Candi Tepi Batanghari

By , Kamis, 31 Maret 2016 | 12:15 WIB

Dari kejauhan, daerah itu begitu rimbun oleh pepohonan. Rerumputan menghijau menjadi penutup sejuk permukaan tanah. Pepohonan dengan diameter batang yang besar tumbuh subur di sana-sini. Ada yang berjenis pohon kayu, ada pula penghasil buah-buahan yang kita kenali dengan mudah, seperti durian, duku, dan mangga. Pepohonan dengan pokok besar, seperti sialang—menjulang ke angkasa, memagari kawasan ini.

Tidak! Saya tidak akan menjelajahi rimba raya. Perjalanan kali ini justru diisi dengan agenda lawatan sejarah dan budaya atas kemegahan leluhur kita pada masa silam. Bersama sekelompok pejalan yang tergabung dalam Cultural Trip to Muarojambi yang digagas oleh Gelar (organisasi usaha yang bergerak dalam bidang pelestarian budaya Indonesia), saya menyusuri kompleks candi yang berada di tepi Batanghari, Jambi.

Membentang pada kawasan sepanjang 7,5 kilometer dengan lebar 250-400 meter, situs Muarajambi telah terbukti menyimpan tujuh kompleks candi (Astano, Tinggi, Gumpung, Kembarbatu, Kedaton, Gedong I dan Gedong II, serta Kotomahligai). Menurut Junus Satrio Atmadjo, arkeolog senior Indonesia, sejak 1985 tim arkeologi Indonesia telah berhasil memugar seluruh candi itu. Tempat ini unik, seluruh bangunan yang ditemukan berbahan dasar bata atau terakota. Hal ini berbeda dengan candi yang ditemukan di Tanah Jawa, yang terbuat dari batu. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi telah mencatat sebanyak 83 tinggalan arkeologi, termasuk menapo—gundukan tanah yang berisi struktur bata, pada kawasan itu.

Junus, yang pernah menuliskan kisah penemuan kompleks di National Geographic Indonesia pada 2005, mengisahkan betapa beratnya upaya pemugaran situs Muarajambi sekitar 29 tahun silam. Ketika itu, Junus membantu Mundardjito, profesor arkeologi dari Universitas Indonesia, dan tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hingga kini, kegiatan penelitian terus dikerjakan oleh para ahli. Di tengah ancaman kehancuran alami dan berbagai aktivitas manusia, situs Muarajambi menunggu pelestarian di masa depan.

Muarajambi adalah salah satu keping teka-teki sejarah peradaban Sumatra pada masa Hindu-Buddha—bahkan bagian dari sejarah kawasan Asia Tenggara. Masyarakat zaman dahulu yang mendiami pesisir Batanghari telah memiliki hubungan dagang dengan dunia internasional. Temuan-temuan artefak yang datang dari berbagai wilayah akan menjelaskan teori ini.

Keramik-keramik asal Cina dalam bentuk mangkuk, pasu, kendi, vas, cepuk, botol, atau guci. Sebagian besar benda itu berasal dari masa Dinasti Sung abad XI-XIII. Temuan berumur lebih tua dari masa Tang abad IX-X juga ada walau tak banyak jumlahnya. Begitu pula keramik Vietnam, Thailand, dan Khmer dari masa yang lebih muda antara abad XIV-XVI. Potongan-potongan botol kaca berwana biru, kuning kecokelatan, atau hijau kekuningan ditemukan di antara pecahan-pecahan keramik. Asalnya diperkirakan dari Persia atau Iran pada masa sekarang.

Junus juga menceritakan tentang makna dari bentuk-bentuk stupa serta arca yang ditemukan pada candi. Benda-benda itu menjelaskan kehidupan religi kerajaan Melayu yang ada pada saat itu. Penemuan benda-benda pemujaan di dasar bangunan induk Candi Gumpung bahkan memberikan informasi yang lebih jelas. Pembongkaran struktur dalam bangunan paling suci ini awal tahun 1980-an menghasilkan penemuan lubang-lubang persegi berisikan benda-benda pemujaan.

