Bagi pembuat bir di Jerman, Martin Zarnkow adalah orang penting. Mahasiswa mendatangi jurusannya di Tchnische Universität München, karena kampus itu adalah salah satu tempat untuk meraih gelar dalam ilmu pembuatan bir. Sebagian pabrik bir terbesar Jerman mendatangi dia untuk menanggulangi cita rasa aneh, mengembangkan bir baru, atau membeli salah satu di antara ratusan galur raginya. Labnya diamankan dengan kunci berkode dan dipenuhi peralatan kimia canggih dan pengurut gen.
Saya menjumpainya saat membungkuk di atas oven di dapur karyawan, menusuk-nusukkan sudip di panci berisi kue gandum yang sudah lembek seperti bubur. Kue itu terbuat dari malt pembuat bir—bulir barli yang berkecambah dan dipanggang—yang dicampur dengan tepung gandum dan beberapa sendok bibit adonan asam. Zarnkow bercerita bahwa rencananya hari ini adalah membuat kembali bir dari resep Sumeria yang sudah berumur 4.000 tahun.
Zarnkow, yang mengawali kariernya sebagai magang pembuat bir, juga merupakan sejarawan bir terpandang. Di puncak bukit yang menghadap ke bandara München ini, gedung Zarnkow bertetangga dengan pabrik bir Weihenstephan, yang merupakan pabrik bir tertua di dunia yang terus beroperasi.
Tanpa menghadiri langsung Oktoberfest setiap tahun pun, kita tentu tahu bahwa Jerman memiliki sejarah bir yang panjang. Tetapi, Jerman juga memiliki sejarah sosis yang panjang. Prancis baru sungguh-sungguh membuat minuman anggur setelah dikuasai bangsa Romawi (sama seperti sebagian besar Eropa) dan kemudian terus berkembang—tetapi bangsa Prancis juga terkenal menggemari keju. Selama ini, seperti itulah sebagian besar sejarawan dan arkeolog memandang bir dan anggur: hanya sebagai minuman, memang minuman penting, tetapi tidak terlalu berbeda dengan sosis atau keju, selain bahwa konsumsi alkohol berlebihan merupakan kebiasaan buruk yang jauh lebih merusak. Minuman keras adalah produk samping peradaban, bukan produk utama. Zarnkow termasuk sekelompok peneliti yang mempertanyakan kisah itu dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dia dan beberapa orang lain menunjukkan bahwa alkohol adalah salah satu zat yang diproduksi dan dinikmati hampir di seluruh dunia dalam sejarah—juga semasa prasejarah, karena manusia sudah minum alkohol jauh sebelum menciptakan tulisan. Bir Sumeria yang dibuat Zarnkow sama sekali bukan yang tertua. Analisis kimia baru-baru ini menunjukkan bahwa orang Tiongkok sudah mem-buat semacam anggur dari beras, madu, dan buah 9.000 tahun yang lalu. Di Pegunungan Kaukasus di Georgia dan Pegunungan Zagros di Iran, buah anggur adalah salah satu buah pertama yang ditanam manusia, dan minuman anggur sudah dibuat sejak 7.400 tahun yang lalu.
Bahkan, di seluruh dunia kini bermunculan bukti pembuatan alkohol dari segala jenis tanaman, hampir sejak awal peradaban. Ahli arkeologi biomolekuler University of Pennsylvania, Patrick McGovern, meyakini sifat miras yang memengaruhi pikiran telah menyulut kreativitas dan memupuk perkembangan bahasa, seni, dan kepercayaan. Lihatlah dengan cermat berbagai transisi besar dalam sejarah manusia, mulai dari asal usul pertanian hingga asal usul tulisan, maka akan terlihat kemungkinan kaitannya dengan alkohol. “Ada bukti yang cukup kuat dari seluruh dunia bahwa minuman beralkohol itu penting bagi budaya manusia,” kata McGovern. “Tiga puluh tahun yang lalu fakta itu belum diakui seperti sekarang.”
