Kobar Jantung Afrika

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 16:11 WIB

Kami menghabiskan waktu beberapa jam di pertambangan dan permukiman kumuh yang dibangun untuk tempat tinggal pekerja. Di situ ada rumah makan yang menjual daging panggang, singkong rebus, dan bir Mocaf dari Bangui. Sebuah bioskop memutar DVD film Vin Diesel dan Sylvester Stallone, dan kios-kios menjual sikat gigi, sabun, tiruan seragam tim sepak bola Eropa. Sang mandor memberi tahu saya, semua penjaga toko itu menerima pembayaran berupa emas.

Sebagai orang asing, saya sering didekati orang yang ingin bercerita tentang hal yang terjadi selama krisis. Pertama-tama, seorang pria datang ke hotel saya di Bangui. “Saya ingin memberi tahu Anda tentang keponakan saya,” ujarnya.

Kami naik motor untuk ke rumahnya. Di sana saya bertemu Paul Koli-Miki. Ia bercerita bahwa dua hari sebelumnya, ia diculik oleh pendukung Seleka selagi bekerja di dekat lingkungan Muslim bernama PK5. Mereka memukulinya dengan palu dan menggunakan tang untuk mencabut tiga giginya. Suaranya masih teredam kapas berdarah yang ditekan ke gusinya, dan matanya mem-belalak akibat terguncang. Ia memasukkan berkas pengaduan ke kejaksaan kota Bangui. “Saya tak tahu akan mendapat keadilan atau tidak,” ujarnya.

Ini adalah kekecewaan yang juga bisa diungkapkan ribuan orang di Afrika Tengah. Krisis telah meng-hancurkan sisa-sisa sistem peradilan reyot dan lemahnya kepercayaan publik terhadap peranan hukum. Memang, ada polisi dan beberapa pengadilan. Tetapi, sebagian besar tidak siap menghadapi tindak kejahatan serius. Mampukah negara ini pulih kembali jika keadilan tak pernah ditegakkan?

Dengan adanya kekosongan ini, orang-orang beralih kepada orang asing untuk memperlihatkan kesedihan mereka. Suatu ketika, seorang pria Muslim kurus kering yang mengenakan kopiah rajutan mendekati saya di dekat sebuah mesjid kota Berbérati di bagian barat. “Anti-Balaka membunuh semua sapi saya. Mereka menebang pohon buah saya. Dan mereka membunuh putra saya.” Suaranya terhenti, lalu ia menggenggam erat tangan saya. “Saya 76 tahun. Bisa apa saya? Bisa apa Anda?” Ia pun mulai terisak.

Salah satu pertemuan yang paling mengusik hati terjadi ketika saya bertemu dengan seorang gadis yang berkata bahwa ia telah mengalami penyiksaan seksual oleh penjaga perdamaian dari Prancis. Ibu sang gadis menjelaskan bahwa ketika Seleka bergerak mendekat ke lingkungannya di Bangui, ia pergi bersama putrinya ke bandara, yang dilindungi oleh tentara Prancis.

Sang gadis mendengarkan dalam diam selagi ibunya berbicara. Tinggi gadis ini sekitar 1,5 meter dan baru saja berusia 17 tahun. Rambutnya dikepang dengan rapi ke belakang. Ia menatap lantai saat menjabarkan dengan suara kecilnya bagaimana ia bertemu seorang prajurit Prancis yang tinggi dan berkumis saat melewati pos pemeriksaan prajurit itu. Sebuah bidang kecil yang dibatasi karung pasir. “Dia memberi saya kue dan permen,” tuturnya. Si prajurit mulai berkata-kata dalam bahasa Prancis yang tidak dimengerti si gadis, sehingga si prajurit menggunakan lambang dengan jari untuk menunjukkan bahwa ia bermaksud melakukan hubungan seks. Sang gadis menghela napas panjang, dan suaranya pun semakin kecil. “Pria itu memperlihatkan beberapa makanan. Dia bilang, ‘Kalau kau menangis, aku akan memukulmu. Kalau kau tidak menangis, aku akan memberimu makan tiap hari.’ Jadi, saya setuju untuk berhubungan seks.”

Kini gadis itu tengah mengandung lima bulan.  “Ada banyak gadis lain seperti dia yang juga mendapat makanan sebagai ganti seks dari orang Prancis, tetapi tidak pernah menceritakan kisah ini.” Memang ada penyelidikan, ujar sang ibu, “tapi belum ada hasilnya.” Pada Januari, hakim Prancis memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan terhadap prajurit yang dituduh melaku-kan penyiksaan seksual terhadap anak-anak di Republik Afrika Tengah.