Setiap lubang berisi lempeng emas kecil dengan nama-nama dewa yang dimulai dengan awalan “wajra” atau “bajra” dan rubies berukuran kecil-kecil dengan jumlah yang tak sama. Menurut Junus dalam pemaparannya, lubang-lubang itu disusun menurut arah mata angin menggambarkan sistem mandala dalam Buddha di mana setiap kotak dianggap mewakili kedudukan seorang atau beberapa dewa tertentu. Misalnya “wajraratna” di tengah, “wajrasatwa” di timur, “bajrasphota” di barat, atau “wajraraksa” di selatan. Sistem ini dalam Buddha disebut wajradatu mandala dari tradisi Mahayana Buddhisme aliran Tantrayana.

Junus juga pernah menyebutkan bahwa tak semua candi dapat diteliti secara demikian karena harus membongkar seluruh struktur bangunan sebelum dapat menemukan lubang-lubang semacam itu. Para arkeolog masih menganggap bahwa pembongkaran total bangunan bata sampai ke dasar bangunan berisiko besar menghasilkan kerusakan yang lebih parah. Pemindaian peninggalan-peninggalan di dalam bangunan itu mungkin baru akan dilakukan setelah diperoleh teknologi baru yang dapat melihat ke dalam tanpa merusak struktur. Untuk sementara informasi yang diperoleh dari Candi Gumpung sudah dianggap cukup, namun masih terbuka kemungkinan untuk menemukan bangunan-bangunan yang lebih tua usianya di masa depan.

Muarajambi juga sempat mengejutkan Junus dan arkeolog lainnya. Dalam aliran Tantrayana, kata Junus, arca-arca penjaga pintu candi menampilkan kesan menyeramkan namun sebuah arca yang ditemukan tahun 2005 di Candi Gedong I justru memperlihatkan keramahan. Bibir arca yang seharusnya menyeringai digantikan oleh senyum. Tak ada taring keluar dari bibir itu, seolah sang tokoh bukanlah raksasa tetapi manusia biasa.

Rombongan kami melewati jembatan kayu yang masih terlihat baru, jembatan sepanjang hampir 50 meter ini membentang di atas kanal kuno. “Kanal kuno ini dibuat mengelilingi kompleks percandian ini," ucap Abdul Hafiz, pemandu yang menemani rombongan kami berkeliling.

Tidak lama setelah melewati jembatan, kami melihat tumpukan bata berwarna kecokelatan dan diselimuti lumut yang memanjang dan sudah tidak beraturan. “Ini pagar paling luar dari Candi Kutomahligai,” ujar pria yang akrab disapa Ahok ini.

Kondisi bangunan Candi Kutomahligai sudah tidak berbentuk lagi, hanya berupa tumpukan batu bata yang sudah berlumut, bahkan sudah banyak pohon yang tumbuh di atas tumpukan batu bata ini. Ahok sempat menggambarkan denah candi ini, ia mengatakan bahwa di sekitar candi ditemukan ruangan-ruangan, namun belum diketahui fungsinya.

Sebelum kami meninggalkan candi ini, Ahok menebarkan bunga, kemudian membakar hio di salah satu sudut candi. “Ada titipan doa dari Jakarta,” ia menjawab keheranan saya.

Candi Kotomahligai terletak di bagian paling barat Kawasan Percandian Muarajambi. Kawasan peninggalan kerajaan Melayu kuno yang berlatar belakang kebudayaan agama Buddha Mahayana ini berjarak 40 kilometer di timur Kota Jambi. Itu sebabnya kami terlebih dahulu menyinggahi Candi Kutomahligai.

Dari Candi Kotomahligai, kami menuju pintu masuk utama Kawasan Percandian Muarajambi. Untuk mengelilingi kawasan ini kami menggunakan sepeda yang banyak disewakan di depan pintu masuk kawasan candi.

Candi pertama yang kami tuju adalah Candi Gedong I yang berada di barat pintu masuk kawasan, melewati jalan konblok yang di beberapa bagian sudah rusak, kami harus hati-hati, salah-salah bisa terperosok ke luar jalan. Ini yang terjadi pada seorang anggota rombongan kami dan dua orang pelajar SMP. Apalagi bila berpapasan dengan pengendara sepeda atau pengendara motor. Juga harus hati-hati saat melewati jembatan yang melintas di atas kanal kuna, karena tidak ada pengaman di bagian sisinya.