“Ada bukti yang cukup kuat dari seluruh dunia bahwa minuman beralkohol itu penting bagi budaya manusia,” kata McGovern.
Hari ini Zarnkow berusaha memperkenalkan murid-muridnya kepada akar tersebut. Kue barli adalah wahana bagi adonan asam itu, yang mengandung ragi yang akan menyulap bahan menjadi bir. Setelah kue itu siap—cokelat tua di atas, masih agak lembek di tengah—Zarnkow membawanya dari dapur ke ruang kuliah di lantai atas. Di sana, di depan kelas, dia menuangkannya ke dalam kendi kaca besar, lalu menambahkan lagi malt barli hancur dan sedikit emmer giling, yaitu biji-bijian kuno, seperti yang dulu dilakukan bangsa Sumeria. Bahan terakhir: tiga liter air keran dari wastafel di lorong. Zarnkow mengaduk campuran itu dengan sudip sampai berwarna krem kekuningan yang seragam, seperti adonan roti.
Penampilannya tidak menimbulkan selera sama sekali. Tetapi Zarnkow berjanji, besok campuran ini akan menjadi bir—bir liar dan primitif, yang mungkin dikenal baik oleh orang 5.000 tahun lebih yang lalu. “Campurkan tiga bahan dengan air, beres,” katanya. “Pabrik bir kecil yang ada zaman sekarang sebenarnya bukan hal baru. Bermiliar-miliar orang pernah membuat bir, selama ribuan tahun.”!break!
Mencari Alkohol di Dasar Hutan
Kisah cinta manusia dengan alkohol berawal pada masa sebelum pertanian—masa sebelum manusia, sebenarnya. Kesukaan manusia pada minuman beralkohol mungkin adalah sifat evolusi terprogram yang membedakan manusia dengan sebagian besar hewan lain.
Bahan aktif yang terkandung dalam semua minuman beralkohol dibuat oleh ragi: organisme mikroskopis bersel satu yang makan gula dan menghasilkan karbon dioksida dan etanol, satu-satunya jenis alkohol yang dapat diminum. Ini salah satu bentuk fermentasi. Sebagian besar pabrik bir, anggur, atau sake zaman sekarang menggunakan varietas budidaya satu genus ragi bernama Saccharomyces (yang paling umum adalah S. cerevisiae, dari kata Latin untuk “bir,” cerevisia). Tetapi, ragi sebenarnya beragam dan tersebar luas, dan mungkin telah memfermentasi buah liar ranum selama sekitar 120 juta tahun, sejak buah-buahan pertama muncul di Bumi.
Dari sudut pandang modern, etanol memiliki satu sifat yang sangat menarik: Menimbulkan perasaan nyaman. Etanol membantu produksi serotonin, dopamin, dan endorfin di dalam otak, yaitu zat kimia yang menimbulkan rasa bahagia dan mengurangi rasa cemas.
Namun, bagi leluhur primata, etanol dalam buah yang membusuk memiliki tiga sifat lain yang menarik. Pertama, baunya kuat dan khas sehingga buahnya mudah dicari. Kedua, lebih mudah dicerna, sehingga hewan memperoleh lebih banyak komoditas yang dulu langka: kalori. Ketiga, sifat antiseptiknya menolak mikrob yang dapat menimbulkan penyakit bagi primata. Jutaan tahun yang lalu salah seekor primata ini mulai menyukai buah yang sudah jatuh dari pohon. “Leluhur-kera manusia mulai makan buah terfermentasi di dasar hutan, dan itu mengubah segalanya,” kata Nathaniel Dominy, ahli antropologi biologis di Dartmouth College. “Dengan terjadinya adaptasi itu, manusia dapat mencerna alkohol.”
“Leluhur-kera manusia mulai makan buah terfermentasi di dasar hutan, dan itu mengubah segalanya,” kata Nathaniel Dominy, ahli antropologi biologis di Dartmouth College. “Dengan terjadinya adaptasi itu, manusia dapat mencerna alkohol.”
