Babak Renaisans Bogota

By , Rabu, 25 November 2015 | 14:00 WIB

Saya adalah tipe pengunjung museum yang tak sabaran, tak suka berdesakan di aula-aula sunyi hanya demi menjenguk lukisan yang, di mata saya, tampak sama bagusnya di buku maupun di kanvas. Namun, khusus untuk seorang seniman, saya membuat pengecualian: Fernando Botero. Boleh dibilang, Botero-lah yang memasukkan Kolombia ke peta seni dunia. Bahkan, ia juga yang menaruh rumah Museo Botero (Botero Museum) di ibu kota Kolombia, Bogota, pada radar saya.

Dari pos pengamatan di puncak Monserrate setinggi 3.151 meter malam ini, Bogota menyerupai selimut perca gemilap yang berhias mozaik lampu berkilauan dan bayang-bayang obsidian. Pemandangan mengagumkan ini membangkitkan rasa takjub saya. Mata saya mencari-cari Botero Museum di suatu tempat tepat di bawah sana, di wilayah Candelaria, jantung kolonial kota ini.

Lima belas tahun berselang, Bogota diporak-porandakan oleh perang saudara selama sepuluh tahun. Gerilya sayap kiri—banyak dari kelas pekerja Kolombia—menembaki pejabat dan merampas gedung-gedung pemerintahan. Sementara itu, sayap kanan yang didominasi militer sibuk membunuhi anggota sayap kiri. Jelas, pemasukan dari narkotika memperkaya segelintir orang hingga ke level yang sulit dimengerti. Bayangkan almarhum pimpinan kartel Medellin, Pablo Escobar, dengan Learjet, kapal selam, dan kebun binatangnya.

“Situasinya kini berbeda jauh,” ujar teman Bogota saya, Carla Baquero, seniman grafis berusia 33 tahun, saat kami menapaki jalanan curam pos pengamatan ke mobil kabel untuk turun ke kota. Wahana itu berayun hidup, dan kami pun meluncur hampir tegak lurus menuju bagian tergelap dari lanskap kota yang sesungguhnya cemerlang. La Candelaria. “Di sinilah,” tutur Carla, “para penyair Kolombia senantiasa tinggal. Anda masih bisa merasakan Bogota zaman Simon Bolivar,”—pahlawan pembebas Kolombia abad ke-19. Karya seni epik Fernando Botero tak akan menemukan rumah yang lebih pantas.

Baquero dan saya mencapai pintu masuk Museo Botero, yang menghuni kediaman kolonial di Calle 11. Saya bermaksud melihat langsung satu lukisan Botero yang menggugah minat sejak lama: “Pareja Bailando” (‘Pasangan Berdansa’). Di situ digambarkan duet penari: yang wanita berpaha sekekar kuda dan berambut kemerahan, sedang yang lelaki berkulit pucat dan berpostur bulat gendut. Karya seni itu kami temukan di ruangan khusus Botero (museum juga memajang karya seniman modern lainnya, termasuk Pablo Picasso dan Robert Motherwell). Seperti mayoritas subjek Botero, mereka berdua tampak tambun. Namun, tentu bukan istilah itu yang akan dipakai sang kreator. Baginya, mereka me­miliki volumen yang menyiratkan kejenuhan pada sensualitas, ciri khas warga Kolombia. Segalanya tampak wajar, sampai saya menyadari bahwa bayangan dua sosok ini tidak terpantul pada cermin di belakang—pertanda derita abadi sebagai vampir?—dan pria itu tidak ber­cukur, menyiratkan mungkin ini di rumah bordil. Gambaran yang terlihat dangkal, tetapi justru me­nyimpan lapisan demi lapisan yang tak mampu dikuliti sambil lalu.

“Dalam karya ini,” jelas Baquero, “Botero mengisyaratkan masalah-masalah dalam riwayat kita: korupsi, kepalsuan dalam kehidupan pribadi, kekejaman di balik topeng.”

Kami mampir menengok “Una Familia”, potret keluarga yang ter­lihat normal, kendati suami-istri dan kedua anak mereka tampak lucu dan gendut. Lalu Baquero menunjuk sejumlah detail penting.

