Di bagian depan kelas terdapat papan tulis kayu yang dicat hitam. Ruang kelas satu tak berbangku. Seluruh murid melantai sembari membuka buku tulis seadanya. Sementara, ruangan kelas dua memiliki satu meja dan bangku panjang–yang menjadi tempat duduk lima murid. Setiap anak hanya punya satu buku tulis dan satu pensil.
Saya yang terbiasa hidup di lingkungan hutan beton Ibu Kota merasa senang berkunjung ke sekolah hutan. Berdiri di tanah lapang yang dikelilingi hutan lebat dengan bunyi ngengat di siang hari, dan gemericik sungai jernih berair dingin dengan udara hutan yang begitu segar. Tempat bermain yang sempurna!
Fernando, pemuda ramah yang berusia 28 tahun. Dengan latar belakang sebagai tamatan Sekolah Menengah Pertama, ia menjadi pengajar sekolah. Sebetulnya, ia pengajar pengganti setelah guru yang sebelumnya tidak bertahan lama dan tidak ada pengganti hingga satu tahun.
Saya mendengarkan penjelasan Fernando tentang sekolah hutan. Meski bukan sekolah formal, tempat ini mempersiapkan anak-anak agar mampu baca, tulis, dan berhitung. Sekolah formal berada di Dusun Ugai –jaraknya sekitar dua jam berjalan kaki dari sini. Di sana pun, hanya sampai tingkat SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak harus pergi ke muara.
Saat saya datang, murid kelas satu hanya ada 19 anak. Kalau seluruhnya hadir tercatat 28 murid. Seluruh siswa kelas dua hadir: lima murid. “Saya masih mensyukuri, lah masih sekolah ini, kemarin waktu dulu bapak-bapak itu, si besar-besar saya (maksudnya: orang yang dituakan) baca tulis, membuat namapun tidak bisa,” kata Fernando. Ia memaklumi jika tidak semua anak dapat hadir setiap hari. Biasanya, si anak membantu orangtua bekerja di ladang.
Mengajar untuk dua kelas sekaligus membuat Fernando kewalahan. Bolak-balik dari ruangan kelas satu ke kelas dua. Jika di kelas dua suasananya tenang karena hanya terdiri dari lima murid, beda halnya di kelas satu apalagi kedatangan kami dengan kamera menarik perhatian mereka. Membaca situasi itu Fernando pun memperbolehkan saya memotret mereka. Kami mengakhirinya dengan memotret seluruh siswa bersama Fernando untuk foto kelas sebagai kenang-kenangan.
Saya datang tidak sendiri ke sekolah hutan. Ada sejumlah rekan-rekan dari Jakarta. Kami datang untuk memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Inilah kesempatan saya menelisik kehidupan gugusan pulau yang berbataskan Samudra Hindia, yang masih memiliki hutan hujan tropis yang unik.
Kami beranjak dari sekolah hutan dan menyusuri anak sungai. Tujuan kami: uma, tempat menginap pada malam sebelumnya. Uma adalah penyebutan untuk rumah adat masyarakat di Kepulauan Mentawai. Fungsinya, kira-kira tak berbeda dengan rumah panjang Suku Dayak di Pulau Kalimantan. Ada keluarga besar di dalamnya.
Penamaan uma biasanya sesuai dengan nama suku pemilik rumah adat itu. Namun ada yang penamaannya sesuai dengan posisi geografis uma, bahkan jenis kayu yang mendominasi bangunan tersebut. Meski begitu tidak semua keluarga tinggal di dalam uma, mereka memiliki istilah rusuk. Artinya, bagi penghuni yang sudah berkeluarga tinggal terpisah di rumah sendiri –jaraknya tidak jauh dari rumah adat.
Saya menginap di Uma Salakkirat–yang dinamakan sesuai dengan nama sukunya di Dusun Butui. Untuk mencapainya, saya harus menempuh perjalanan empat hingga lima jam melalui perahu bermesin tempel dari muara di daerah Manaikoat. Alternatif lainnya, menggunakan sepeda motor melalui jalan setapak yang sudah dilapisi adukan beton dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam.
Uma Salakkirat cukup besar, bahkan sangat besar sehingga bisa menampung rombongan kami dan beberapa keluarga penghuninya. Lantainya terbuat dari potongan kayu yang tidak dipaku, namun kokoh saat diinjak meski terkadang terdengar bunyi berderit. Konstruksinya sungguh mengagumkan, sama sekali tidak menggunakan paku hanya memakai teknik ikat, tusuk dan sambung.
Bagian depannya merupakan ruangan terbuka yang tidak berdinding, sebagai tempat untuk bersantai, tempat berdiskusi, membuat tato, dan tempat melantunkan nyanyian. Di langit-langitnya dihiasi ratusan tengkorak babi hutan hasil ternak serta beberapa tempurung penyu yang dibeli dari nelayan dari muara. Tengkorak- tengkorak ini sengaja dipajang karena kepercayaan agar binatang ternak tetap ada. Bagian tengah Uma terdapat sebuah perapian yang biasanya dipakai sebagai tempat memasak, penghangat di malam hari dan juga lokasi untuk melakukan ritual menginjak bara api. Di langit-langitnya juga dipajang tengkorak monyet, babi hutan, dan beberapa jenis burung. Bedanya tengkorak- tengkorak yang dipajang di bagian tengah merupakan hasil buruan. Dan di bagian uma paling belakang merupakan ruangan yang cukup besar yang berfungsi sebagai tempat mengadakan musyawarah, dan kegiatan adat, serta tempat untuk tidur bagi kaum wanita.