Yogyakarta.

Mutiara ingat, saat mengawali pentas, mereka pernah mengupayakan kostum sendiri. Ketika itu pesanan kostum dari bantuan dinas belum selesai. Antusiasme masyarakat juga menggembirakan. “Setiap pentas pasti ramai penontonnya, ndak pernah sepi,” ungkap Mutiara yang mengaku merasa lebih nyaman bekerja di Kulonprogo. “Lebih tenang, Mbak. Dan, penerimaan masyarakatnya baik, kami saling mengenal,” jelasnya.

Kesenian menjadi ruang interaksi komunitas waria dengan masyarakat Kulonprogo. Eko Priyantoro Sujatmoko dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Kulonprogo membenarkan hal ini. Hal yang menarik menurutnya adalah ruang gerak ini diciptakan bersama. Teman-teman waria tidak pasif, tetapi bergerak mengorganisir diri dengan berkumpul, latihan bersama, dan menyebarkan publikasinya.

Dari Kulonprogo, saya menuju Yogyakarta. Saya menjumpai Shinta Ratri, waria berusia 54 tahun, di Pondok Pesantren Waria Al Fatah, Kotagede. Siang itu, Bu Shinta, begitu ia sering dipanggil, duduk melantai bersama 20 mahasiswa tamu dari tiga negara, Amerika, Australia, dan Indonesia. Ia dan enam waria lainnya menjelaskan aktifitas komunitas waria di pondok pesantren secara bergantian.

Shinta, yang lulusan fakultas Biologi UGM, berkata, “Kami di sini tidak hanya mengaji, tapi juga memiliki kegiatan kesenian, peningkatan kapasitas dengan training dari Dinas Sosial, dan klinik kesehatan keliling,” ujarnya. “Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi ajang kenalan, yang sebelumnya takut, akhirnya jadi keluarga.”

Shinta Ratri dan Pondok Pesantren Al Fatah pernah menjadi sorotan media pada awal tahun lalu, pasca permintaan penutupan ponpes oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan. Dalam dua tahun terakhir,  kemampuan dan kesadaran untuk menghargai keberagaman, sepertinya memudar di Yogyakarta. Sepanjang 2014-2015, berdasarkan data tahunan dari Wahid Foundation, lebih dari dua puluh kasus kekerasan terjadi di Yogyakarta. Kelompok masyarakat yang memiliki orientasi seksual yang berbeda (lesbian, gay, dan biseksual) dan ekspresi gender yang berbeda (transgender perempuan, yang di Indonesia, lebih dikenal dalam istilah waria) adalah kelompok minoritas yang sering menjadi sasaran kekerasan.

Sejatinya, waria juga memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara, seperti akses pada pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan banyak lainnya. Terdapat 25 ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur hal tersebut. Selain itu, pada 2006 di Yogyakarta lahir sebuah panduan universal tentang hak asasi manusia yang disebut The Yogyakarta Principles atau Prinsip Yogyakarta. Panduan ini merumuskan prinsip-prinsip dari hukum hak asasi manusia internasional yang telah ada—seperti Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya— kemudian merefleksikan hal tersebut dalam konteks keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip Yogyakarta ini sifatnya mengikat untuk semua negara, termasuk Indonesia, mencakup pedoman penanganan kekerasan dan perlindungan hak LGBTIQ. Sayangnya, dokumen ini belum banyak diketahui masyarakat umum.

Kondisi ini juga dipahami betul oleh Shinta.Ia dengan sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang sama dari banyak orang. Saya sempat mendengar diskusi beberapa kelompok mahasiswa yang pertanyaan mereka lebih berwarna, ketimbang tulisan di media yang berkutat persoalan tata cara ibadah. Satu pertanyaan yang menarik menurut saya adalah soal peran sejati pondok dan Shinta.

Saya mendapat jawaban sendiri setelah berinteraksi cukup intens, baik di luar dan di dalam ponpes, seperti perjalanan kami ke Bantul untuk pertemuan rutin Ikatan Waria Bantul. Shinta berperan sebagai ibu dan kakak dari banyak waria muda, sedangkan pondok sebagai rumah belajar. “Saya banyak belajar dari waria muda yang saya temui, yaitu soal teknologi dan pilihan mereka untuk mandiri,” ungkap Shinta.

Peran ibu juga saya temukan pada sosok Rully Mallay, berusia 55 tahun, yang merupakan waria aktif di Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya). Karakter seperti inilah yang kemudian menjadi perekat, sekaligus menempatkan komunitas sebagai keluarga. Transfer informasi dan pengetahuan terjadi di komunitas—seperti cara berdandan sampai dengan berbagi kontak jaringan dan kesempatan kerja.

