Berpacu dengan Lelehan Es

By , Kamis, 18 Mei 2017 | 12:34 WIB

“Di desa ini bagus kalau kita gemuk. Itu artinya kita cukup makan,”ujarnya. “Kita harus punya simpanan makanan untuk tiga tahun supaya bisa melewati masa paceklik.”

Pada hari yang lain, Matthew dan saudaranya, David, membawa perahu motor untuk menjaring salmon di sungai. Mereka membawa 40 ekor salmon, masing-masing beratnya sekitar 10 kilogram, ke tempat ibu mereka telah menunggu. Kedua wanita tersebut lalu menghabiskan sisa hari itu dengan membersihkan ikan, memotong untuk mengambil dagingnya, dan mengiris-iris tipis dagingnya untuk direndam air asin, dikeringkan, dan diasapi—semuanya dilakukan dengan keratan terampil pisau ulu mereka.

Sang ibu bertutur selagi memotong seekor ikan. “Salmonnya datang lebih terlambat. Dan angsa terbang lebih awal. Berry juga lebih awal.”

Jika ada satu hal yang disepakati semua orang di Quinhagak, dan sering diperbincangkan, itu adalah segala perubahan yang disebabkan oleh cuaca yang aneh.

“Dua puluh tahun yang lalu para tetua mulai berkata kalau tanah ini mulai melesak,”ujar Warren Jones, saat kami berbincang-bincang di kantornya. “Sekitar 10 tahun belakangan ini turunnya tanah begitu parah sampai semua orang bisa melihatnya. Kami naik kapal pada Februari. Itu harusnya bulan paling dingin dalam setahun.”

Hal yang paling aneh? Tiga musim dingin ber-turut-turut tanpa salju.

Bahkan, tanpa musim dingin yang lebih hangat pun kehidupan anak-anak sangat berbeda dengan yang dialami orang-orang yang lebih tua. Seorang pemimpin Qanirtuuq, Grace Hill yang berusia 66, melihat tren yang membuat dirinya khawatir—misalnya, bahasa yang lambat laun menghilang. “Sewaktu saya masuk kelas satu, saya hanya bicara bahasa Yupik. Sekarang anak-anak hanya bicara bahasa Inggris,” tuturnya kepada saya dalam bahasa Inggris fasih dengan sedikit aksen yang ia pelajari di sekolah. Lalu, tentu saja, ada teknologi modern yang mengubah segalanya di mana-mana. “Anak-anak lebih tertarik dengan komputer – dan mereka melupakan budaya kami,” ungkapnya penuh keprihatinan.

“Anak-anak lebih tertarik dengan komputer – dan mereka melupakan budaya kami,” ungkapnya penuh keprihatinan.

Seperti penduduk desa yang lebih tua lainnya, Hill awalnya menentang ekskavasi Nunalleq karena tradisi Yupik mengatakan bahwa leluhur tidak boleh diganggu. Namun, sekarang ia percaya bahwa arkeologi bisa membuahkan hal yang lebih baik. “Saya berharap ini bisa membuat anak-anak tertarik dengan masa lalu mereka,” ujarnya.

Henry Small punya pemikiran yang sama dalam benaknya pada suatu siang yang cerah ketika ia membawa putrinya yang berusia 11 tahun, Alqaq, ke Nunalleq untuk melihat perkembangan penggalian. Ketika saya bertanya apa yang ia harapkan putrinya pelajari di sini, pria ini merespons seolah-olah jawabannya sudah jelas: “Dari mana dia berasal!”

Alqaq, menangkap pesan tersebut. Dalam kunjungan-kunjungan terdahulu ia membantu memilah-milah artefak. Ia paling suka boneka, katanya, dan lip plug, lempengan bundar yang dipasang dalam tindikan di bibir bawah. Dan bagaimana dengan ulu, seperti yang dibuatkan ayahnya untuk ulang tahunnya, dengan namanya terukir di gagang? “Keren juga kalau kita bisa pakai apa yang dipakai leluhur,” ucapnya tanpa ragu.

Potensi arkeologi untuk mengilhami apre-siasi terhadap masa lampau seperti itulah yang memotivasi Jones untuk segera memulai peng-galian. Ia meminta Knecht untuk mempelajari tempat yang terkikis, lalu membantu meyakinkan dewan pemimpin desa bahwa mengekskavasi Nunalleq adalah gagasan yang bagus. Ia juga membuat dewan itu membiayai dua tahun pertama penggalian dan terus menyediakan dukungan logistik. “Memang tidak murah,” ujarnya. “Akan tetapi, untuk mendapatkan artefak-artefak itu demi generasi mendatang, uang tidaklah berarti.”

Di akhir tiap musim lapangan, para arkeolog mengepak temuan mereka dan mengirimkannya ke University of Aberdeen untuk dikonservasi. Namun, semua artefak itu akan dikirimkan kembali akhir tahun ini, ditujukan ke sebuah gedung sekolah tua yang telah diubah Quinhagak menjadi pusat warisan budaya. Jones membayangkannya sebagai tempat orang bisa melihat, menyentuh, dan berbagi cerita tentang benda-benda milik nenek moyang mereka yang dibuat dengan indah.

“Saya ingin anak-anak kami yang sekarang masih kuliah untuk mengelolanya dan bangga bahwa itu adalah milik kami,” tuturnya. Dan ketika mimpi ini terwujud dan tempat pusat budaya itu membuka pintunya? “Saya ingin menjadi yang pertama masuk dan berkata, ‘Saya orang Yupik, dan inilah asal saya.’”