“Pria itu punya dua cincin nikah, yang mengesankan dia mungkin se­lingkuh. Wanita itu matanya je­lalatan, yang bagi sebagian orang Kolombia berarti ia tak bisa dipercaya, sehingga mungkin ia pun sedang bermain serong. Dan, lihat betapa jelek tampilan anjing keluarganya; kami percaya tabiat anjing mencerminkan watak tuannya.” Saya melihat seekor ular merah kirmiz di pohon di belakang mereka, siap memagut si wanita. “Itu ikonografi Katolik,” Baquero mengamati, siratan lain bahwa dua orang itu memang pendosa. Botero menggiring kita untuk membayangkan Bogota seperti wilayah Kolombia lainnya: bernapaskan Katolik, tetapi menjunjung kenikmatan duniawi. Banyak yang disamarkan demi menghargai norma kesopanan dan agama. Namun, saat menilik “Man of Horseback”-nya yang kocak (pria itu seolah sama beratnya dengan kuda), saya mengendus kejenakaan, hasrat seorang Kolombia untuk mendramatisir momen dan mempertanyakan keseriusan. Saking terampil dan liarnya Botero menggoreskan kuasnya, kumpulan karyanya, seperti Bogota, menempati posisi tengah antara seni murni dan seni populer, atau, dalam istilah kuliner, antara tarte tatin nan elegan dengan wafer yang merakyat.

SAYA SELALU MERASAKAN BOGOTA mengalir di dalam darah saya. Boleh jadi karena ikatan keluarga dengan kota ini: ibu saya menikmati beberapa tahun masa remajanya di sini, di casa senorial megah pada suatu tempat di lereng gunung bermantel kabut di atas kota. Di sanalah, kisahnya pilu, ia menjalani masa-masa paling bahagia dalam hidupnya.

Pada 2009, saya mulai me­nyambangi Kolombia untuk meneliti buku tentang Bolivar, figur flamboyan yang memerdekakan lima negara dari kekuasaan Spanyol. Dengan “El Liber­tador”, saya merasakan ikat­an mendalam: semasa hidupnya, ia kerap me­ngembara, sama seperti saya. Hasrat berkelananya juga tak terpuaskan, dan ke­mampuannya belajar dari sejarah pun memprihatinkan. Saya jatuh hati pada Bogota yang tampil dramatis di bawah Andes berlereng curam; hawanya sejuk dan berhujan. Manusianya ber­tahan dan tumbuh dari teror puluhan tahun, ingin bel­ajar memahami dunia dan dipahami olehnya. Yang paling memikat hati adalah area Candelaria yang bersaput cat warna-warni, cikal bakal gerakan re­naisans terkini Kolombia. Di sini, petani ber-poncho berbagi trotoar dengan elite berbusana trendi, sementara kereta kuda berderak-derak di sisi mobil sport. Dalam kunjungan kali ini, saya bertekad meleburkan diri dalam denyut hidupnya dan bersua warga Candelaria yang turut menghidupkan kembali kota ini. Dan, semoga saja, saya akan beroleh tempat di tengah budaya Latin yang membanggakan ini.

La Candelaria masih menjadi pos terdepan zaman kuno di sudut timur pertumbuhan urban Bogota baru yang semrawut, dan menjalar ke utara dan barat dari kaki Andes. Pada mulanya, kota berdiri di sini, baik di Plaza de Bolivar nan megah—di mana gedung DPR dan mahkamah agung Kolombia menjulang—atau dekat Plazoleta del Chorro de Quevedo yang tua tetapi menarik, dengan gang-gang beraroma ganja dan pendongeng nan ramah. Meski hari ini didominasi jalan-jalan batu bulat yang elok, rumah-rumah rendah beratap segitiga, dan sentra bisnis, La Candelaria pernah bernasib suram sebagai zona keji-bobrok-berbahaya yang menaungi El Cartucho, salah satu pasar narkoba terbesar di Bogota (kini taman umum). Kebangkitan kembali nadi budaya di area ini, yang nyaman sekaligus mutakhir, melaraskan Dunia Kuno dengan abad 21. 

