Kobar Jantung Afrika

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 16:11 WIB

Ujar si pemandu, yang pekerjaan aslinya adalah seorang jagawana, “Anda bisa mengutip ini, tetapi tolong jangan sebutkan nama saya. Prancis masih pikir kalau kami jajahannya.” Ia lalu menunjuk ke patung kelima pria yang lain, yang semuanya dulu menjadi presiden. “Sewaktu tiap orang ini memutuskan untuk melawan Prancis, dia lalu digantikan oleh orang berikutnya.”

Namun, para pemimpin setelah Boganda memiliki dosa-dosanya sendiri untuk diper-tanggungjawabkan, tutur si pemandu. Sambil berjalan menyusuri barisan patung. Ia menjelaskan betapa mereka itu hamburkan kekayaan negeri, pilih kasih terhadap kelom-pok etnis yang beragam di negara itu, dan meng-akibatkan kebencian mendalam di hati 15 persen populasi Muslim (yang lainnya menganut Kristiani atau kepercayaan animisme). Ia berhenti di patung terakhir, patung seorang pria yang oleh banyak orang Afrika Tengah dituduh memulai Krisis, François Bozizé, seorang perwira tentara yang mendapatkan kekuasaan pada 2003. “Dia berjanji kepada orang Muslim akan memasukkan mereka ke pemerintahannya, kalau mereka mem-bantunya mendapatkan kekuasaan. Lalu, dia mengkhianati mereka, dan begitulah Seleka terbentuk,” tutur sang pemandu.

Pejuang seleka mencapai tujuan mereka untuk menggulingkan Bozizé, tetapi tak tahu caranya memerintah. Mereka mengendalikan Bangui selama kurang dari satu tahun sebelum PBB mengirim pasukan penjaga perdamaian. Seleka menarik diri ke wilayah yang didominasi Muslim, dan aliansi ini pun tak lama kemudian terpecah belah. Kelompok pemberontak yang berbeda-beda itu membagi wilayahnya menjadi tanah-tanah. Tiap bidangnya dikendalikan oleh seorang mantan pemimpin Seleka yang telah mengambil kekayaan alam setempat untuk mengumpulkan uang, demi membayar tentara dan membeli senjata. Selama tahun kemarin, mereka mulai saling menyerang, membuat 70.000 orang pergi dari tempat tinggal mereka.

Fotografer Marcus Bleasdale dan saya hendak mengeksplorasi bagaimana sumber daya itu, yang begitu menjanjikan bagi negeri, telah menjadi urat nadi bagi kekuatan yang terus menjadikannya terpecah belah. Kami memutuskan untuk me-ngunjungi Bambari, kota terbesar kedua setelah Bangui dan garis depan bagi wilayah yang dikendali-kan oleh mantan pemimpin Seleka.

Butuh sehari mencapai sana dari Bangui dengan mobil 4x4, menyusuri rute yang me-nembus hutan lebat dan melintasi beberapa desa yang diserang secara brutal oleh Seleka dalam perjalanan menuju ibu kota. Saat penjaga perdamaian PBB berpatroli, jalanan aman. Pada waktu lain, para bandit menanti mangsanya.

Kebanyakan jalanannya tidak dilapisi dan berlubang dalam bekas ban mobil, sehingga pengendara harus mengemudi amat pelan—nyaris seperti kecepatan orang berjalan—memberi kesempatan terjadinya penyergapan, atau seperti yang kami temui, penjualan benda-benda. Saat pengemudi kami berusaha mengendalikan mobil di suatu jalan yang sukar, seorang pria muncul dari tengah hutan sambil melambaikan dua kura-kura besar. Lalu, beberapa anak laki-laki yang cekikikan menawarkan dua untai ikan yang masih bergerak-gerak. Saat kami berhenti sejenak untuk melihat ikan tersebut, seorang anak perempuan muncul membawa botol-botol penuh madu liar.

Pria yang Marcus dan saya hendak temui di Bambari adalah Ali Darassa, mantan jenderal Seleka yang mengendalikan kota itu. Hanya arang hitam rumah-rumah yang terbakar yang tersisa dari lingkungan Kristen terbesar di kota itu, dan puluhan ribu orang Kristen kini tinggal di kamp tenda-tenda di pinggiran kota.

Tentara Darassa berkeliling dalam pikap, dengan senapan mesin terpasang di atasnya. Mereka mengumpulkan pajak sekitar 665 ribu rupiah dari setiap ekor sapi yang ratusan ekornya dikirim ke pasar di Bangui, tiap minggu. Mereka juga menuntut uang perlindungan dari pemilik toko, menarik uang tol untuk kendaraan, mengenakan pajak untuk perdagangan kopi di area itu. Tetapi, harta paling berharga adalah tam-bang emas yang berjarak 60 kilometer dari situ.

Saya beberapa kali mencoba mewawancarai Darassa, dan anak buahnya selalu beralasan. Namun, mereka bilang ia tak masalah jika kami mengunjungi tambang emasnya. Dan begitulah, pada suatu pagi, Marcus dan saya berdiri di tepi sebuah jurang dalam dan berundak-undak yang telah digali oleh sekelompok kecil orang.

Salah satu mandornya, pria bertubuh agak pendek dan berotot berusia awal 30-an dengan tangan sekeras balok alas tempa besi, bercerita bahwa ia telah bekerja di tambang itu sejak dibuka tiga tahun silam. Sebelum Krisis, sebuah perusahaan Kanada telah mulai melirik area tersebut. Namun, ketika kekerasan pecah, per-usahaan itu pun pergi, bersama lusinan per-usahaan asing lain yang telah mengeksplorasi minyak, menebang pohon, dan mengerjakan jalan serta bendungan. Sangat sedikit yang kembali.

Emas disaring dari batu yang ditemukan di dasar tambang, jelasnya. Sekitar 300 pria dan pemuda diatur dalam barisan vertikal sepanjang undak-undakan sampai ke tepi atas jurang. Saya mengamati selagi para pria di bagian bawah menyekop tanah dan melemparkannya melewati bahu ke orang di undakan di atasnya. Orang itu lalu menyekopnya ke orang di atasnya lagi dan seterusnya, seperti eskalator untuk tanah.

Sang mandor menjelaskan, tiap orang men-dapat sekitar 120 ribu rupiah sehari. Ia mem-perkirakan bahwa tambang tersebut menghasilkan sekitar 53 miliar rupiah setiap tahunnya. Ia berkata bahwa Darassa mengambil enam persen dari emas itu “untuk keamanan.”