Kobar Jantung Afrika

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 16:11 WIB

Untuk mencapai kediaman si seniman kupu-kupu, kita harus menyusuri lika-liku bak labirin di antara rumah-rumah bata lumpur di dekat Sungai Oubangui yang lebar kecokelatan. Empat tahun silam, pemberontak Muslim dan milisi Kristen berderap di sini, memperebutkan kendali akan Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah. Kini, lingkungan ini penuh anak-anak yang menjerit-jerit sambil bermain bola, dan pedagang. Namun, kekerasan masih mewabah di kota ini, dan orang-orang di sini tetap sangat waspada saat mendengar suara tembakan dan helikopter militer.

Philippe Andé tak menghiraukan semua hal itu. Pria ini membungkuk di atas meja kerja penuh dengan sayap kupu-kupu—sekumpulan warna mencolok, bentuk penuh lekuk, dan pola eksotis. Republik Afrika Tengah adalah rumah dari 597 spesies kupu-kupu yang telah diidentifikasi, dan sudah lumrah jika kita tiba-tiba dikelilingi oleh makhluk mengepak dan tanpa suara ini. Andé, seorang petani, menangkap kupu-kupu ini di ladangnya dan menyuruh anak-anak lelaki mengumpulkannya di bukit dan sepanjang sungai.

Dengan penjepit, pisau cukur, dan lem karet, ia dengan cermat menata sayap-sayap setipis tisu itu menjadi pemandangan penuh warna tentang kehidupan Afrika Tengah, bak miniatur jendela kaca patri warna-warni. Seorang pria menangkap seekor ikan hijau berbintik di sungai rona pirus yang bergolak. Wanita bergaun jingga dengan bayi tidur digendong di punggung tengah menumbuk singkong menjadi tepung. Ada pula ladang penuh kapas; potret gajah, gorila, kakaktua, antelop; bahkan sebongkah berlian dipotong bersegi-segi, komoditas ekspor paling terkenal negara itu.

Inilah Republik Afrika Tengah yang Andé pilih untuk ia lihat saat memejamkan matanya: masa sebelum 2013, tahun saat Seleka—aliansi kelompok pemberontak yang sebagian besar Muslim—merampok, memperkosa, membunuh, dan membakar segala yang dilewatinya di seluruh penjuru negeri; menjungkalkan pemerintahan korup yang didominasi kaum Kristiani. Memicu sebuah perang saudara brutal yang hingga kini masih membara, sehingga menewaskan ribuan orang. Membuat hampir sejuta orang mengungsi, dan menciptakan krisis pangan.

Jujur saja, gambaran menarik karya Andé mewakili beberapa kesan ideal saya tentang Republik Afrika Tengah. Negeri ini menarik perhatian saya ketika melihatnya ditonjolkan dalam suatu peta konservasi, sebidang tanah hijau hampir sebesar Kalimantan. Saya lalu tahu bahwa masih amat luas hutannya yang tak dihuni manusia dan penuh dengan satwa liar. Di bawah keberlimpahan ini terdapat kekayaan sumber daya alam, termasuk berlian, emas, uranium, dan barangkali minyak. Kelihatannya beralasan kalau negara yang begitu jarang penduduknya ini akan makmur. Namun, nyatanya gagal. Mengapa?

Pada perjalanan pertama saya ke Bangui, saya mengajukan pertanyaan itu kepada seorang perwira Angkatan Darat Prancis saat duduk di penerbangan Air France yang hendak lepas landas dari Paris. Bagi orang Prancis, yang men-jajah negara itu dalam masa serbuan Eropa ke Afrika pada abad ke-19, Republik Afrika Tengah memperoleh kemerdekaannya pada 1960. Namun, Prancis amat terlibat dalam berbagai urusannya. Orang Afrika Tengah kini bergantung kepada Total, sebuah perusahaan Prancis, untuk sebagian besar pasokan bensinnya. Mata uang negara itu disokong departemen keuangan Prancis.

Sang perwira, pria berusia 40-an, berangkat sebagai penjaga perdamaian untuk kali kedua. “Logistik menjadi masalah besar,” ujarnya sambil menggelengkan kepala. Ia menjelaskan betapa pada musim hujan, dari Mei sampai Oktober, desa-desa di timur laut yang berpaya-paya sepenuhnya terisolasi, menutup rute perdagangan penting. “Ekonomi di bagian utara tidak dapat berkembang, dan orang-orang di sana marah sekali,” tuturnya. “Di situlah Seleka lahir.”