Tentu inilah yang Bolivar ingini; ia memimpikan Bogota sebagai ibu kota kelas dunia. Lahir di Caracas, ibu kota Venezuela hari ini, dari garis keturunan Eropa kelas atas dan terpelajar, Bolivar adalah pemberontak yang gagah berani. Oase perlindungan yang amat disayanginya dan ia bagi dengan Manuela Saenz, kekasih dan kawan seperjuangannya, adalah Quinta de Bolivar yang terletak di pelosok La Candelaria. Kini, mantan kediamannya menjelma museum yang dikhususkan bagi sang Bapak Kemerdekaan. Jelajahilah gedung beratap rendah ini, yang berlimpah kandil antik dan cermin ber­bingkai mengilap, atau taman neoklasik yang ditumbuhi flora unik setempat seperti blueberry Andes; mungkin Anda akan memahami perasaan Carla Baquero terhadap tempat ini.

“Berada di Quinta selalu membuat saya merasa trenyuh,” akunya. “Saya membayangkan Bolivar dan Manuelita-nya hidup di sini, alangkah bahagianya mereka. Namun, kebahagiaan itu tidak abadi.” Bolivar meninggal sebelum mencapai perasingan, dan Manuelita ujung-ujungnya diasingkan oleh rezim baru.

BOLIVAR PASTI TAK AKAN MENGENALI banyak bagian dari kota yang dulu turut diletak­kannya pada peta. Perjalanan dengan mobil dari bandara membawa saya menyusuri jalur cepat menuju ruas-ruas kaki gedung pencakar langit Bogota. Jendela-jendelanya terbakar terik mentari tengah hari, menentang kehijauan Monserrate. Saat kami melaju di bawah jembatan-jembatan yang dicoreng grafiti, napas saya agak sesak di ketinggian 2.639 meter. Namun, kejernihan cahaya menyapu lanskap, memperkaya warna-warni yang ada, dan menyuntikkan optimisme ke dalam jiwa.

Suatu pagi, saya menjumpai seorang pemuda yang, dari apa yang saya baca, sedang berjuang sebaik-baiknya untuk mengubah Bogota jadi lebih baik. Dalam perjalanan ke sana, saya malah tersesat di jalan-jalan rumit La Candelaria dan bergegas menyusuri trototar, melangkahi lubang got, berkelit dari bus-bus yang meraung-raung. Miguel Uribe menyambut saya di kafe halaman bertembok Hotel de la Opera. Eksteriornya berwarna persik, mengingatkan kita akan masa kolonial. Pada usia 28, Uribe menjadi deputi termuda kedua di Dewan Kota Bogota. Kebetulan ia juga cucu lelaki mantan presiden Kolombia, Julio Cesar Turbay Alala. Dibanding mayoritas orang, Uribe jauh lebih mengenal masa lalu Kolombia yang memilukan. Pada 1990, gembong narkoba Pablo Escobar memerintahkan penculikan ibunya, jurnalis televisi Diana Turbay. Penyekapan lima bulan itu berujung pada gagalnya upaya penyelamatan polisi dan, pada 1991, kematian ibunya dalam baku tembak. (Novelis Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, mengabadikan tragedi ini dalam adikarya nonfiksinya, News of a Kidnapping.)

Uriba, yang kala itu berusia empat tahun, mengaku tidak memendam kepahitan; ia lebih suka berfokus menggenjot berbagai perubahan yang disaksikannya baru-baru ini.

“Pada 1990-an, kami adalah tawanan pedagang narkoba dan kelompok gerilya di kota sendiri. Kini, Bogota seaman area urban lainnya.” Ia menyesap air soda, lalu menambahkan, “Bogota telah bermodernisasi, tetapi La Candelaria kian menegakkan jati diri dengan rumah-rumah yang dipugar, peningkatan keamanan, dibukanya bar dan restoran bermutu, serta banyak hotel gres yang nyaman diinapi.”

Ia benar mengenai hotel. Saya menginap di Abadia Colonial, eks-rumah kolonial yang didandani jadi penginapan lapang, dengan restoran masakan Italia di halaman bertemboknya. Sang empunya, Paolo Rocchi, orang Italia tulen. Dengan bangga, ia bercerita tentang paguyuban artistik La Candelaria yang berkembang pesat, serta orang Prancis dan Italia yang pindah ke sini untuk menikmatinya. “Rasanya seperti hidup di jantung San Francisco—ini San Francisco-nya Amerika Selatan.”