Setelah 20 menit bersepeda, tibalah kami di Candi Gedong I yang berdiri di atas lahan seluas 5.525 meter persegi, terdiri dari dua bangunan yaitu candi induk dan gapura yang berada di sebelah Timur. Setelah melewati gapura, Ahok memperlihatkan pecahan keramik ke kami. “Ini pecahan keramik peninggalan Dinasti Sung,” ujar Ahok. “Selain itu, di sini ditemukan pula pecahan genteng dan kaca kuno.”

Lokasi Candi Gedong II di sebelah barat Candi Gedong I. Gapura candi ini berhasil direkonstruksi hingga ketinggian 5,2 meter. Bagian dalamnya terdapat bangunan induk dan dua perwara. Candi perwara I di sebelah timur candi induk, candi perwara II di sebelah selatan candi induk.

Di sini, Ahok bercerita kalau banyak sekali biksu dari negara tetangga, seperti Thailand, Kamboja, dan Tibet yang mengunjungi Kawasan Percandian Muarajambi, malah ada pula yang bermalam di rumahnya, yang berada di desa sekitar kawasan ini.

“Ini foto minggu lalu, saat perayaan Hari Raya Waisak di sini,” Ahok menunjukkan foto para biksu sedang beribadah di depan Candi Gumpung yang ada di telepon selularnya. Saya baru ingat kalau hari ini adalah Hari Raya Waisak, dan pada hari ini Perayaan Hari Raya Waisak dipusatkan di Candi Borobudur. Sebenarnya ada rasa kecewa karena tidak bisa melihat Perayaan Hari Raya Waisak ini.

Kami melanjutkan bersepeda ke Candi Kedaton yang berada di sebelah Barat Candi Gedong II. Letak Candi Kedaton cukup jauh, dari belakang sempat ada yang bertanya kepada saya yang bersepeda paling depan,  “Kita nggak salah jalan, kan?” Karena jalan konblok sudah berganti jalan tanah. Tetapi tidak beberapa lama, kami sampai juga di Candi Kedaton.

Pada gapura Candi Kedaton ditemukan tiga buah makara yang terbuat dari batu andesit, pada salah satu makaranya terdapat tulisan “pamursitanira mpu kusuma” yang ditulis dalam bahasa dan aksara jawa kuno, arti tulisan itu “tempat mengheningkan ciptanya Mpu Kusuma.” Tiga tangga paling bawah gapura ini dibuat dari batu andesit.

Candi induk berada di sebelah selatan gapura, mempunyai luas 28,13 x 25,5 meter. Di dalam candi diisi batu kerakal berwarna putih, merupakan hal yang unik karena di candi lain struktur bata isian memakai bata. Di utara candi terdapat perwara dan padmasana atau dudukan arca. “Coba geser batu itu,” Ahok menatang kami untuk menggeser padmasana. “Nggak bisa, kan? Menurut penduduk sini, padmasana ini sering berpindah-pindah tempat sendiri.” Kompleks Candi Kedaton merupakan bangunan yang paling besar dan luas di antara kompleks candi di Muarajambi.

Di Gedung Koleksi Kawasan Percandian Muarajambi, kami melihat temuan dari kompleks-kompleks candi yang ada di Kawasan Percandian Muarajambi yang disimpan di Gedung ini. Sambil beristirahat tidak terasa waktu sudah sore, tetapi saya masih sempatkan berkeliling ke situs yang dekat dengan gedung koleksi ini dengan berjalan kaki, yaitu Candi Gumpung, Candi Tinggi II dan Kolam Telago Rajo.

Candi-candi di sini lebih banyak pengunjung karena lokasinya yang dekat dengan pintu masuk utama, banyak pengunjung yang naik ke atas candi, sehingga harus mendapat perhatian khusus.

Saya tidak sempat mengunjungi Candi Tinggi I, Candi Kembar Batu dan Candi Astano di Kawasan percandian Muarajambi mempunyai luas 2.612 hektare ini. Di kawasan ini ditemukan 112 objek arkeologi, terdiri dari 82 reruntuhan bangunan kuno atau menapo begitu masyarakat lokal menyebutnya, delapan di antaranya telah dibuka dan dilakukan penanganan pelestarian secara intensif.

