Semerbak Kembang Kyoto

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 10:00 WIB

Memakai bedak putih dan gincu berwarna merah, Kyouka dan Sayaka berjalan lincah di antara deretan ochaya (kedai minum teh) di Gion, Kyoto. Kyouka mengenakan kimono berwarna ungu, sedangkan Sayaka memakai kimono cerah berwarna biru. Alas kaki mereka berupa bakiak okobo setinggi lima sentimeter.

Kehadiran dua geisha itu mencuri perhatian wisatawan. “Geisha, Geisha, please stop!” teriak salah satu turis meminta mereka berhenti melangkah. Turis itu mengancung-ngancungkan kamera poket, meminta izin memotret. Bukannya berhenti, Kyouka dan Sayaka malah mempercepat langkah mereka.

Dua geisha itu berjalan di antara puluhan wisatawan yang gemas ingin mengabadikan kecantikan dan keunikan penampilan mereka melalui foto dan video. Meski Kyouka dan Sayaka enggan berhenti, puluhan turis yang datang dari berbagai negara tetap memborbardir dua perempuan itu dengan jepretan kamera. Lampu kilat menyala, menyorot wajah geisha yang gugup dan panik.

 “Saya tidak mau berhenti. Saya malu. Saya tidak cantik,” ujar Kyouka dalam bahasa Jepang.

Kyouka terus melangkah, meninggalkan para wisawatan. Sayaka, yang berjalan di belakang Kyouka, tersenyum malu-malu. Dia menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Keduanya lalu menyeberangi zebra cross dan melesat masuk ke dalam salah satu ochaya di seberang Jalan Hanamikoji, Gion, Kyoto.

Saat dua geisha itu berjalan, sekitar dua tahun lalu, langit mendung. Gerimis turun membasahi jalan. Aroma tanah dan daun basah menyeruak. Sejumlah wisatawan yang berhasil mengambil foto geisha bersorak kegirangan. Mereka saling memamerkan foto geisha. Lalu, para wisatawan itu kembali bergerombol di hanamachi (distrik tempat tinggal geisha), menunggu geisha lain melintas.

Geisha berasal dari kata “gei” yang berarti seni atau pertunjukan, dan “sha” yang berarti orang. Jadi, geisha berarti “orang seni” atau orang yang mengabdikan dirinya pada kesenian dan ketrampilan untuk menghibur. 

Nama lain untuk geisha adalah geiko, yang biasanya dipakai untuk menyebut geisha yang berasal dari Jepang Barat, seperti Kyoto. Geisha magang disebut maiko, yang berarti “anak tari” atau hangyoku yang berarti “setengah-permata”. Di Kyoto, usia maiko biasanya 12-20 tahun, sedangkan geiko biasanya berusia di atas 20 tahun.

Secara historis, geisha sudah muncul di Jepang pada abad ke-16 dan ke-17. Sejak usia dini, calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat. Pada awal kemunculannya, Geisha mulai berlatih pada usia sangat muda—3 atau 5 tahun.

Meski jumlahnya tidak sebanyak dulu, namun profesi geisha masih eksis hingga kini. Seiring berjalannya waktu, profesi geisha kerap disalahartikan dalam konotasi negatif, yaitu berkaitan dengan prostitusi. Mitos ini terbentuk sejak zaman masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang.

Tugas utama geisha sebenarnya adalah menemani para tamu (biasanya saat perjamuan makan), terlibat perbincangan dengan tamu, menuangkan sake dan memastikan agar gelas sake tidak pernah kosong, dan menghibur para tamu dengan melakukan pertunjukan seni. Karena seabrek tugasnya itulah seorang geisha dituntut supel, berwawasan luas, dan terampil dalam berkesenian.

Profesi geisha kembali mencuri perhatian publik setelah buku berjudul “Memoirs of Geisha” karangan Arthur Golden, terbit pada 1997. Buku itu bercerita tentang Sayuri, seorang anak dengan mata biru-kelabu yang memesona. Sayuri berasal dari keluarga nelayan miskin. Ayahnya menjual Sayuri ke sebuah rumah geisha untuk bekerja sebagai pelayan. Awalnya Sayuri ingin melarikan diri dari rumah itu, namun nasib berkata lain. Mameha, geisha professional, mendidik Sayuri.

Miho San (50), ibu dengan lima anak yang tinggal di Gion mengatakan, kisah Sayuri tidak mewakili kehidupan Geisha secara keseluruhan. “Banyak juga orang yang tidak miskin yang memang bercita-cita jadi geisha,” kata dia.