Kebangkitan kembali La Candelaria juga mencakup sentuhan kosmopolitan, yang disambut hangat di Kolombia setelah isolasi hubungan politiknya diakhiri baru-baru ini.

“Nongkrong malam di Bogota dulunya melibatkan arepas [roti tak beragi] dan rum melulu,” ungkap Yolima Herrera, salah satu dari dua warga Bogota yang menikmati makan malam bersama saya di El Patio, restoran dekat sini. “Kini kami bisa memesan wine, keju mahal, dan ham.”

Malam itu kami bersulang dengan South American Cabernet Sauvignon yang rasanya selezat wine Prancis, lalu menekuri menu hidangan berbau Eropa. “Turisme amatlah penting bagi kebangkitan negeri ini,” imbuh teman makan malam satunya, Angela Garzon, yang bekerja di pemerintahan kota.

BETAPA PUN DRASTISNYA Candelaria berubah, kenangan masa lalu Kolombia yang penuh pergolakan masih membekas. Di bawah  terik matahari yang memanggang bumi di kawasan tropis ini—lebih garang dari yang biasanya saya tanggung—saya berjalan melintasi Plaza de Bolivar. Di sinilah orang Spanyol, pada 1817, menghukum mati Policarpa Salavarrieta, seorang penjahit sekaligus mata-mata gerakan merebut kemerdekaan dari Spanyol. Kini menjulang tanda peringatan yang menahbiskannya sebagai pahlawan wanita; pada hari eksekusinya, ia tidak sudi berlutut dan menghadap ke belakang. Dengan sikap menantang, ia berdiri dan menghadap para eksekutor saat mereka mulai menembak.

Beberapa langkah dari sana, di Carrera 7—area khusus pejalan kaki—saya menemukan contoh dari jiwa Bogota yang lebih spontan. Seorang pria serentak memainkan genderang di punggung, seruling yang terpasang di dagu, plus gitar yang menggantung di lehernya. Dengan beberapa liukan, irama salsa pun mengumandang, mengiringi pasangan-pasangan yang berdansa menyisir pot bunga dari beton yang dilukisi kalimat-kalimat lucu seperti “Si eres sabio, rie—Tertawalah kalau Anda bijak” dan “Los feos tenemos mas estilo—Kami memang jelek tetapi lebih bergaya.” Tepat di selatan alun-alun, penjual di pasar perajin Pasaje Rivas menyambut orang lewat dengan patung kecil Perawan Maria—dan keluarga Simpson.

Kehidupan kafe di Bogota pun merekah dan kian semarak. Saya langsung terpikat Mitho Café, ruang berpapan kayu yang dihangatkan perapian berdiri. Di sebelah perapian saya berdiang, menikmati mendung dan rinai sore berkawan crema de whiskey dan picada berkulit keras dari sosis chorizo dan kentang muda. Pada senja yang lain, saya menjajal absinthe di El Gato Gris, yang menjuluki dirinya “Bohemia di Bogota”. Menu koktail El Gato memamerkan, dengan sewajarnya, goresan surealis peseni Spanyol, Salvador Dali, yang beken dengan kumis tipis ikoniknya. Sembari duduk di meja kecil di bawah kandil besi tempa, dan menonton gelingsir sang surya menyepuh menara lonceng gereja berlanggam rococo, saya menyesap absinthe dari cawan yang dipermanis cokelat dan sebatang kayu manis. Namun, ternyata minuman favorit saya tipikal warga Kolombia: seteguk aguardiente (‘air pedas’) yang didahului mengunyah seiris jeruk limau.

Pada malam terakhir di Bogota, saya kembali ke lokawisata di La Candelaria yang paling saya sukai di antara semuanya. Malam itu dingin dan berangin, namun disesaki wanita muda berbusana modis dan pria yang tampil elegan dengan rambut disisir ke belakang. Jalanan penuh taksi yang mengangkut pasangan-pasangan untuk keriaan pesta yang baru saja dimulai. Sungguh pemandangan yang seru untuk dinikmati, meski karena mengenakan jins dan jaket bomber, saya jadi merasa seperti gembel bergaya Latin. Apalagi usia saya sepuluh tahun lebih tua dari mayoritas warga yang turun ke jalan.

