Babak Renaisans Bogota

By , Rabu, 25 November 2015 | 14:00 WIB

BOLIVAR PASTI TAK AKAN MENGENALI banyak bagian dari kota yang dulu turut diletak­kannya pada peta. Perjalanan dengan mobil dari bandara membawa saya menyusuri jalur cepat menuju ruas-ruas kaki gedung pencakar langit Bogota. Jendela-jendelanya terbakar terik mentari tengah hari, menentang kehijauan Monserrate. Saat kami melaju di bawah jembatan-jembatan yang dicoreng grafiti, napas saya agak sesak di ketinggian 2.639 meter. Namun, kejernihan cahaya menyapu lanskap, memperkaya warna-warni yang ada, dan menyuntikkan optimisme ke dalam jiwa.

Suatu pagi, saya menjumpai seorang pemuda yang, dari apa yang saya baca, sedang berjuang sebaik-baiknya untuk mengubah Bogota jadi lebih baik. Dalam perjalanan ke sana, saya malah tersesat di jalan-jalan rumit La Candelaria dan bergegas menyusuri trototar, melangkahi lubang got, berkelit dari bus-bus yang meraung-raung. Miguel Uribe menyambut saya di kafe halaman bertembok Hotel de la Opera. Eksteriornya berwarna persik, mengingatkan kita akan masa kolonial. Pada usia 28, Uribe menjadi deputi termuda kedua di Dewan Kota Bogota. Kebetulan ia juga cucu lelaki mantan presiden Kolombia, Julio Cesar Turbay Alala. Dibanding mayoritas orang, Uribe jauh lebih mengenal masa lalu Kolombia yang memilukan. Pada 1990, gembong narkoba Pablo Escobar memerintahkan penculikan ibunya, jurnalis televisi Diana Turbay. Penyekapan lima bulan itu berujung pada gagalnya upaya penyelamatan polisi dan, pada 1991, kematian ibunya dalam baku tembak. (Novelis Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, mengabadikan tragedi ini dalam adikarya nonfiksinya, News of a Kidnapping.)

Uriba, yang kala itu berusia empat tahun, mengaku tidak memendam kepahitan; ia lebih suka berfokus menggenjot berbagai perubahan yang disaksikannya baru-baru ini.

“Pada 1990-an, kami adalah tawanan pedagang narkoba dan kelompok gerilya di kota sendiri. Kini, Bogota seaman area urban lainnya.” Ia menyesap air soda, lalu menambahkan, “Bogota telah bermodernisasi, tetapi La Candelaria kian menegakkan jati diri dengan rumah-rumah yang dipugar, peningkatan keamanan, dibukanya bar dan restoran bermutu, serta banyak hotel gres yang nyaman diinapi.”

Ia benar mengenai hotel. Saya menginap di Abadia Colonial, eks-rumah kolonial yang didandani jadi penginapan lapang, dengan restoran masakan Italia di halaman bertemboknya. Sang empunya, Paolo Rocchi, orang Italia tulen. Dengan bangga, ia bercerita tentang paguyuban artistik La Candelaria yang berkembang pesat, serta orang Prancis dan Italia yang pindah ke sini untuk menikmatinya. “Rasanya seperti hidup di jantung San Francisco—ini San Francisco-nya Amerika Selatan.”

Kebangkitan kembali La Candelaria juga mencakup sentuhan kosmopolitan, yang disambut hangat di Kolombia setelah isolasi hubungan politiknya diakhiri baru-baru ini.

“Nongkrong malam di Bogota dulunya melibatkan arepas [roti tak beragi] dan rum melulu,” ungkap Yolima Herrera, salah satu dari dua warga Bogota yang menikmati makan malam bersama saya di El Patio, restoran dekat sini. “Kini kami bisa memesan wine, keju mahal, dan ham.”

Malam itu kami bersulang dengan South American Cabernet Sauvignon yang rasanya selezat wine Prancis, lalu menekuri menu hidangan berbau Eropa. “Turisme amatlah penting bagi kebangkitan negeri ini,” imbuh teman makan malam satunya, Angela Garzon, yang bekerja di pemerintahan kota.

BETAPA PUN DRASTISNYA Candelaria berubah, kenangan masa lalu Kolombia yang penuh pergolakan masih membekas. Di bawah  terik matahari yang memanggang bumi di kawasan tropis ini—lebih garang dari yang biasanya saya tanggung—saya berjalan melintasi Plaza de Bolivar. Di sinilah orang Spanyol, pada 1817, menghukum mati Policarpa Salavarrieta, seorang penjahit sekaligus mata-mata gerakan merebut kemerdekaan dari Spanyol. Kini menjulang tanda peringatan yang menahbiskannya sebagai pahlawan wanita; pada hari eksekusinya, ia tidak sudi berlutut dan menghadap ke belakang. Dengan sikap menantang, ia berdiri dan menghadap para eksekutor saat mereka mulai menembak.

Beberapa langkah dari sana, di Carrera 7—area khusus pejalan kaki—saya menemukan contoh dari jiwa Bogota yang lebih spontan. Seorang pria serentak memainkan genderang di punggung, seruling yang terpasang di dagu, plus gitar yang menggantung di lehernya. Dengan beberapa liukan, irama salsa pun mengumandang, mengiringi pasangan-pasangan yang berdansa menyisir pot bunga dari beton yang dilukisi kalimat-kalimat lucu seperti “Si eres sabio, rie—Tertawalah kalau Anda bijak” dan “Los feos tenemos mas estilo—Kami memang jelek tetapi lebih bergaya.” Tepat di selatan alun-alun, penjual di pasar perajin Pasaje Rivas menyambut orang lewat dengan patung kecil Perawan Maria—dan keluarga Simpson.

Kehidupan kafe di Bogota pun merekah dan kian semarak. Saya langsung terpikat Mitho Café, ruang berpapan kayu yang dihangatkan perapian berdiri. Di sebelah perapian saya berdiang, menikmati mendung dan rinai sore berkawan crema de whiskey dan picada berkulit keras dari sosis chorizo dan kentang muda. Pada senja yang lain, saya menjajal absinthe di El Gato Gris, yang menjuluki dirinya “Bohemia di Bogota”. Menu koktail El Gato memamerkan, dengan sewajarnya, goresan surealis peseni Spanyol, Salvador Dali, yang beken dengan kumis tipis ikoniknya. Sembari duduk di meja kecil di bawah kandil besi tempa, dan menonton gelingsir sang surya menyepuh menara lonceng gereja berlanggam rococo, saya menyesap absinthe dari cawan yang dipermanis cokelat dan sebatang kayu manis. Namun, ternyata minuman favorit saya tipikal warga Kolombia: seteguk aguardiente (‘air pedas’) yang didahului mengunyah seiris jeruk limau.

Pada malam terakhir di Bogota, saya kembali ke lokawisata di La Candelaria yang paling saya sukai di antara semuanya. Malam itu dingin dan berangin, namun disesaki wanita muda berbusana modis dan pria yang tampil elegan dengan rambut disisir ke belakang. Jalanan penuh taksi yang mengangkut pasangan-pasangan untuk keriaan pesta yang baru saja dimulai. Sungguh pemandangan yang seru untuk dinikmati, meski karena mengenakan jins dan jaket bomber, saya jadi merasa seperti gembel bergaya Latin. Apalagi usia saya sepuluh tahun lebih tua dari mayoritas warga yang turun ke jalan.