Dunia Para Roh

By , Jumat, 15 April 2016 | 17:00 WIB

Uma Salakkirat berlokasi di dekat sungai yang merupakan terusan dari sungai yang ada di samping sekolah hutan. Berair dingin dan tampak begitu jernih, dikelilingi hutan Butui yang lebat. Ini tempat mandi saya selama dua hari dengan pemandangan yang menakjubkan.

Awalnya memang kagok untuk mengikuti kebiasaan masyarakat Mentawai untuk mandi di sungai di tempat terbuka. “Langsung cemplung saja, enak banget dinginnya!” ajak Herman Harsoyo, fotografer dari Jakarta yang ikut dalam rombongan. Ia seperti menangkap keraguan saya sewaktu akan mandi di sungai.

Terbakar ajakan itu, saya tak lagi menghiraukan air yang mengigilkan tubuh. Ah, begitu menyegarkan! Bagi saya yang tinggal di kota besar tanpa sungai jernih, Sungai Butui memberikan sebuah kemewahan yang ada di tengah hutan. 

Sungai jernih di tengah rerimbunan hutan yang masih terjaga ini tampaknya bukan karena tanpa alasan. Hutan, sungai, gunung dan semua bentukan alam bahkan yang terkecil sekalipun seperti batu adalah istana megah bagi para roh yang dihormati oleh masyarakat Mentawai. Meski agama sudah menyapa kehidupan mereka, tetapi dalam keseharian warga tak dapat lepas dari kepercayaan Arat Sabulungan.

Arat yang berarti kepercayaan, Sa berarti seikat dan bulungan berasal dari kata buluk yang berarti daun. Dalam setiap helai daun di pepohonan memiliki doa-doa yang ingin disampaikan pada Ulau Manua (Tuhan) dan juga pesan dari para roh.

Dalam setiap rupa alam bahkan yang terkecil seperti daun sekalipun, bersemayam para roh yang harus dihormati agar manusia terhindar dari malapetaka. Itulah sebabnya masyarakat Mentawai tidak membuang limbah rumah tangga atau buang air besar di sungai. Mereka memilih melakukannya di hutan atau di tempat yang jauh dari sungai karena mereka menghormati Taikaonian, roh penjaga sungai yang telah menyediakan air untuk kehidupan.

Di uma, saya bertemu Aman Lau Lau. Ia adalah sikerei, tokoh spiritual yang dihormati. “Anaileoita!” Ia menyapa saya. Salam itu kira-kira berarti, "halo!".

“Anaileoita!” saya membalas sapaan sang tokoh.

Aman Lau Lau membawa parang dan keranjang rotan yang berisi setandan pisang. Tampaknya, ia baru saja memetik pisang di ladang. Buah ranum itu menjadi sajian bagi tetamu yang datang dari ribuan kilometer ini. 

Dalam berladang pun mereka memiliki kearifan untuk tidak merusak alam. Sebelum membuka lahan, mereka biasanya melakukan ritual  dan tidak pernah membakar pohon di hutan. Menghormati taikaleleu yang merupakan roh penjaga hutan agar tidak meninggalkan wujud kasarnya hingga menimbulkan bencana atau penyakit. Tidak hanya roh hutan, terdapat juga sanitu, makhluk gaib yang suka mengganggu manusia. Sanitu kerap tinggal di pohon-pohon berimbun besar seperti pohon eilagat dan sokut. Dua jenis pohon besar yang banyak terdapat di hutan Mentawai ini paling dihindari untuk ditebang. Karena membuat marah sanitu dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat dan hanya bisa disembuhkan oleh roh leluhur.

Siang itu adalah makan siang terakhir saya di Dusun Butui karena kami hanya menginap semalam. Bersama-sama duduk di lantai dengan warga dusun, kami bersantap beramai-ramai. Semua hidangan, terdiri dari nasi dan lauk disajikan di daun pisang yang disusun memanjang, persis seperti dijumpai dalam  tradisi Minang. Duduk di sebelah saya adalah Lepon, seorang murid kelas dua SLTP yang merupakan cucu dari Aman Lau Lau. Ia memberitahu kami, bahwa kakeknya akan menyiapkan acara khusus untuk rombongan yang datang dari jauh, yaitu proses pembuatan tato! Inilah yang saya tunggu, sedari dulu saya selalu penasaran bagaimana Suku Mentawai menggunakan peralatan seadanya bisa membuat tato.

“Kamu mau tidak ditato?” tanya Lepon kepada saya.

“Tidak, lalu kenapa kamu tidak ditato?”

Lepon tertawa, berderai.

“Saya tidak suka ditato, sakit rasanya.”

Saya kembali bertanya kepadanya, apakah suatu saat ia ingin menjadi sikerei seperti kakeknya. Lepon pun menggelengkan kepala. Lepon pun menjelaskan bahwa sang kakek pun tidak pernah memaksanya menjadi sikerei. Lepon bercita-cita melanjutkan sekolahnya bahkan hingga perguruan tinggi seperti salah satu pamannya.

Menjadi sikerei bisa terjadi karena dua hal. Pertama, keinginan sendiri, kedua karena panggilan roh nenek moyang melalui kejadian tertentu seperti sakit-sakitan yang tak kunjung sembuh. Untuk memastikannya diadakan upacara pengobatan. Jika sakitnya sembuh maka penyakit itu merupakan petunjuk bahwa ia harus menjadi sikerei. Menjadi sikerei pun jelas harus berasal dari golongan yang kaya, karena upacara adat untuk pengangkatan sikerei harus menyembelih ternak dengan jumlah yang tidak sedikit.

Di hari terakhir saya sempat menyaksikan bagaimana Aman Lau Lau juga memiliki kemampuan medis yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmiah. Saat mengobati seorang anak yang demam tinggi dengan sehelai daun yang diambil dari hutan dan diisi ramuan yang sudah didoakan.

“Semua pohon, semak dan daun yang tumbuh di Mentawai punya khasiat medis,” kata Minarse Salolosit yang merupakan Sekretaris Desa Mailleppet sekaligus pemandu kami. Minarse adalah putri dari seorang sikerei. Sewaktu muda ia pernah didiagnosa malaria jenis tropikana yang terkenal ganas dan sembuh berkat ramuan medis sang ayah. Ia menjelaskan bahwa banyak ahli dari berbagai negara yang melakukan penelitian di sini untuk kepentingan medis.

Minarse mengantar kepergian rombongan kami sampai bandara Padang untuk kembali ke Jakarta. “Jangan kapok ke Mentawai ya, kapan-kapan datang lagi!” ujarnya saat kami berpisah. Ucapannya membuat saya teringat malam saat menginap di Uma Salakirat. Tidak bisa tidur akibat beralaskan lantai kayu yang tidak rata, salah satunya mengganjal punggung. Telepon pintar tak berguna karena tidak ada sinyal sama sekali di sana. Saya hanya menikmati malam itu dengan duduk di tangga uma sambil mengobrol bersama rekan-rekan media. Suara berbagai binatang nokturnal begitu ramai seakan pesta pora di bawah langit cerah yang bertaburan bintang. Jika awalnya saya mengira tinggal tanpa listrik dan sinyal telekomunikasi begitu hambar ternyata saya salah! Seketika saya menyadari bahwa tempat saya menginap malam itu begitu meriah, indah dan penuh gairah, bersama dengan orang-orang yang begitu menghargai alam, dan alam pun mencintai mereka.