Anggara Rimba Semenanjung Kampar

By , Rabu, 3 Februari 2016 | 20:11 WIB

“Jadi bukan melulu berdasarkan anggapan bahwa kawasan gambut ini kaya keragaman hayati, tapi anggapan itulah yang coba kami buktikan,”tandas Iqbal.

Keragaman jenis kucing di kawasan gambut ini dikisahkan kembali oleh Safrina Ayu Trisnawati yang sempat tiga kali berpapasan dengan Harimau Sumatra.

Saya bertemu Safrina disela kesibukannya menyusun ulang kamera-kamera jebak dari lapangan sekembalinya saya dari penjelalahan di Sungai Serkap.  Safrina merupakan kordinator untuk tim kamera jebak.  Dia dan timnya sudah memasang setidaknya 225 titik kamera jebak di kawasan RER.

“Kami tiga kali berjumpa langusung dengan harimau,” kisahnya.

Perjumpaan pertama sekitar bulan April 2015, dua bulan setelah dia bergabung dengan tim FFI.  Dia mengisahkan saat itu bersama tim kamera jebak berada dalam mobil.  Tiba-tiba harimau keluar dari semak dan mengibaskan tubuhnya yang basah ditengah jalan.  “Terang saja mobil berhenti, kami menunggu harimau berlalu,” katanya.

Pada Juni 2015, dia kembali melihat harimau melintas saat memasang kamera jebak di dalam hutan.  “Kami harus menginap di tempat tidur gantung di atas pohon usai memasang kamera jebak,” imbuhnya.

Pertemuan ketiganya dengan harimau terjadi dekat lokasi perumahan RER di Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, Riau.Pertemuan ini menandakan harimau sebagai predator utama di kawasan RER masih bisa hidup. !break!

Di dalam hutan, saya masih menjumpai jejak babi sebagai mangsa utama.  Jejak babi ditandai dengan dua kuku depan yang menancap dalam ke tanah.  Selain itu, keyakinan saya diperkuat karena ditemukan banyak jejak yang menandakan babi hidup dalam kelompok besar.

“Jika rusa atau kambing hutan, jejaknya tentu tak sebanyak ini,” kata Iqbal.

Seekor raja udang bertengger di dahan yang menjorok ke sungai ketika saya melintas Sungai Serkap menuju hilir.  Saya meminta mesin tinting dimatikan agar tak mengganggu si raja udang.  Tinting yang membawa kami hanyut dibawah ranting dimana si raja udah berada.  Burung itu tak bergerak, matanya menatap lurus kedepan.

Saya mulai curiga, mungkin burung ini sedang mengintai makanan.  Kami meghentikan laju tinting lalu menunggu. Tapi tak berapa kejap, si raja udang bergerak cepat lalu menukik kedalam air.  Kejadian yang begitu tiba-tiba sehingga saya tak sempat lagi menyetel tombol kecepatan tinggi di kamera yang berada di tangan saya.  Mungkin saya belum beruntung.

Penyesalan saya terobati karena teriakan si raja udang terdengar keras.  Sayangnya pada perburuan pertama itu dia luput.  Ikan tak menyangkut di paruhnya yang besar itu.  Burung itu terus berteriak dan berlalu.  Seketika itu pula saya dirundung rasa bersalah.  Mungkin saja kehadiran kami merubah peruntungan si raja udang.

Di tasik yang agak kecil, kerindangan pohon menutupi cahaya matahari.  Suasana terasa lebih sejuk ketika kami memutuskan berhenti untuk rehat siang dari perjalanan pajang menyisir kawasan RER itu.  Saya bercakap-cakap pelan dengan Iqbal dan Donny.  Takut kegaduhan kami kembali merubah peruntungan satwa yang ada di sekitar tasik.

Saya menikmati secangkir kopi hangat yang kami masak diatas tinting.  Air gambut yang cokelat berubah warna menjadi kehitaman lantaran diseduh dengan bubuk kopi.  Kemewahan ini segera akan berakhir saat kemi memutuskan untuk kembali ke hilir.  Tapi kami membiarkan waktu berjalan cepat hingga tak terasa matahari sudah condong. 

Bayangan pepohonan sudah miring. Kembali kami harus dihukum waktu untuk segera kembali jika tak mau bermalam di jalan.  Kawasan rawa gambut menyisakan keheningan yang sudah mulai akrab di pikiran saya, tapi tugas kami belum selesai.  Menjaganya agar tetap lestari adalah pekerjaan rumah yang tidak sebentar.