Kisah Cinta 9.000 Tahun

By , Rabu, 1 Maret 2017 | 15:00 WIB

Bagi pembuat bir di Jerman, Martin Zarnkow adalah orang penting. Mahasiswa mendatangi jurusannya di Tchnische Universität München, karena kampus itu adalah salah satu tempat untuk meraih gelar dalam ilmu pembuatan bir. Sebagian pabrik bir terbesar Jerman mendatangi dia untuk menanggulangi cita rasa aneh, mengembangkan bir baru, atau membeli salah satu di antara ratusan galur raginya. Labnya diamankan dengan kunci berkode dan dipenuhi peralatan kimia canggih dan pengurut gen.

Saya menjumpainya saat membungkuk di atas oven di dapur karyawan, menusuk-nusukkan sudip di panci berisi kue gandum yang sudah lembek seperti bubur. Kue itu terbuat dari malt pembuat bir—bulir barli yang berkecambah dan dipanggang—yang dicampur dengan tepung gandum dan beberapa sendok bibit adonan asam. Zarnkow bercerita bahwa rencananya hari ini adalah membuat kembali bir dari resep Sumeria yang sudah berumur 4.000 tahun.

Zarnkow, yang mengawali kariernya sebagai magang pembuat bir, juga merupakan sejarawan bir terpandang. Di puncak bukit yang menghadap ke bandara München ini, gedung Zarnkow bertetangga dengan pabrik bir Weihenstephan, yang merupakan pabrik bir tertua di dunia yang terus beroperasi.

Tanpa menghadiri langsung Oktoberfest setiap tahun pun, kita tentu tahu bahwa Jerman memiliki sejarah bir yang panjang. Tetapi, Jerman juga memiliki sejarah sosis yang panjang. Prancis baru sungguh-sungguh membuat minuman anggur setelah dikuasai bangsa Romawi (sama seperti sebagian besar Eropa) dan kemudian terus berkembang—tetapi bangsa Prancis juga terkenal menggemari keju. Selama ini, seperti itulah sebagian besar sejarawan dan arkeolog memandang bir dan anggur: hanya sebagai minuman, memang minuman penting, tetapi tidak terlalu berbeda dengan sosis atau keju, selain bahwa konsumsi alkohol berlebihan merupakan kebiasaan buruk yang jauh lebih merusak. Minuman keras adalah produk samping peradaban, bukan produk utama. Zarnkow termasuk sekelompok peneliti yang mempertanyakan kisah itu dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dia dan beberapa orang lain menunjukkan bahwa alkohol adalah salah satu zat yang diproduksi dan dinikmati hampir di seluruh dunia dalam sejarah—juga semasa prasejarah, karena manusia sudah minum alkohol jauh sebelum menciptakan tulisan. Bir Sumeria yang dibuat Zarnkow sama sekali bukan yang tertua. Analisis kimia baru-baru ini menunjukkan bahwa orang Tiongkok sudah mem-buat semacam anggur dari beras, madu, dan buah 9.000 tahun yang lalu. Di Pegunungan Kaukasus di Georgia dan Pegunungan Zagros di Iran, buah anggur adalah salah satu buah pertama yang ditanam manusia, dan minuman anggur sudah dibuat sejak 7.400 tahun yang lalu.

Bahkan, di seluruh dunia kini bermunculan bukti pembuatan alkohol dari segala jenis tanaman, hampir sejak awal peradaban. Ahli arkeologi biomolekuler University of Pennsylvania, Patrick McGovern, meyakini sifat miras yang memengaruhi pikiran telah menyulut kreativitas dan memupuk perkembangan bahasa, seni, dan kepercayaan. Lihatlah dengan cermat berbagai transisi besar dalam sejarah manusia, mulai dari asal usul pertanian hingga asal usul tulisan, maka akan terlihat kemungkinan kaitannya dengan alkohol. “Ada bukti yang cukup kuat dari seluruh dunia bahwa minuman beralkohol itu penting bagi budaya manusia,” kata McGovern. “Tiga puluh tahun yang lalu fakta itu belum diakui seperti sekarang.” 

“Ada bukti yang cukup kuat dari seluruh dunia bahwa minuman beralkohol itu penting bagi budaya manusia,” kata McGovern.

