Babak Renaisans Bogota

By , Rabu, 25 November 2015 | 14:00 WIB

Lalu saya teringat ke mana saya berniat pergi: Casa de Citas Café Arte yang bertiang kayu dan berdinding kuning kecokelatan. Saya datangi klub ramah-jins itu bersama seorang teman Venezuela, Nelvis Navas, yang dijamin berpotongan Latin. Seorang pelayan berseragam yang saya kenal dari kunjungan sebelumnya, memberi isyarat pada kami. Kami melintasi ubin lantai dansa dan duduk di suatu meja. Tempat ini berdengung oleh ketukan pemanasan bongo dan lengkingan terompet coba-coba saat musisi bersiap di panggung kecil untuk pertunjukan malam ini. Pelanggan di sini tampak berbeda dari peserta pesta di luar sana. Banyak lelaki mengenakan kacamata berbingkai tanduk dan syal katun, dengan perlente menggangguk-anggukkan kepala. Para wanitanya memamerkan topi cloche dan sarung tangan tanpa jari. Meski tidak sedang merokok, dandanan mereka sudah sangat pas untuk itu.

“Kaum bohemia,” ujar Navas. Belakangan ini Bogota menjadi salah satu kota favoritnya, sebagian besar karena La Candelaria.

Sebelumnya ia mengakui, “Saat berjalan-jalan di sini, saya merasakan kedamaian, seolah ditarik kembali ke masa silam.” Berbeda dengan Caracas, ibu kota modern yang pem­bangunannya kelewat batas. Selama tinggal di La Candelaria, saya merasa paling kerasan di sini, di Casa de Citas, “rumah pertemuan”. Saya menyambanginya beberapa kali untuk membahas politik dan buku di atas berbotol-botol tempranillo, wine Spanyol, bersama sang empunya, Carlos Adolfo Gonzales.

“Apakah tempat ini pernah menjadi rumah bordil seperti yang disiratkan namanya?” tanya saya kepada Gonzales. Mudah saja untuk membayangkan sekelompok wanita merayu pengunjung yang mulai mabuk untuk mampir.

Ia tersenyum. “Itu isapan jempol belaka. Di sini dulunya rumah keluarga.” Namun, ia menambahkan, Casa de Citas boleh juga disamakan dengan itu. “Hanya saja, saya menjajal konsep rumah bordil yang agak berbeda, yakni yang menarik pria dan wanita untuk minum-minum, menikmati musik, berdansa, dan tertulias [berdialog sastrawi].”

“Tertulia” bukanlah kata yang sering didengungkan di sini, tetapi dengan jitu menggambarkan Casa de Citas yang kini menjadi tempat nongkrong sejumlah penyair besar Kolombia. Gonzales, impresario bertubuh ramping dan bermata cokelat tajam yang mencintai musik dan sajak, pernah mampir. Penyair kondang Kolombia, Juan Manuel Roca, kini sering melamun di Casa dan menghadiri pertemuan sastrawinya. Penyair dan aktivis budaya Maria Mercedes Carranza, yang turut menyusun rancangan UUD modern Kolombia, datang kemari hingga ia mengakhiri hidupnya dengan segenggam pil pada 2003.

Seorang pelayan menghantar makanan pembuka berupa jagung asin panggang bernama cancha tostada. Sajian di sini bercita rasa Peru; saya baru tersadar, di La Candelaria, pe­mutakhiran tidak selalu berbau Eropa.

Ketika sajian utama kami datang—direndam dalam air jeruk nipis, daun ketumbar, dan bawang bombay—pelayan meninggalkan sesuatu yang lain: saus aji asam-kental-pedas yang sarat bawang putih. Terkena sedikit saja lidah saya seakan terbakar. Saya menuangkannya banyak-banyak di atas boga laut.

Band mulai mengalunkan salsa cubana; musik yang menggoda separuh pengunjung yang belum mabuk untuk melantai. Meski mulut ini serasa terbakar, saya tak bisa mengalihkan pandangan dari pasangan yang tengah berdansa di sebelah kami. Si wanita berputar dengan lincah, dipadu langkah luwes nan mantap dari pasangannya. “Pasangannya menari lebih cepat dari ritme,” Navas berkomentar. “Mereka tidak kompak.” Ia menggeleng.

Terdorong oleh perasaan impulsif—akhirnya, seperti orang Bogota—saya memutuskan untuk turun ke lantai dansa.