Robert Dudley, psikolog University of California, Berkeley yang pertama kali me-munculkan gagasan itu, menyebutnya hipotesis “monyet mabuk”. Primata yang turun dari pohon memperoleh akses ke sumber makanan baru. “Kalau dia bisa mencium bau alkohol dan mencapai buahnya lebih cepat, dia memiliki keunggulan,” kata Dudley. “Dia mengalahkan pesaing dan memperoleh kalori lebih banyak.” Monyet yang makan kenyang lebih mungkin berhasil berkembang biak—dan mengalami (saat makan) kenikmatan halus di otak. Kenikmatan itu memperkuat daya tarik gaya hidup baru itu.
Monyet yang benar-benar mabuk, Dudley mengingatkan, akan menjadi sasaran empuk bagi pemangsa. Meskipun ada banyak anekdot yang tersebar luas, hampir tidak ada bukti ilmiah bahwa ada hewan di alam liar yang mendapat cukup alkohol dari buah terfermentasi sehingga mabuk. Lebih mungkin mereka hanya merasa puas bercampur pusing sedikit. Tetapi, reaksi terhadap alkohol seperti itu tampaknya hanya ada pada manusia, dan mungkin kera.
Ini mungkin disebabkan oleh mutasi gen penting yang terjadi pada leluhur terakhir yang sama antara kera Afrika dan manusia; ahli genetika baru-baru ini memperkirakan mutasi itu terjadi setidaknya 10 juta tahun silam. Perubahan dalam gen ADH4 ini menghasilkan enzim yang mempercepat pencernaan etanol hingga 40 kali lipat. Menurut Steven Benner, salah satu penulis kajian dan ahli biologi di Foundation for Applied Molecular Evolution di Alachua, Florida, enzim baru ini memungkinkan leluhur kita menikmati kelimpahan buah kelewat matang di dasar hutan, tanpa menderita efek penyakit.
“Boleh dibilang, kita turun dari pohon untuk mendapatkan bir,” kata Benner. Tetapi, tujuannya bukan untuk mabuk-mabukan. Itu baru muncul belakangan, setelah manusia tahu cara membuatnya dalam jumlah besar.!break!
Menetap dan Bercocok Tanam demi Alkohol
Mari kita melompat ke jutaan tahun kemudian, ke dataran kering di Turki bagian tenggara, tak jauh dari perbatasan Suriah. Para arkeolog di sana sedang mendalami transisi penting lain dalam prasejarah manusia, dan suatu kemungkinan yang menggiurkan: Apakah bir turut membujuk bangsa pemburu-peramu Zaman Batu untuk meninggalkan kehidupan nomad, menetap, dan mulai bercocok tanam?
Situs kuno yang bernama Göbekli Tepe itu terdiri atas tanah-tanah berpagar, serta tiang-tiang misterius berbentuk T yang, pada usia 11.600 tahun, mungkin merupakan kuil tertua di dunia yang diketahui. Sejak ditemukan dua puluh tahun yang lalu, situs itu telah menjungkirbalikkan pemikiran tradisional bahwa agama adalah kemewahan yang dapat terbentuk berkat adanya permukiman dan pertanian. Kini para arkeolog yang menggali Göbekli Tepe berpendapat: Pemburu-peramu berkumpul di sini untuk upacara agama dan tergerak untuk menetap agar dapat beribadah lebih teratur.
Di dalam pagar beberapa tanah kecil, terdapat enam wadah batu berbentuk palung atau tong. Wadah terbesar bisa memuat 160 liter cairan. Arkeolog menduga, wadah ini digunakan untuk membuat bir sederhana dari rumput liar.
