Berpacu dengan Lelehan Es

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:34 WIB

Situs arkeologi Nunalleq di pesisir barat daya Alaska mengawetkan sebuah momen yang dibekukan oleh waktu. Sebidang tanah berlumpur itu penuh dengan benda sehari-hari yang digunakan pribumi Yupik. Semuanya ditinggalkan saat sebuah serangan mematikan datang hampir empat abad silam.

Di sekitar tepian tempat yang dulunya berdiri sebuah bangunan besar, dari tanah berumput terdapat bekas-bekas api yang asapnya digunakan untuk mengusir keluar para penghuninya. Jumlahnya sekitar 50 orang, yang tinggal di situ saat mereka tidak pergi untuk berburu, memancing, dan mengumpulkan tumbuhan. Tidak ada seorang pun, kelihatannya, yang diampuni. Kerangka tubuh wanita, anak-anak, dan orang tua ditemukan berdekatan, dengan wajah menelungkup di lumpur, menyiratkan bahwa mereka ditangkap lalu dibunuh.

Seperti sering kali terjadi dalam arkeologi, tragedi yang sudah lama berlalu menjadi berkah tersendiri bagi ilmu pengetahuan modern. Para ahli arkeologi telah menemukan lebih dari 2.500 artefak di Nunalleq, mulai dari peralatan makan sampai benda-benda istimewa seperti topeng ritual dari kayu, jarum tato dari gading walrus, dan ikat pinggang dari gigi karibu. Objek-objek tersebut berada dalam kondisi amat baik, karena membeku di dalam tanah sejak sekitar 1660.

Sisa-sisa keranjang dan keset masih me-nunjukkan lekukan rumit dari pola jalinan mereka. Jika kita memecahkan bongkahan lumpur penuh serat, kita akan mendapatkan helaian rumput hijau dan garing yang terawetkan di dalamnya. “Rumput ini dipotong waktu Shakespeare masih berjalan di atas Bumi,” ungkap sang kepala arkeolog Rick Knecht dengan kagum.

Knecht, yang bermarkas di University of Aberdeen di Skotlandia, melihat kaitan antara ke-hancuran yang ada di situs tersebut dengan kisah kuno yang diingat oleh orang-orang Yupik modern. Tradisi lisan telah melestarikan ingatan tentang masa yang oleh para sejarawan disebut sebagai Perang Busur dan Panah. Inilah masa ketika orang-orang Yupik saling berperang dalam pertempuran bersimbah darah, sebelum para penjelajah Rusia tiba di Alaska pada 1700-an. Nunalleq menawarkan bukti arkeologis pertama dan tanggal pasti yang pertama, bagi periode penuh kengerian yang berdampak bagi beberapa generasi orang Yupik.

Knecht percaya bahwa serangan itu adalah akibat dari perubahan iklim—masa dingin di Bumi selama 550 tahun yang sekarang dikenal sebagai Zaman Es—yang bersamaan dengan masa saat Nunalleq ditinggali. Tahun-tahun terdingin di Alaska, pada 1600-an, pastilah masa yang penuh rasa putus asa, dengan serbuan yang barangkali dilakukan untuk menjarah makanan.

“Kapan pun terjadi perubahan cepat, akan ada banyak gangguan dalam siklus musim pemenuhan kebutuhan sendiri,” ujar Knecht. “Kalau kita mendapat perubahan ekstrem, seperti Zaman Es Kecil—atau seperti sekarang—perubahan bisa terjadi dengan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri.”

Saat ini, cuaca yang semakin keras telah mem-buat Nunalleq menuju ke ambang kemusnahan. Pada musim panas, segalanya tampak baik-baik saja saat tanahnya mengenakan jubah tak kenal musim: Tumbuhan yarrow yang berbunga putih dan tangkai-tangkai bunga cotton grass. Namun, saat musim dingin tiba, Laut Bering menghela badai hebat ke pesisirnya. Apabila gelombangnya cukup besar, ombak ini akan menyapu sisa-sisa benda yang ada di situs.

“Kalau kita mendapat perubahan ekstrem, seperti Zaman Es Kecil—atau seperti sekarang—perubahan bisa terjadi dengan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri.”

Arktika tidak selalu seperti ini, tetapi perubahan iklim dunia kini menghantam wilayah kutub Bumi. Hasilnya adalah bencana hilangnya artefak dari budaya prasejarah yang sedikit diketahui di sepanjang pesisir Alaska dan lebih jauh ke dalam lagi. Ötzi adalah manusia Zaman Batu yang tubuhnya ditemukan pada 1991 setelah muncul dari gletser Italia yang semakin berkurang. Ia adalah contoh paling terkenal dari sisa-sisa zaman kuno yang muncul ke permukaan karena cuaca yang lebih hangat. Akan tetapi, pelelehan massal memunculkan jejak-jejak peradaban dan orang-orang masa lampau di segenap wilayah utara Bumi yang ekstrem. Mulai dari busur dan panah Neolitikum di Swiss, sampai ke tongkat pendaki dari masa Viking di Norwegia, dan makam berhias mewah dari orang nomaden Scythia di Siberia. Ada begitu banyak situs yang terancam sehingga para arkeolog mulai terspesialisi dalam hal menyelamatkan artefak-artefak yang dulunya tersimpan dalam kebekuan.

Di pesisir Alaska, situs-situs arkeologi kini terancam oleh pukulan berganda. Pukulan pertama: suhu rata-rata yang telah naik hampir dua derajat Celsius dalam setengah abad terakhir. Daratan permafrost yang beku sepanjang tahun kini meleleh hampir di semua tempat.

Ketika arkeolog mulai menggali di Nunalleq pada 2009, mereka mencapai tanah beku sekitar setengah meter di bawah permukaan tundra. Saat ini daratan es meleleh sedalam satu meter. Itu artinya artefak yang diukir penuh keahlian dari tanduk karibu, kayu apung, tulang, dan gading walrus muncul dari kedalaman beku yang selama ini mengawetkannya sehingga tetap dalam kondisi sempurna. Jika tidak diselamatkan, benda-benda ini dengan cepat mulai membusuk dan hancur.

Pukulan kedua yang menjatuhkan: naiknya permukaan air laut, sekitar 20 sentimeter sejak 1900. Ini merupakan ancaman langsung terhadap situs pesisir seperti Nunalleq, yang kerentanannya terhadap kerusakan akibat ombak menjadi berganda, karena melelehnya permafrost membuat daratan melesak turun. “Ada satu saja badai musim dingin yang hebat, kita bisa kehilangan seluruh situs ini,”ujar Knecht.

Knecht menekankan rasa keterdesakan. Panas maupun hujan, selama enam minggu musim penggalian, dua puluhan arkeolog dan mahasiswa relawan menghabiskan hari-hari musim panas yang panjang dengan berlutut dan berhati-hati mencungkil tanah dengan sekop kecil mereka.