“Waria di Yogyakarta tidak semuanya asli Yogya tapi dari seluruh Indonesia dengan beragam ren-tang usia,” jawab Shinta sambil menerangkan asal setiap waria yang hadir saat itu. “Secara jumlah, antara 200-300 orang waria, tersebar di beberapa tempat dan komunitas, datang dan pergi.”

Beberapa lembaga aktif mendampingi komunitas waria di Yogyakarta, salah satunya adalah PKBI DIY. Menurut Gama Triono, Direktur PKBI DIY, komunitas waria adalah komunitas yang paling berani menunjukkan ekspresi seksualitas dan gendernya, serta paling siap menerima segala konsekuensi atas perbedaan yang mereka tunjukkan. “Sepanjang pengalaman kami, komunitas waria diterima oleh komunitas desa atau kampung tempat mereka tinggal,” jelas Gama.

Ukuran penerimaan komunitas tersebut adalah  bagaimana waria-waria ini bergaul bersama komunitas sekitarnya. Di beberapa wilayah di Yogyakarta, seperti Kricak, Badran dan Winongo, komunitas waria diterima menjadi bagian masyarakat dan memiliki peran yang sama dengan masyarakat lain. “Kebersamaan ini yang jadi bukti penerimaan tersebut,” imbuhnya.

Komunikasi dan interaksi menjadi hal yang mutlak untuk membangun kesadaran atas realitas keberagaman ini. Beruntung, saya berkesempatan menyaksikan proses ini di  Puskesmas Depok 1 Sleman. Siang itu sebuah diskusi awal digelar dalam rangka memperkenalkan fasilitas pemeriksaan kesehatan gratis oleh puskesmas. Dokter Rani mengawali perkenalan dengan menekankan bahwa pihaknya terbuka dengan masukan dan ingin belajar dari teman-teman waria. “Kami mau sekali belajar,” ucapnya mantap.

“Kalau harus daftar dulu dan menunggu, ya nggak papa, jangan karena waria, kami terus diistimewakan,” pinta Jenny.

Pertemuan itu adalah kali pertama bagi mereka melayani waria dalam kelompok besar. Jenny, salah satu dari 12 waria yang hadir, menyampaikan pertanyaan dan masukannya kepada forum. “Soal prosedur pemeriksaan pasien, mohon dibuat sama saja dengan pasien lainnya. Kalau harus daftar dulu dan menunggu, ya nggak papa, jangan karena waria, kami terus diistimewakan,” pintanya.

Seorang petugas bagian pendaftaran puskesmas melontarkan pertanyaan. “Baiknya kalau besok saya memanggil  dengan sebutan apa ya, mas atau mbak?” tanyanya sopan. Nike Faradilla, salah satu waria anggota Trio Musang sigap menjawab. “Kami kadang-kadang masih suka berganti penampilan, jadi mungkin disesuaikan baju yang kami pakai saja, kalau saya sedang dengan baju kerja full seperti ini ya jangan dipanggil mas,” jawab Nike disambut tawa seluruh ruangan.Setelah tidak ada lagi pertanyaan untuk pihak puskesmas, giliran para waria memperkenalkan diri. Masing-masing menyebut nama, asal, dan pekerjaan. Beberapa waria muda menyebutkan juga nama asli mereka.

Di kesempatan itu saya berkenalan dengan dua waria muda bernama Jessica Julia Sanchez, 27 tahun, dan Sean Gemblak, 28 tahun.

Jessica berasal dari Semarang dan bekerja sebagai staf sebuah lembaga swadaya. Awal Desember lalu, Jessica terpilih sebagai salah satu duta HIV AIDS Komisi Penanggulangan AIDS DIY. Saya mengikuti Jess, demikian sapaan akrab Jessica, sehari setelah penobatan. Saat itu ia bertugas di acara peringatan hari AIDS di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Selama perjalanan, Jess menceritakan tentang dirinya dan rencana jangka panjangnya. “Di Semarang saya susah berkembang, sedikit sekali temannya. Saya memutuskan pindah dari Semarang sejak Mei tahun ini, kesempatan berkembang di Yogya lebih besar. Akses penting sekali buat waria muda seperti saya,” jelas Jess yang memiliki hobi membaca buku tentang pengembangan diri. Sebelum pindah, Jess pernah bekerja sebagai SPG dan guru menari.

Sedangkan Sean, saat ini bekerja sebagai penata rias dan membuka salon di wilayah timur Kota Yog-yakarta, bekerja sama dengan teman waria asal Magelang, Anita Hara. Keduanya memiliki keah-lian berbeda dan saling mendukung satu sama lain.