Ketika menganalisis residu dari beberapa wadah itu, Zarnkow menemukan bukti ke-beradaan oksalat, yaitu zat kimia keputih-putihan berkerak yang tersisa saat air dan biji-bijian dicampur. Salah satu wadah itu berisi tulang bahu keledai liar, dengan ukuran dan bentuk yang pas untuk mengaduk kaldu biji-bijian dan air yang berfermentasi dan berbusa. Seluruh puncak bukit di Göbekli Tepe dipenuhi ratusan ribu tulang hewan, sebagian besar gazel dan potongan daging auroch yang siap dipanggang, sepupu prasejarah sapi.
Jika dianalisis secara keseluruhan, tampaknya ini sisa-sisa pesta makan besar, cukup untuk memikat ratusan pemburu-peramu ke bukit. Salah satu tujuan alkohol di sini mungkin sama dengan tujuan dukun Amerika Selatan masa kini memakai halusinogen: memicu perubahan tingkat kesadaran yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia arwah. Peneliti juga men-duga ada tujuan lain. Menurut mereka, pe-nyelenggara pesta menggunakan daging panggang dan minuman beralkohol yang dibuat dari biji-bijian liar sebagai hadiah. Setelah tamu datang, mereka bersama-sama mendirikan tiang-tiang besar situs itu, yang beratnya hingga 16 ton.
“Domestikasi tumbuhan didorong oleh keinginan untuk memiliki minuman beralkohol lebih banyak,” kata McGovern. “Alkohol bukan satu-satunya faktor yang memajukan peradaban, tetapi memegang peran penting.”
Kebiasaan itu tidak berubah banyak selama ribuan tahun sejak masa itu. “Kalau perlu bantuan teman pindah rumah, orang biasanya mentraktir teman itu piza dan bir,” kata peneliti Deutsches Archäologisches Institut, Jens Notroff.
Pemikiran yang semakin didukung di Göbekli Tepe ini pertama kali diusulkan lebih dari setengah abad lalu: Mungkin bir, bukan roti, yang mendorong leluhur pemburu-peramu kita untuk mulai menanam biji-bijian. Lama-kelamaan, memanen rumput liar untuk dibuat bir tidak lagi cukup. Perlunya persediaan bir yang stabil mendorong manusia untuk mula-mula menanam rumput liar, lalu seiring waktu membiakkannya secara selektif menjadi barli, gandum, dan biji-bijian lain yang memberi hasil panen besar yang kita kenal sekarang. Sebagian bukti tertua tentang biji-bijian domestikasi—gandum pertama yang disebut einkorn—berasal dari situs sekitar 40 kilometer dari Göbekli Tepe. Kebetulan ini bisa berupa petunjuk.
Namun, bukti tegas sulit dicari. Zarnkow mengakui adanya oksalat membuktikan bahwa wadah batu di Göbekli Tepe pernah diisi biji-bijian, tetapi tak membuktikan bahwa biji-bijian itu difermentasi. Dia berkata, bisa saja wadah itu digunakan untuk membuat bubur untuk memberi makan pekerja, bukan bir.
Patrick McGovern mengakui adanya ketidakpastian itu, tetapi tetap berpendapat bahwa teori bir-sebelum-roti itu kokoh. Pada 2004 dia menerbitkan bukti keberadaan minuman yang dibuat dari beras, buah hawthorn, madu, dan anggur liar di Jiahu, sebuah situs di Tiongkok yang hanya beberapa ribu tahun lebih muda daripada Göbekli Tepe. Penduduk di sana baru saja beralih ke bertani. Namun, kombinasi bahan itu, plus kehadiran asam tartarat, ciri kimia utama minuman anggur, meyakinkan McGovern bahwa petani Jiahu sudah membuat minuman campuran yang canggih: Ini bukti tertua tentang bir, anggur, dan bir madu, sekaligus di satu tempat.
“Domestikasi tumbuhan didorong oleh keinginan untuk memiliki minuman beralkohol lebih banyak,” kata McGovern. “Alkohol bukan satu-satunya faktor yang memajukan peradaban, tetapi memegang peran penting.”!break!
