Dunia Para Roh

By , Jumat, 15 April 2016 | 17:00 WIB

Anai kakai sikola, oni nia patas

Ta pa moi nu ake kakai paroman….       

Anak-anak itu menyanyikan potongan syair lagu begitu bersemangat. Mereka memang tidak memedulikan nada, tetapi membuat saya terkesan. Di samping saya, Fernando menerjemahkan syair itu sembari berbisik.

“Kami punya sekolah, namanya Patas.

Bisa tidak beri kami bantuan?”

Saya terhenyak saat mendapati makna potongan syair itu. Betapa tidak, bagi saya, perjalanan ke sekolah dasar bukanlah perkara sulit. Dahulu sewaktu sekolah, saya selalu diantar oleh Bapak. Kami naik motor melintasi aspal mulus Ibu Kota.

Namun, apa yang saya temui di sini, sangatlah berbeda dengan sewaktu saya bersekolah dulu–sekitar dua puluh tahun silam. Saya mengikuti anak-anak itu melintasi beragam medan. Awalnya, tanah keras yang menyenangkan sepatu, tapi kelamaan berubah  menjadi lumpur yang menjebak dan mampu memutuskan tali sandal teman saya.

Sementara saya berjuang melewati lumpur, beberapa anak berjalan gesit. Tanpa alas kaki, mereka seperti tak kesulitan menaklukkan medan sembari memegang buku tulis.

Saya akhirnya mencapai sekolah hutan itu. Jalur berlumpur itu memang berhasil saya lewati, tetapi sepatu saya telah basah. Ada lumpur yang menelusup ke dalam kaos kaki, lantaran saya sempat beberapa kali terperosok. Inilah yang membuat saya merasa kalah cekatan dengan anak-anak sekolah hutan itu.

Pengalaman saya mengikuti anak-anak pergi ke sekolah hutan telah membuka mata dan pikiran. Saat teknologi telah berkembang pesat di luar sana, saya masih menemukan kehidupan anak-anak yang berjuang menuju sekolahnya di salah satu sudut Nusantara. Wajar saja, mereka menyanyikan potongan syair lagu itu saat mendapatkan kunjungan dari para pendatang—seperti saya.

Beratapkan daun sagu dengan pembatas dinding dan lantai dari kayu tropis, bangunan sekolah hutan itu lebih mirip pondok. Hanya ada dua ruangan di sini. Sekolah hanya menampung kelas satu dan dua, yang menempati masing-masing ruangan itu.

Sekolah di dalam rimba raya tropis itu telah ada sejak sepuluh tahun silam. Pastur Pio, rohaniawan berkewarganegaraan Italia, berinisiatif mendirikan sekolah atas bantuan dari berbagai pihak.

Nama resminya Sekolah Patas (Parurukat Toga Sikerei Butui) tertulis di sebuah papan yang digantung di atas pintu masuknya. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai sekolah hutan, lantaran berada di tengah hutan alam tropis yang unik. Di sinilah saat ini saya berada, di Dusun Butui, bagian dari Desa Madobak yang termasuk Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut di Sumatra Barat.