Di sebuah tanah kosong di Bangui, seorang pria langsing yang mengenakan kaus polo bermain bola dengan segerombol anak laki-laki yang lincah. Ia mencoba mengajarkan anak-anak sebuah permainan. Ia memberi contoh, mengoper tajam ke seorang anak, lalu bergerak lincah untuk menerimanya kembali. Pelajarannya lalu berubah drastis tentang bagaimana cara anak-anak bermain sepak bola jalanan, menendang setiap kali kaki mereka menyentuh bola. Anak-anak itu mendengarkan dengan saksama, nyaris takjub, karena pria yang berbicara dengan mereka adalah seorang pahlawan nasional. Ibrahim Bohari, yang dikenal semua orang sebagai I.B., adalah mantan kapten tim sepak bola nasional. Setelah kenangan akan Boganda, Wild Beast—julukan untuk tim sepak bola nasionalnya—barangkali merupakan kekuatan yang paling bisa menyatukan negara itu. Daftar pemainnya mencakup pemain Muslim dan Kristen, dan ini merupakan salah satu dari sedikit institusi tempat tak ada orang yang peduli tentang agama atau etnik seseorang.

I.B., seorang Muslim, berlanjut merumput di tim profesional di Belgia dan Turki. Saat Krisis meletus, ia memilih kembali pulang. “Saya tidak bisa mendengar apa yang terjadi dan tidak melakukan apa-apa,” ujarnya kepada saya.

Ia kembali ke Bangui dan menemukan bahwa orang Muslim pergi dari lingkungannya. Namun, saat ia bertemu dengan tentara Anti-Balaka, mereka menyambutnya. “Saya tanyakan mengapa mereka tidak menyerang saya. Mereka bilang, ‘Kami tidak akan bisa membunuhmu, I.B. Kami sayang dirimu.’” Ia pun menggeleng-geleng mengingat hal tak masuk akal itu.

Ia kemudian mulai mencoba mencari cara untuk menyembuhkan negerinya. Pada suatu hari, ia melihat beberapa anak laki-laki bermain sepak bola dengan bola dari kain bekas. Ia lalu mengetahui bahwa semua anak itu punya orang tua Kristen yang telah terbunuh atau pergi.

I.B. bekerja sama dengan So.Sui.Ben, badan amal Swiss, dan menyewa rumah untuk tempat tinggal selusin anak laki-laki. Dua kali seminggu, ia membimbing mereka berlatih.

Ia mengorganisasi “pertan-dingan perdamaian”, pertandingan sepak bola antara tim dengan mencampur mantan tentara Kristen dan Muslim dari beberapa lingkungan paling mencekam di Bangui.

“Kita harus fokus kepada para pemuda,” I.B. memberi tahu saya, menyebutkan bahwa sebagian masalahnya adalah karena banyak yang tidak punya pekerjaan, dan kepala mereka penuh dengan film dan musik yang merayakan kekerasan. “Kalau ada orang yang mengajak untuk ikut grup pemberontak, mereka pikir mereka bisa menjalani fantasi mereka.”

Pertandingan itu membutuhkan berminggu-minggu persiapan dan diplomasi yang rumit—membujuk otoritas agama untuk mendukung, merekrut peserta, mengatur keamanan dengan penjaga perdamaian PBB, meminta dana dari pelaku usaha. “Ini bukan hanya soal pertandingan,” tutur I.B. “ini juga menunjukkan kepada masyarakat gambaran orang Muslim dan Kristen hidup rukun dan bekerja sama.”

Namun, sejumlah orang di Bangui pesimis-tis. “Pertandingan sepak bola tidak bisa me-ngembalikan orang yang sudah mati,” kata seorang imam. “Tidak membuka lapangan kerja. Tidak bisa mengubah hati orang-orang.”

Sebelum meninggalkan negeri ini, saya menghadiri pertandingan perdamaian di sekolah dasar di PK5, lingkungan Muslim tempat gigi Paul Koli-Miki dicabut paksa. Kerumunan orang Kristen dan Muslim berkumpul. Suasananya seperti festival. Orang-orang tertawa, matahari bersinar cerah, dan para pemuda berlarian, bersinggungan, dan berkeringat. Ini bukanlah kerja sama tim indah yang I.B. ajarkan, tetapi saya melihat dirinya di pinggir lapangan, tersenyum dan bersorak. Semua bersorak-sorai.

Sungguh sebuah momen yang indah sekaligus rapuh, seperti gambar yang dibuat dari sayap kupu-kupu.