Saat itu kami disela jeritan wanita Afrika Te-ngah yang dideportasi. Ia dikawal masuk ke pesawat oleh dua orang polisi pria dan diborgol ke kursinya. Ia meronta, menjerit histeris. Penum-pang lainnya adalah campuran dari orang-orang Afrika Tengah yang pulang ke negaranya, penjaga perdamaian, pekerja kemanusiaan, dan diplomat.

Kata-kata wanita itu membuat orang-orang Afrika Tengah merasa resah. “Dia penyihir,” keluh seorang pria. “Dia mengutuk pesawat ini,” kata yang lainnya lagi. Pramugari berusaha menenangkan penumpang, tetapi segera saja beberapa orang berusaha menuntutnya keluar dari pesawat. Setelah satu jam tertunda, pilot menyuruh polisi  membawa pergi wanita itu. Ia pun mengumumkan bahwa akibat penundaan itu, kami harus singgah di Kamerun. “Kita tak bisa mendarat di Bangui malam hari,” jelas sang pilot, “karena lampu bandaranya tak berfungsi.” Sang perwira mencondongkan tubuhnya dan berkata, “Juga tidak aman untuk berjalan dari bandara ke kota waktu malam hari.” Ia tersenyum masam. “Beginilah adanya di Republik Afrika Tengah.”

Pada salah satu hari-hari pertama saya di Bangui, seorang pemandu lokal mengantarkan saya ke sebuah lapangan kecil dengan enam patung bercat emas. Pria ini menjelaskan bahwa lapangan tersebut menggambarkan seluruh sejarah yang saya perlu ketahui. Lapangan itu memberi penghormatan bagi enam pria pemimpin negara ini dari pergerakan kemerdekaan sampai dimulainya Krisis. “Ini Barthélémy Boganda,” ia memulai dari patung pertama, seolah ia dosen.

Dari apa yang saya baca, saya mengetahui kisah Boganda, yang menyebut dirinya adalah putra seorang kanibal, yang terkenal bernegosiasi dengan Charles de Gaulle untuk kemerdekaan negara itu. Namun saya tidak menyela pemandu saya. Ia sepertinya terhibur dengan berbicara tentang salah satu pemimpin yang dianggap orang suci oleh hampir seluruh orang Afrika Tengah. Ia lahir di Oubangui-Chari yang saat itu merupakan koloni Prancis, tempat yang dinamai dari sungai yang membentuk perbatasan utara dan selatannya. Perusahaan swasta mengelola koloni itu secara bebas, dan hal yang berhubungan dengan keadilan diserahkan kepada pejabatnya. Pada peringatan Hari Bastille, 1903, seorang pejabat Prancis di Kaga Bandoro memperbolehkan bawahannya mengeksekusi seorang tahanan Afrika dengan cara memasukkan sebatang dina-mit ke dalam anusnya dan menyalakannya.

Membaca kehidupan Boganda seperti ke-hidupan nabi di Perjanjian Lama. Tepat sebelum kelahirannya pada 1910, pasukan Prancis mem-bunuh ayahnya dalam serbuan ke desanya. Ten-tara perusahaan memukul ibunya sampai mati saat wanita itu menolak mengumpulkan karet liar. Boganda yang yatim piatu diasuh oleh seorang pastor Katolik Roma. Ia pun mengambil sumpahnya sendiri, menjadi pastor pribumi pertama di Oubangi-Chari. Ia menjadi perwakilan pribumi pertama koloni ini dalam Dewan Nasional Prancis, menjadi pengkritik blak-blakan atas pemerintahan Prancis. Saat kemerdekaan sudah dekat, Boganda menjadi pilihan jelas bagi orang-orang untuk menjadi pemimpin mereka.

Ia juga menamakan negara itu Republik Afrika Tengah, merancang benderanya, dan mem-buat semboyan negara: “Kesetaraan Bagi Semua Orang”. Akan tetapi, pada 29 Maret 1959, tepat sebelum pemilu pertama, pesawat yang ditumpangi Boganda meledak di angkasa. Sampai saat ini, orang-orang di seluruh negeri percaya bahwa Prancis berada di belakang tewasnya Boganda, meskipun Prancis menyangkalnya. Kejadian tersebut berdampak buruk bagi hubung-an antara kedua negara sejak saat itu.