Lalu saya teringat ke mana saya berniat pergi: Casa de Citas Café Arte yang bertiang kayu dan berdinding kuning kecokelatan. Saya datangi klub ramah-jins itu bersama seorang teman Venezuela, Nelvis Navas, yang dijamin berpotongan Latin. Seorang pelayan berseragam yang saya kenal dari kunjungan sebelumnya, memberi isyarat pada kami. Kami melintasi ubin lantai dansa dan duduk di suatu meja. Tempat ini berdengung oleh ketukan pemanasan bongo dan lengkingan terompet coba-coba saat musisi bersiap di panggung kecil untuk pertunjukan malam ini. Pelanggan di sini tampak berbeda dari peserta pesta di luar sana. Banyak lelaki mengenakan kacamata berbingkai tanduk dan syal katun, dengan perlente menggangguk-anggukkan kepala. Para wanitanya memamerkan topi cloche dan sarung tangan tanpa jari. Meski tidak sedang merokok, dandanan mereka sudah sangat pas untuk itu.

“Kaum bohemia,” ujar Navas. Belakangan ini Bogota menjadi salah satu kota favoritnya, sebagian besar karena La Candelaria.

Sebelumnya ia mengakui, “Saat berjalan-jalan di sini, saya merasakan kedamaian, seolah ditarik kembali ke masa silam.” Berbeda dengan Caracas, ibu kota modern yang pem­bangunannya kelewat batas. Selama tinggal di La Candelaria, saya merasa paling kerasan di sini, di Casa de Citas, “rumah pertemuan”. Saya menyambanginya beberapa kali untuk membahas politik dan buku di atas berbotol-botol tempranillo, wine Spanyol, bersama sang empunya, Carlos Adolfo Gonzales.

“Apakah tempat ini pernah menjadi rumah bordil seperti yang disiratkan namanya?” tanya saya kepada Gonzales. Mudah saja untuk membayangkan sekelompok wanita merayu pengunjung yang mulai mabuk untuk mampir.

Ia tersenyum. “Itu isapan jempol belaka. Di sini dulunya rumah keluarga.” Namun, ia menambahkan, Casa de Citas boleh juga disamakan dengan itu. “Hanya saja, saya menjajal konsep rumah bordil yang agak berbeda, yakni yang menarik pria dan wanita untuk minum-minum, menikmati musik, berdansa, dan tertulias [berdialog sastrawi].”

“Tertulia” bukanlah kata yang sering didengungkan di sini, tetapi dengan jitu menggambarkan Casa de Citas yang kini menjadi tempat nongkrong sejumlah penyair besar Kolombia. Gonzales, impresario bertubuh ramping dan bermata cokelat tajam yang mencintai musik dan sajak, pernah mampir. Penyair kondang Kolombia, Juan Manuel Roca, kini sering melamun di Casa dan menghadiri pertemuan sastrawinya. Penyair dan aktivis budaya Maria Mercedes Carranza, yang turut menyusun rancangan UUD modern Kolombia, datang kemari hingga ia mengakhiri hidupnya dengan segenggam pil pada 2003.

Seorang pelayan menghantar makanan pembuka berupa jagung asin panggang bernama cancha tostada. Sajian di sini bercita rasa Peru; saya baru tersadar, di La Candelaria, pe­mutakhiran tidak selalu berbau Eropa.

Ketika sajian utama kami datang—direndam dalam air jeruk nipis, daun ketumbar, dan bawang bombay—pelayan meninggalkan sesuatu yang lain: saus aji asam-kental-pedas yang sarat bawang putih. Terkena sedikit saja lidah saya seakan terbakar. Saya menuangkannya banyak-banyak di atas boga laut.

Band mulai mengalunkan salsa cubana; musik yang menggoda separuh pengunjung yang belum mabuk untuk melantai. Meski mulut ini serasa terbakar, saya tak bisa mengalihkan pandangan dari pasangan yang tengah berdansa di sebelah kami. Si wanita berputar dengan lincah, dipadu langkah luwes nan mantap dari pasangannya. “Pasangannya menari lebih cepat dari ritme,” Navas berkomentar. “Mereka tidak kompak.” Ia menggeleng.

Terdorong oleh perasaan impulsif—akhirnya, seperti orang Bogota—saya memutuskan untuk turun ke lantai dansa.