Berpacu dengan Lelehan Es

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:34 WIB

Pada suatu hari pada agustus, Tricia Gillam menemukan sebuah artefak biasa yang dibuat dengan seni yang luar biasa.

Benda itu merupakan sebilah alat potong yang biasa dipakai wanita, terkenal dengan sebutan ulu—uluaq dalam bahasa Yupik—dengan mata pisau melengkung dari batu lempeng dan gagang kayu berukir. Para arkeolog sering menemukan sebuah mata pisau, sebuah gagang pisau, atau kadang kala ulu yang lengkap. Namun, yang satu ini membuat semua orang tercekat. Gagangnya memiliki bentuk anggun seekor anjing laut. Tetapi ternyata, itu baru setengah dari rancangannya. Saat pemahat setempat bernama John Smith melihatnya belakangan dari sudut yang berbeda, ia melihat bentuk seekor paus.

Artefak itu memperlihatkan pandangan dunia Yupik yang mendasar. Tidak ada satu hal pun yang merupakan entitas tunggal, yang tak fleksibel, karena segala hal berada dalam proses perubahan. Temuan lainnya menjadi perwujudan gagasan yang sama: topeng berupa walrus, atau manusia. Kotak kayu kecil berupa kayak, atau anjing laut.

“Dinamisme itu merupakan bagian konstan dari hidup mereka,” tutur Knecht. “Dan perubahan iklim merupakan bagian dari itu.”

Jika ada orang yang bisa bertahan hidup dari perubahan yang terjadi di alam, ia percaya, itu adalah orang-orang ini yang selalu melihat lingkungannya sebagai sesuatu yang cair, me-merlukan penyesuaian dan adaptasi.

Desa Quinhagak berada di tanah Yupik, di mulut Sungai Kanektok. Beberapa jalanan ber-batu-batu melintasi sebuah sekolah, gereja, kantor pos, pasar swalayan, klinik kesehatan, menara ponsel, dan tiga buah kincir turbin modern.

Secara resmi, ada 745 orang yang tinggal di sini, di dalam rumah-rumah yang bertengger di atas tiang-tiang setinggi sekitar setengah meter di atas tanah yang dulunya beku. Akan tetapi, pada hari-hari tertentu, populasi sesungguhnya bisa lebih banyak, membengkak lantaran kerabat dan penduduk dari desa tetangga.

Dengan pusat kerja di sebuah bangunan kantor yang juga berfungsi sebagai markas para arkeolog, Warren Jones yang berusia 50 tahun adalah presiden sebuah perusahaan Yupik setempat yang dikenal dengan nama Qanirtuuq, Inc. Ia mengelola 52.837 hektare lahannya, mengawasi bisnis dan aset finansialnya, serta menegosiasikan kontrak dengan dunia luar. Namun, ia lebih me-milih untuk berburu, begitu katanya kepada saya. Bersama dengan hampir semua orang di sini, ia mengikuti siklus pemenuhan kebutuhan sendiri yang sama seperti generasi Yupik sebelumnya.

“Sebagian besar makanan kami berasal dari apa yang kami kumpulkan, kami buru, atau kami pancing,”ujarnya. “Kakek saya biasa berkata, kalau kamu tidak punya kayu, simpanan ikan, berry, dan burung, kamu sama saja mati, karena kamu tidak punya apa-apa.”

Awal Agustus adalah musim sibuk bagi pen-duduk desa saat mereka menangguk kekayaan alam. Berry telah masak di penjuru tundra. Ikan coho salmon yang gemuk berenang ke hulu Kanektok untuk bertelur. Sesuai tradisi Yupik, Misty Matthew membantu ibunya, Grace Anaver, mengumpulkan makanan untuk musim salju.

“Kakek saya biasa berkata, kalau kamu tidak punya kayu, simpanan ikan, berry, dan burung, kamu sama saja mati, karena kamu tidak punya apa-apa.”

Pada hari-hari ketika ia pergi memetik berry, Matthew mengendarai ATV masuk jauh ke dalam bentang alam hijau datar bersama orang-orang lain dengan misi yang sama. Mereka membungkuk sambil memenuhi ember plastik masing-masing. Buah salmon-berry adalah yang pertama-tama masak. Buah kecil manis berwarna jingga segerombol per semaknya. Lalu muncul blueberry, dengan rasa manis kue tar yang kuat, yang tak bisa ditandingi oleh buah supermarket mana pun, serta crowberry hitam yang tumbuh rendah dengan rasa agak manis dan renyah.

Tak seorang pun di sini yang berpikir untuk hanya punya satu liter. Mereka perlu banyak. Sebagian besar hasil petikannya masuk ke peti-peti pembeku besar di gudang halaman belakang. Wanita ini membuka ketiga peti tersebut untuk menujukkan kepada saya apa yang telah dikumpulkan ibunya. Salah satu peti penuh dengan buah berry dalam kantung-kantung plastik bening. Peti lainnya memuat buah berry, ikan salmon, minyak anjing laut, ikan trout, dan ikan smelt. Peti terakhir berisi daging moose, kerang-kerangan, daging itik, angsa, karibu, dan dua jenis sayuran liar.