Tinggalan arkeologi lainnya berupa kolam-kolam dan kanal-kanal kuno dengan aliran yang mengelilingi kawasan percandian dan menghubungkan antara bangunan yang satu dengan yang lain. Selain itu, juga menghubungkan Bukit Perak atau Bukit Sengalo.

Saat kami beristirahat tiba-tiba, datang seorang pria asing dengan pakaian bersepeda lengkap. “Anda ke sini bersepeda?” seorang kawan bertanya padanya. “Ya, saya menggunakan Unicycle, sepeda roda satu.” Saya hanya bisa melongo saat mendengar jawabannya. Nama pria ini Serge Landry, warga negara Prancis yang bekerja di Singapura. Memang hanya bersepeda dari Kota Jambi, tetapi jenis sepeda yang digunakannya membuat saya terpukau.

Setelah memperagakan cara menggunakan sepeda roda satunya, ia bercerita sebelumnya pernah juga bersepeda ke Candi Borobudur dan Angkor Wat, tetapi menggunakan sepeda roda dua. “Kenapa Anda suka sekali mengunjungi candi-candi ini?” saya bertanya. Jawabannya, “Saya suka sekali itu.” Sambil tangannya menunjuk ke kumpulan stupa yang ada di dekat gedung koleksi.

Ia memang sering liburan ke Indonesia, bukan hanya untuk bersepeda, juga mendaki gunung dan menyelam.

“Kenapa liburan ke Indonesia?”

“Cuma turis biasa saja yang tidak kenal Indonesia,” ia menjawab lugas.

“Ini kado terindah pada pagi hari ini, saya selalu senang jika ada yang berkunjung ke museum” ujar Eni Suhartaty yang merupakan kepala Museum Siginjai, dahulu bernama Museum Negeri Jambi, saat menyambut kedatangan kami pada Minggu pagi. Sebelum melihat koleksi yang ada di museum, kami diajak ke sebuah studio mini yang memutar film berdurasi 15 menit, yang bercerita tentang sejarah Provinsi Jambi.

Museum ini mempunyai koleksi arkeologika berupa temuan di sekitar kompleks percandian Muarajambi seperti gong bertuliskan aksara kuno Cina dan fragmen tangan, dan arca Avalokitesvara berlapis emas yang ditemukan di Rantau Kapas Tuo, Kabupaten Batanghari. Selain itu terdapat koleksi filologika, geologika, biologika. Di lantai dua museum ini terdapat koleksi etnografika seperti amben, pelaminan, tempat tidur, pakaian adat, dan kerajinan tenun.

Menuju seberang kota Jambi, yang merupakan kawasan masyarakat asli Jambi yang masih mempertahankan nilai-nilai luhur dan budaya asli Jambi. Di sini, terdapat sentra kerajinan Batik khas Jambi. Batik jambi dipengaruhi oleh budaya dari Jawa dan Cina. Motif batik jambi biasanya flora, fauna, dan kapal laut. Salah satu motif khasnya adalah angsa duo. “Kenapa angsa duo? Karena angsa itu hewan yang setia, tetapi kalau sendiri setia sama siapa?” ucap bapak pemilik toko sekaligus perajin batik sambil mengurai senyum.

Kami juga berkunjung ke Madrasah Nurul Iman, bangunan lembaga pendidikan Islam formal tertua di Jambi ini berdiri sejak 1915. Di belakangnya terdapat rumah-rumah panggung khas Jambi.

Saat menuju kembali ke Jakarta, saya melihat kehebohan di media sosial tentang ricuhnya Perayaan Waisak di Candi Borobudur, tentang gangguan-gangguan yang terjadi terhadap saudara-saudara kita yang sedang beribadah.

Saya bersyukur, di Kawasan Percandian Muarajambi tidak ada perayaan Waisak, karena bisa saja saya mengganggu baik sengaja atau tidak sengaja. Pada akhirnya, saya cukup senang bisa berkunjung ke sebuah universitas Buddhis Internasional di masa lampau, harta karun tak ternilai milik bangsa ini.