Saya berkesempatan mengikuti keduanya merias. Mereka membagi peran dengan sangat baik. Anita, yang pernah mendapatkan pelatihan salon dari Dinas Sosial DIY, bertindak sebagai petugas kontrol kualitas saat proses rias.  “Sean pandai merias wajah sedangkan saya bisa merancang baju pengantin,” jelas Anita sambil menunjukkan koleksinya di laman Instagram.

Koleksi baju pengantin siap sewa yang dimiliki Anita sudah mencapai lebih dari 30 potong kebaya panjang dengan detail payet istimewa. Modal membuat baju ia peroleh dari tabungan hasil mengamen setiap Senin sampai Kamis. “Manajemen keuangan saya terbilang baik, pokoknya 60 persen penghasilan harus masuk ke tabungan dan ikut arisan bersama komunitas pedagang Condongcatur,” tutur Anita yang mulai tinggal di Yogya sejak 2013. “Niat awal di Yogya saya ingin berkarya, bukan foya-foya.”

Baik Anita maupun Sean menggunakan sosial media untuk mempromosikan usahanya. Selain untuk mempromosikan usaha, teknologi juga dimanfaatkan maksimal oleh waria untuk berjejaring dengan teman mereka, termasuk mencari referensi desain baju dan mengunggah video dokumentasi karya. Selain itu, mereka juga sangat melek informasi dan paham menggunakan teknologi untuk perlindungan diri apabila ada tindak kekerasan yang dialami.“Kalau ada yang melecehkan, tinggal difoto, segera buat visum, lalu lapor polisi,” papar Sean.

Di ranah kesenian, saya juga menjumpai waria muda asal Tasikmalaya bernama Tamara Pertamina, 27 tahun. Saya bertemu Tamara di Via-Via Cafe di kawasan kampung wisata Prawirotaman. Di cafe ini, Tamara pernah menggelar pameran tunggal berjudul namanya sendiri pada Juli 2016. Tamara adalah seniman yang aktif berpartisipasi dengan belasan pameran karya seni, baik solo maupun grup, sejak 2011. Salah satu karya teranyar Tamara adalah karya untuk Museum Tanpa Tanda Jasa, yang merespons refleksi kehidupan waria dengan tema kesetaraan pengetahuan. “Waria bisa jadi apa saja sama seperti warga lainnya, pentingnya saat ini adalah kebutuhan berbagi pengetahuan,” ungkap Tamara.

Dia memilih fokus pada dunia kesenian sejak 2011. Awalnya, bersama waria lainnya, ia menjadi salah satu kolaborator Makcik Project, satu rangkaian kegiatan Biennale Jogja XII Equator ke-2 yang memamerkan hasil kolaborasi tiga seniman dengan sejumlah individu maupun kelompok wanita transgender di Yogya. Setelah itu, Tamara kemudian aktif berkarya, menjajal aneka medium seni dari video, foto, instalasi, sampai performing art dengan pementasan di Indonesia dan Australia.“Kesenian adalah kendaraan untuk berbicara banyak hal,” jelas Tamara.

“Kalau ada yang melecehkan, tinggal difoto, segera buat visum, lalu lapor polisi,” papar Sean.

Karya seni yang dibuat Tamara berawal dari refleksi diri atas pengalaman-pengalaman tubuhnya. “Tidak semua masyarakat mengalami pengalaman tubuh yang aku alami,” ujarnya tegas. Berangkat dari pengalaman, ia memulai proses berkarya dan  mengeksplorasi material. Karya-karya Tamara banyak yang mengambil tema kesetaraan sebagai respons atas banyak tuntutan orang atas kesetaraan itu sendiri. “Ini hasil bacaan saya di lingkungan, dan kesadaran atas pengalaman selama berada di komunitas waria, maupun setelah memilih memberi jarak.” 

Menurutnya, seiring dengan berjalannya waktu ia belajar, penghapusan stigma dan diskriminasi hanya bisa dilakukan oleh individu bukan komunitas. Kondisi selama ini di komunitas, ia dan waria-waria lainnya terus menerus diposisikan menuntut ke pemerintah. “Perubahan stigma itu terkait pola pikir dan hanya bisa dilakukan oleh waria itu sendiri,” ujar Tamara.

Saya kemudian mencari tahu cara memperoleh mobilitas. Ia kemudian menjelaskan tentang prinsip utama, yaitu pentingnya memahami lingkungan termasuk kebijakan.Terkait mobilitas kesehatan, Tamara mempelajari kesehatan di Indonesia termasuk fasilitas yang diberikan pemerintah, prosedur dan pengetahuan tentang fasilitas kesehatan terdekat—seperti puskesmas. Begitu juga dengan pekerjaan. Tamara berkata, “Informasi-informasi  sekarang mudah dicari  melalui internet.”