Hari ini Zarnkow berusaha memperkenalkan murid-muridnya kepada akar tersebut. Kue barli adalah wahana bagi adonan asam itu, yang mengandung ragi yang akan menyulap bahan menjadi bir. Setelah kue itu siap—cokelat tua di atas, masih agak lembek di tengah—Zarnkow membawanya dari dapur ke ruang kuliah di lantai atas. Di sana, di depan kelas, dia menuangkannya ke dalam kendi kaca besar, lalu menambahkan lagi malt barli hancur dan sedikit emmer giling, yaitu biji-bijian kuno, seperti yang dulu dilakukan bangsa Sumeria. Bahan terakhir: tiga liter air keran dari wastafel di lorong. Zarnkow mengaduk campuran itu dengan sudip sampai berwarna krem kekuningan yang seragam, seperti adonan roti.

Penampilannya tidak menimbulkan selera sama sekali. Tetapi Zarnkow berjanji, besok campuran ini akan menjadi bir—bir liar dan primitif, yang mungkin dikenal baik oleh orang 5.000 tahun lebih yang lalu. “Campurkan tiga bahan dengan air, beres,” katanya. “Pabrik bir kecil yang ada zaman sekarang sebenarnya bukan hal baru. Bermiliar-miliar orang pernah membuat bir, selama ribuan tahun.”!break!

Mencari Alkohol di Dasar Hutan

Kisah cinta manusia dengan alkohol berawal pada masa sebelum pertanian—masa sebelum manusia, sebenarnya. Kesukaan manusia pada minuman beralkohol mungkin adalah sifat evolusi terprogram yang membedakan manusia dengan sebagian besar hewan lain.

Bahan aktif yang terkandung dalam semua minuman beralkohol dibuat oleh ragi: organisme mikroskopis bersel satu yang makan gula dan menghasilkan karbon dioksida dan etanol, satu-satunya jenis alkohol yang dapat diminum. Ini salah satu bentuk fermentasi. Sebagian besar pabrik bir, anggur, atau sake zaman sekarang menggunakan varietas budidaya satu genus ragi bernama Saccharomyces (yang paling umum adalah S. cerevisiae, dari kata Latin untuk “bir,” cerevisia). Tetapi, ragi sebenarnya beragam dan tersebar luas, dan mungkin telah memfermentasi buah liar ranum selama sekitar 120 juta tahun, sejak buah-buahan pertama muncul di Bumi.

Dari sudut pandang modern, etanol memiliki satu sifat yang sangat menarik: Menimbulkan perasaan nyaman. Etanol membantu produksi serotonin, dopamin, dan endorfin di dalam otak, yaitu zat kimia yang menimbulkan rasa bahagia dan mengurangi rasa cemas.

Namun, bagi leluhur primata, etanol dalam buah yang membusuk memiliki tiga sifat lain yang menarik. Pertama, baunya kuat dan khas sehingga buahnya mudah dicari. Kedua, lebih mudah dicerna, sehingga hewan memperoleh lebih banyak komoditas yang dulu langka: kalori. Ketiga, sifat antiseptiknya menolak mikrob yang dapat menimbulkan penyakit bagi primata. Jutaan tahun yang lalu salah seekor primata ini mulai menyukai buah yang sudah jatuh dari pohon. “Leluhur-kera manusia mulai makan buah terfermentasi di dasar hutan, dan itu mengubah segalanya,” kata Nathaniel Dominy, ahli antropologi biologis di Dartmouth College. “Dengan terjadinya adaptasi itu, manusia dapat mencerna alkohol.”

“Leluhur-kera manusia mulai makan buah terfermentasi di dasar hutan, dan itu mengubah segalanya,” kata Nathaniel Dominy, ahli antropologi biologis di Dartmouth College. “Dengan terjadinya adaptasi itu, manusia dapat mencerna alkohol.”

Robert Dudley, psikolog University of California, Berkeley yang pertama kali me-munculkan gagasan itu, menyebutnya hipotesis “monyet mabuk”. Primata yang turun dari pohon memperoleh akses ke sumber makanan baru. “Kalau dia bisa mencium bau alkohol dan mencapai buahnya lebih cepat, dia memiliki keunggulan,” kata Dudley. “Dia mengalahkan pesaing dan memperoleh kalori lebih banyak.” Monyet yang makan kenyang lebih mungkin berhasil berkembang biak—dan mengalami (saat makan) kenikmatan halus di otak. Kenikmatan itu memperkuat daya tarik gaya hidup baru itu.