Monyet yang benar-benar mabuk, Dudley mengingatkan, akan menjadi sasaran empuk bagi pemangsa. Meskipun ada banyak anekdot yang tersebar luas, hampir tidak ada bukti ilmiah bahwa ada hewan di alam liar yang mendapat cukup alkohol dari buah terfermentasi sehingga mabuk. Lebih mungkin mereka hanya merasa puas bercampur pusing sedikit. Tetapi, reaksi terhadap alkohol seperti itu tampaknya hanya ada pada manusia, dan mungkin kera.
Ini mungkin disebabkan oleh mutasi gen penting yang terjadi pada leluhur terakhir yang sama antara kera Afrika dan manusia; ahli genetika baru-baru ini memperkirakan mutasi itu terjadi setidaknya 10 juta tahun silam. Perubahan dalam gen ADH4 ini menghasilkan enzim yang mempercepat pencernaan etanol hingga 40 kali lipat. Menurut Steven Benner, salah satu penulis kajian dan ahli biologi di Foundation for Applied Molecular Evolution di Alachua, Florida, enzim baru ini memungkinkan leluhur kita menikmati kelimpahan buah kelewat matang di dasar hutan, tanpa menderita efek penyakit.
“Boleh dibilang, kita turun dari pohon untuk mendapatkan bir,” kata Benner. Tetapi, tujuannya bukan untuk mabuk-mabukan. Itu baru muncul belakangan, setelah manusia tahu cara membuatnya dalam jumlah besar.!break!
Menetap dan Bercocok Tanam demi Alkohol
Mari kita melompat ke jutaan tahun kemudian, ke dataran kering di Turki bagian tenggara, tak jauh dari perbatasan Suriah. Para arkeolog di sana sedang mendalami transisi penting lain dalam prasejarah manusia, dan suatu kemungkinan yang menggiurkan: Apakah bir turut membujuk bangsa pemburu-peramu Zaman Batu untuk meninggalkan kehidupan nomad, menetap, dan mulai bercocok tanam?
Situs kuno yang bernama Göbekli Tepe itu terdiri atas tanah-tanah berpagar, serta tiang-tiang misterius berbentuk T yang, pada usia 11.600 tahun, mungkin merupakan kuil tertua di dunia yang diketahui. Sejak ditemukan dua puluh tahun yang lalu, situs itu telah menjungkirbalikkan pemikiran tradisional bahwa agama adalah kemewahan yang dapat terbentuk berkat adanya permukiman dan pertanian. Kini para arkeolog yang menggali Göbekli Tepe berpendapat: Pemburu-peramu berkumpul di sini untuk upacara agama dan tergerak untuk menetap agar dapat beribadah lebih teratur.
Di dalam pagar beberapa tanah kecil, terdapat enam wadah batu berbentuk palung atau tong. Wadah terbesar bisa memuat 160 liter cairan. Arkeolog menduga, wadah ini digunakan untuk membuat bir sederhana dari rumput liar.
Ketika menganalisis residu dari beberapa wadah itu, Zarnkow menemukan bukti ke-beradaan oksalat, yaitu zat kimia keputih-putihan berkerak yang tersisa saat air dan biji-bijian dicampur. Salah satu wadah itu berisi tulang bahu keledai liar, dengan ukuran dan bentuk yang pas untuk mengaduk kaldu biji-bijian dan air yang berfermentasi dan berbusa. Seluruh puncak bukit di Göbekli Tepe dipenuhi ratusan ribu tulang hewan, sebagian besar gazel dan potongan daging auroch yang siap dipanggang, sepupu prasejarah sapi.
Jika dianalisis secara keseluruhan, tampaknya ini sisa-sisa pesta makan besar, cukup untuk memikat ratusan pemburu-peramu ke bukit. Salah satu tujuan alkohol di sini mungkin sama dengan tujuan dukun Amerika Selatan masa kini memakai halusinogen: memicu perubahan tingkat kesadaran yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia arwah. Peneliti juga men-duga ada tujuan lain. Menurut mereka, pe-nyelenggara pesta menggunakan daging panggang dan minuman beralkohol yang dibuat dari biji-bijian liar sebagai hadiah. Setelah tamu datang, mereka bersama-sama mendirikan tiang-tiang besar situs itu, yang beratnya hingga 16 ton.
“Domestikasi tumbuhan didorong oleh keinginan untuk memiliki minuman beralkohol lebih banyak,” kata McGovern. “Alkohol bukan satu-satunya faktor yang memajukan peradaban, tetapi memegang peran penting.”
Kebiasaan itu tidak berubah banyak selama ribuan tahun sejak masa itu. “Kalau perlu bantuan teman pindah rumah, orang biasanya mentraktir teman itu piza dan bir,” kata peneliti Deutsches Archäologisches Institut, Jens Notroff.
Pemikiran yang semakin didukung di Göbekli Tepe ini pertama kali diusulkan lebih dari setengah abad lalu: Mungkin bir, bukan roti, yang mendorong leluhur pemburu-peramu kita untuk mulai menanam biji-bijian. Lama-kelamaan, memanen rumput liar untuk dibuat bir tidak lagi cukup. Perlunya persediaan bir yang stabil mendorong manusia untuk mula-mula menanam rumput liar, lalu seiring waktu membiakkannya secara selektif menjadi barli, gandum, dan biji-bijian lain yang memberi hasil panen besar yang kita kenal sekarang. Sebagian bukti tertua tentang biji-bijian domestikasi—gandum pertama yang disebut einkorn—berasal dari situs sekitar 40 kilometer dari Göbekli Tepe. Kebetulan ini bisa berupa petunjuk.
Namun, bukti tegas sulit dicari. Zarnkow mengakui adanya oksalat membuktikan bahwa wadah batu di Göbekli Tepe pernah diisi biji-bijian, tetapi tak membuktikan bahwa biji-bijian itu difermentasi. Dia berkata, bisa saja wadah itu digunakan untuk membuat bubur untuk memberi makan pekerja, bukan bir.