Minum Alkohol untuk Kesehatan
Minuman beralkohol, seperti pertanian, diciptakan di berbagai tempat secara terpisah, mungkin di setiap benua kecuali Antartika. Selama seribu tahun, hampir setiap tumbuhan yang mengandung gula atau pati telah digunakan untuk fermentasi. Seolah untuk membuktikan bahwa keinginan minum alkohol tidak mengenal batas, bangsa nomad Asia Tengah mengatasi ketiadaan buah dan biji-bijian di stepa mereka dengan memfermentasi susu kuda. Hasilnya, kumis, adalah minuman bercita rasa tajam dengan kandungan alkohol rendah.
Alkohol mungkin menimbulkan kenikmatan psikis dan wawasan spiritual, tetapi itu belum cukup untuk menjelaskan betapa meluasnya keberadaannya di dunia kuno. Orang minum alkohol karena alasan yang sama primata makan buah terfermentasi: karena alkohol menyehatkan bagi mereka. Ragi menghasilkan etanol sebagai bentuk perang kimia—etanol itu beracun bagi mikrob lain yang bersaing dengan ragi untuk memperoleh gula di dalam buah. Efek antimikrob ini bermanfaat bagi peminumnya. Ini menjelaskan mengapa bir, anggur, dan minuman fermentasi lain, setidaknya sampai munculnya sanitasi modern, biasanya lebih sehat untuk diminum daripada air.
Terlebih lagi, saat memfermentasi gula, ragi tak hanya membuat etanol. Ragi membuat segala macam zat gizi, termasuk vitamin B seperti asam folat, niasin, tiamina, dan riboflavin. Alkohol kuno mengandung zat gizi ini lebih banyak daripada alkohol zaman sekarang yang disaring dan dipasteurisasi. Setidaknya di Timur Dekat kuno, bir menjadi semacam roti cair bergizi, yang menjadi sumber kalori, air, dan vitamin penting.
Di Tall Bazi, situs di Suriah utara, penggalian oleh orang Jerman mengungkap sekitar 70 rumah yang menghadap ke Sungai Efrat yang ditinggalkan di tengah kebakaran mendadak hampir 3.400 tahun silam. Bencana itu menjadi berkah bagi arkeolog: Akibat kebakaran, warga Tall Bazi terpaksa menyelamatkan diri ketika sedang melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak. Maka, kebakaran itu mengabadikan suatu momen kehidupan sehari-hari kota itu.
Di setiap rumah, biasanya di dekat pintu masuk, penggali menemukan kendi lempung sebesar 200 liter yang diletakkan di dalam lantai. Analisis kimia—oleh Zarnkow lagi—menunjukkan sisa barli dan kerak tebal oksalat di kendi itu. Boleh dibilang, setiap rumah di Tall Bazi memiliki pabrik bir mini masing-masing.
Pada 3150 SM, jauh sebelum kebakaran yang memusnahkan Tall Bazi itu, bangsa Mesir kuno sudah lebih maju melebihi pembuatan bir rumahan: Mereka sudah mengoperasikan pabrik bir berskala industri, yang kelak digunakan untuk menyediakan bir bagi pekerja yang membangun piramida besar di Giza. Bir merupakan keperluan pokok di Mesir sehingga anggota kerajaan dikuburkan bersama pabrik bir miniatur sebagai penawar haus di akhirat. Di Babilonia kuno, bir begitu penting, sehingga sumber-sumber dari 500 SM mencatat adanya puluhan jenis, termasuk bir merah, bir pucat, dan juga bir gelap.
Menurut Adelheid Otto, arkeolog di Ludwig-Maximilians-Universität di München yang merupakan salah satu pemimpin penggalian di Tall Bazi, zat gizi yang dihasilkan fermentasi pada biji-bijian masa lalu memungkinkan peradaban Mesopotamia berkembang, menyediakan vitamin dasar yang tidak terkandung dalam pola makan masa itu yang sangat buruk. “Mereka makan roti dan bubur barli, plus mungkin sedikit daging saat pesta. Mereka sangat kekurangan gizi,” katanya. “Tetapi, begitu ada bir, mereka mendapat semua zat gizi yang diperlukan untuk berkembang dengan sangat baik. Saya yakin inilah sebabnya budaya tinggi pertama muncul di Timur Dekat.”!break!