Kesadaran individu juga saya peroleh dari hasil obrolan saya dengan Olivia Sonya Aresta, lulusan akademi jurusan Tata Busana yang menyukai sejarah dan filateli. Sonya, begitu sapaannya, merupakan waria asal Klaten yang pernah menjadi Koordinator Divisi Waria PKBI DIY. Menurutnya, waria itu harus memiliki wawasan yang luas dengan membuka mata dari sudut pandang yang lain. Prinsip ini yang dilakukan Sonya yang kemudian aktif berjejaring dengan orang-orang di luar komunitas waria.

Kemampuan memanfaatkan kapasitas yang dimiliki, dilakukan Sonya untuk dirinya sendiri sebelum diterapkan kepada orang lain. Ia menurunkan kepada hal-hal kecil yang dia bisa lakukan, misalnya terkait lingkungan. “Pilihanku adalah bukan reduksi stigma dan diskriminasi waria, tapi reduksi sampah,” ujarnya tegas sambil mencontohkan kebijakan bungkus daun jati untuk makanan yang dibawa pulang. Bersama teman-teman perempuannya, Sonya saat ini mengelola beberapa unit usaha, seperti warung makan dan penginapan.

“Tuhan tidak mengubah nasib orang kalau orang itu tidak berusaha,” kata Sonya. Ia sadar betul waria adalah warga minoritas dan membutuhkan usaha keras untuk bisa berdaya. “Kepercayaan itu tiket untuk semua orang, termasuk waria.” Sonya memutuskan mandiri dari komunitas dan mencoba banyak hal seperti mendesain baju, membuat bank sampah, berkebun organik, dan kegiatan lainnya.

“Kepercayaan itu tiket untuk semua orang, termasuk waria,” ucap Sonya.

Dinamika yang terjadi di komunitas waria pun berbeda dalam lima sampai sepuluh tahun ter-akhir. “Selain konteks, kebutuhannya pun berbeda, makanya sudut pandangnya juga seharusnya diubah,”papar Sonya. “Sementara itu, sayangnya, diskusi teman-teman komunitas dan lembaga pendamping masih di situ-situ saja,” kritik Sonya untuk komunitas-komunitas waria. “Tapi, apa yang kami bangun dan masih ada saat ini adalah ke-rukunan antara teman-teman yang termarjinalkan.”

Pada akhir penugasan ini saya kembali berjumpa dengan Mutiara. Kami berbincang banyak soal cita-citanya membuat salon sendiri. Kali ini ia mengundang saya untuk berbincang di rumahnya, di barat daya Kota Wates. Saat saya tiba, kakak perempuan dan ayah Mutiara, yang baru saja kembali dari pasar, turut menyambut kedatangan saya. Tidak ada kecanggungan melihat interaksi mereka. Semuanya berjalan alami dan tidak dibuat-buat.

Meski sesekali sibuk dengan gawai, Mutiara runtut bercerita tentang perjalanan hidupnya selepas SMA. Ia merantau ke Jakarta dan Bandung sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.Ia sempat mengontrak rumah yang tidak jauh dari kediaman orang tua. “Saya ingin buktikan bahwa saya mandiri terlebih dahulu, akhirnya pelan-pelan bisa beli motor dan punya uang untuk urun dana membangun,” ujarnya sambil menunjuk bangunan sederhana di depan rumah utama.

Di ruang keluarga, sambil menonton pertandingan tinju dari televisi, Bu Surtini, ibunda Mutiara tiba-tiba bercerita panjang tentang satu tokoh di sinetron yang ditontonnya semalam. “Kasihan lho dia dimasukkan ke jurang,” ucap ibunya sambil menatap Mutiara. Namun, Mutiara hanya menjawab dengan sekenanya. Pecahlah tawa setelahnya. Ayahnya ikut bergabung dan berbincang sambil melinting rokok. Ia bercerita tentang usaha Mutiara sebelum akhirnya bekerja di salon dan menyanyi dari panggung ke panggung.

“Dulu jualan angkringan nasi kucing, laris sebenarnya. Tapi, karena anaknya nggak sreg ya ndak dilanjutkan,” cerita sang ayah sambil tersenyum ke arah Mutiara.

Sembari mengendarai sepeda motor menuju Yogya, saya mengurai temuan saya tentang pilihan atas cara hidup waria untuk mandiri dengan tidak selalu terkait keluarga, komunitas, ataupun gerakan lembaga tertentu. Waria-waria muda yang saya temui memiliki kesetaraan  dalam menentukan tujuan hidup. Kesuksesan hidup waria sangat beragam, seberagam pilihan kebebasan ekspresi gender mereka dan sesederhana menjadi perempuan, bukan di tengah-tengah. Soal identitas gender, saya kemudian ingat ucapan Tamara. Katanya, ”Identitas gender itu harusnya eksklusif di dalam, inklusif di luar.”