Candi Tepi Batanghari

By , Kamis, 31 Maret 2016 | 12:15 WIB

Candi-candi di sini lebih banyak pengunjung karena lokasinya yang dekat dengan pintu masuk utama, banyak pengunjung yang naik ke atas candi, sehingga harus mendapat perhatian khusus.

Saya tidak sempat mengunjungi Candi Tinggi I, Candi Kembar Batu dan Candi Astano di Kawasan percandian Muarajambi mempunyai luas 2.612 hektare ini. Di kawasan ini ditemukan 112 objek arkeologi, terdiri dari 82 reruntuhan bangunan kuno atau menapo begitu masyarakat lokal menyebutnya, delapan di antaranya telah dibuka dan dilakukan penanganan pelestarian secara intensif.

Tinggalan arkeologi lainnya berupa kolam-kolam dan kanal-kanal kuno dengan aliran yang mengelilingi kawasan percandian dan menghubungkan antara bangunan yang satu dengan yang lain. Selain itu, juga menghubungkan Bukit Perak atau Bukit Sengalo.

Saat kami beristirahat tiba-tiba, datang seorang pria asing dengan pakaian bersepeda lengkap. “Anda ke sini bersepeda?” seorang kawan bertanya padanya. “Ya, saya menggunakan Unicycle, sepeda roda satu.” Saya hanya bisa melongo saat mendengar jawabannya. Nama pria ini Serge Landry, warga negara Prancis yang bekerja di Singapura. Memang hanya bersepeda dari Kota Jambi, tetapi jenis sepeda yang digunakannya membuat saya terpukau.

Setelah memperagakan cara menggunakan sepeda roda satunya, ia bercerita sebelumnya pernah juga bersepeda ke Candi Borobudur dan Angkor Wat, tetapi menggunakan sepeda roda dua. “Kenapa Anda suka sekali mengunjungi candi-candi ini?” saya bertanya. Jawabannya, “Saya suka sekali itu.” Sambil tangannya menunjuk ke kumpulan stupa yang ada di dekat gedung koleksi.

Ia memang sering liburan ke Indonesia, bukan hanya untuk bersepeda, juga mendaki gunung dan menyelam.

“Kenapa liburan ke Indonesia?”

“Cuma turis biasa saja yang tidak kenal Indonesia,” ia menjawab lugas.

“Ini kado terindah pada pagi hari ini, saya selalu senang jika ada yang berkunjung ke museum” ujar Eni Suhartaty yang merupakan kepala Museum Siginjai, dahulu bernama Museum Negeri Jambi, saat menyambut kedatangan kami pada Minggu pagi. Sebelum melihat koleksi yang ada di museum, kami diajak ke sebuah studio mini yang memutar film berdurasi 15 menit, yang bercerita tentang sejarah Provinsi Jambi.

Museum ini mempunyai koleksi arkeologika berupa temuan di sekitar kompleks percandian Muarajambi seperti gong bertuliskan aksara kuno Cina dan fragmen tangan, dan arca Avalokitesvara berlapis emas yang ditemukan di Rantau Kapas Tuo, Kabupaten Batanghari. Selain itu terdapat koleksi filologika, geologika, biologika. Di lantai dua museum ini terdapat koleksi etnografika seperti amben, pelaminan, tempat tidur, pakaian adat, dan kerajinan tenun.

Menuju seberang kota Jambi, yang merupakan kawasan masyarakat asli Jambi yang masih mempertahankan nilai-nilai luhur dan budaya asli Jambi. Di sini, terdapat sentra kerajinan Batik khas Jambi. Batik jambi dipengaruhi oleh budaya dari Jawa dan Cina. Motif batik jambi biasanya flora, fauna, dan kapal laut. Salah satu motif khasnya adalah angsa duo. “Kenapa angsa duo? Karena angsa itu hewan yang setia, tetapi kalau sendiri setia sama siapa?” ucap bapak pemilik toko sekaligus perajin batik sambil mengurai senyum.

Kami juga berkunjung ke Madrasah Nurul Iman, bangunan lembaga pendidikan Islam formal tertua di Jambi ini berdiri sejak 1915. Di belakangnya terdapat rumah-rumah panggung khas Jambi.

Saat menuju kembali ke Jakarta, saya melihat kehebohan di media sosial tentang ricuhnya Perayaan Waisak di Candi Borobudur, tentang gangguan-gangguan yang terjadi terhadap saudara-saudara kita yang sedang beribadah.

Saya bersyukur, di Kawasan Percandian Muarajambi tidak ada perayaan Waisak, karena bisa saja saya mengganggu baik sengaja atau tidak sengaja. Pada akhirnya, saya cukup senang bisa berkunjung ke sebuah universitas Buddhis Internasional di masa lampau, harta karun tak ternilai milik bangsa ini.