Selalu Berlebihan
Lalu, tentu saja, ada sisi lain cerita ini. Sepanjang sejarah, banyak orang rela melakukan banyak hal demi bermabuk-mabukan.
Sebelum leluhur bangsa Prancis, yaitu bangsa Kelt, belajar membuat minuman anggur sendiri, mereka mengimpornya dari bangsa Yunani, Etruskan, dan Romawi. Di ladang gandum di ujung jalan gunung berkelok di Prancis tengah, di situs arkeologi bernama Corent, saya sempat mencicipi ketergantungan ini. Pemandu saya bernama Matthieu Poux, arkeologi Swiss-Prancis.
Di Corent, Poux memimpin sekitar 50 arkeolog dan mahasiswa Prancis yang menyingkapkan fondasi sebuah ibu kota wilayah dan pusat upacara Kelt besar. Pada abad kedua dan pertama sebelum Masehi, tempat ini dihuni sampai 10.000 jiwa. Kota ini memiliki pasar, kuil, kedai minuman, teater, dan ratusan rumah.
Menurut Poux, Corent adalah contoh jelas tentang peran alkohol sebagai perekat budaya, pelumas sosial, dan simbol status—dan pemicu kekerasan. Sekitar 140 SM, delapan dasawarsa sebelum serbuan Julius Caesar, kaum elite Corent semakin menggandrungi anggur Romawi. Buktinya, dalam bentuk keping-keping kendi anggur dari lempung, atau amphora, begitu melimpah sehingga berderak pada setiap langkah ketika Poux mengajak saya berkeliling situs. Arkeolog menemukan setidaknya 50 ton keping amphora di sini; Poux memperkirakan masih ada 500 ton lagi di puncak bukit.
Sambil membungkuk, dia memungut pecahan lempung bakar sebesar telapak tangan bertabur bercak kaca vulkanis hitam dari tanah, lalu memberikannya kepada saya. “Kami menemukan jutaan keping amphora, semuanya diimpor dari Italia,” katanya. “Yang ini mengandung obsidian—bisa disimpulkan ini berasal dari pedesaan di dekat Gunung Vesuvius.”
“Upacara itu angkuh, resmi—juga brutal, dengan korban manusia dan adu pedang karena memperebutkan porsi daging,” kata Poux. “Tentara minum banyak sebelum pertempuran, dan bertempur dalam keadaan mabuk.”
Pembuat anggur Romawi, yang klien Romawi elitenya lebih menyukai anggur putih, memelihara kebun luas anggur merah untuk pasar Kelt. Pedagang membawa anggur itu menyeberangi Laut Mediterania, dengan kapal laut yang masing-masing mengangkut hingga 10.000 amphora, lalu mengirimnya ke utara dengan tongkang sungai kecil. Ketika sampai di Corent berbulan-bulan kemudian, nilainya sudah bertambah seratus kali lipat.
Anggur adalah fokus ritual rumit yang menegaskan status pemimpin suku. Situasi kadang memanas. “Upacara itu angkuh, resmi—juga brutal, dengan korban manusia dan adu pedang karena memperebutkan porsi daging,” kata Poux. “Tentara minum banyak sebelum pertempuran, dan bertempur dalam keadaan mabuk.” Amphora tidak hanya dibuka; tetapi dipenggal dengan pedang. Dengan melapisi jalan menggunakan keping kendi, kata Poux, para penguasa Corent memamerkan kekayaan dan kekuasaannya.
Menurut perhitungannya, bangsa Kelt yang tinggal di sini menghabiskan 50.000 hingga 100.000 kendi anggur selama seabad, setara dengan 28.000 botol per tahun anggur merah Italia impor yang mahal. “Dan anggur terutama diminum oleh kaum elite,” kata Poux. “Kita harus berasumsi jumlah bir dan bir madu yang diminum oleh rakyat biasa jauh lebih banyak.”
Akan tetapi, dengan standar zaman sekarang, jumlah itu mungkin tidak terdengar mengesankan. Dunia modern berlimpah alkohol, dan sejak penyempurnaan distilasi pada Abad Pertengahan, manusia mengonsumsi banyak alkohol dalam bentuk terkonsentrasi. Di seluruh dunia, orang berusia 15 ke atas minum sekitar satu gelas sehari—atau lebih tepatnya dua gelas sehari kalau hanya memperhitungkan peminum, karena setengah warga dunia tak pernah menyentuh setetes pun.
Jutaan tahun yang lalu, ketika makanan lebih sulit diperoleh, daya tarik etanol dan proses kimia otak yang dipicunya sebagai hadiah karena menemukan buah terfermentasi mungkin merupakan keunggulan persaingan yang penting bagi leluhur primata kita. Pada zaman sekarang, sifat genetis dan neurokimiawi itu mungkin menyebabkan kecanduan alkohol, kata Robert Dudley, yang ayahnya pemabuk.
Karena bersifat memabukkan, etanol selalu menimbulkan kekhawatiran sepanjang sejarah—dan kadang sampai dilarang oleh hukum. Dan dari masa ke masa, berbagai masyarakat kesulitan menemukan keseimbangan.
Contohnya, bangsa Yunani kuno. Bagian penting dalam kehidupan spiritual dan intelektual mereka adalah simposium yang digerakkan oleh anggur—secara terbatas. Dengan mencampur anggur dan air di wadah berhias bernama krater, bangsa Yunani menyuguhi tamu (semuanya lelaki) cawan pertama untuk kesehatan, cawan kedua untuk kenikmatan, cawan ketiga untuk tidur. Setelah cawan ini habis diminum, tamu bijak pun pulang,” kata pujangga jenaka Eubulus memperingatkan pada abad keempat sebelum Masehi, menurut salah satu terjemahan. “Cawan keempat bukan lagi milik kita, tetapi milik kekerasan; cawan kelima milik kerusuhan; keenam sukaria mabuk, ketujuh mata lembam. Kedelapan polisi; kesembilan sakit lever; dan kesepuluh kegilaan dan lempar-lempar perabot."
Mencicipi Sejarah Kita
Sudah 24 jam sejak Zarnkow mencampurkan barli, roti, dan biji-bijian giling dalam botol laboratorium. Campuran itu dibiarkan semalaman, ditutupi piring kertas.
Saat Zarnkow menyalakan lampu, saya dapat melihat bahwa campuran itu sudah berproses, berkat ragi dari adonan asam. Setiap beberapa setik, gelembung besar karbon dioksida naik ke permukaan melalui lapisan buih. Di tengah-tengah terdapat cairan keemasan yang tembus cahaya, menyerupai bir gandum yang dibuat di tangki baja raksasa di pabrik bir sebelah.
Saya dan dia mengamati kendi yang bergelembung, saya sendiri agak resah. “Tidak ada tambahan karbon dioksida, tidak ada bunga hop. Tidak disaring. Ini bukan selera orang Eropa,” kata Zarnkow memperingatkan, agar saya tidak terlalu berharap, seraya menyaring minuman rumahan Sumeria itu melalui saringan kopi. “Tetapi, dulu alternatifnya bukan teh, kopi, susu, jus, atau limun. Ini jauh lebih lezat daripada air hangat yang penuh mikroorganisme.”
Saya menuangkan sedikit ke dalam gelas plastik. Serpih biji-bijian melayang ke permukaan.
Saya menghidunya dengan hati-hati.
Saya menyesap.
Bir itu kecut sekaligus manis, bercita rasa roti dan sedikit jus apel masam di ujung. Bir itu … enak juga sebenarnya. Kalau memejamkan mata, saya hampir dapat membayangkan bir ini mengubah dunia.