Plot ekosistem referensi berbentuk bujursangkar: panjang 100 meter dan lebar 100 meter, membentang di ketinggian 1.900 meter dari permukaan laut. Hasilnya, struktur hutan alam BlokGluduk II tersusun atas semai, tiang, pancang, dan pohon. Sebaran rata-rata tingkat semai 11.500 batang per hektare; tingkat tiang, 1.332 batang; tingkat pancang, 300 batang; dan tingkat pohon, 148 batang. Kondisi ini menandakan struktur ekosistem hutan alam yang belum mengalami gangguan. Tandanya: sedikit pohon, namun banyak anakan tiang, pancang dan semai.
Sementara itu, sebaran spesies endemikdi Gunung Tilu untuk jenis yang dominan pada strata tajuk atas adalah rasamala (Altingia exelsa) dan puspa (Schima walichii). Kemudian disusul jenis yang mendominasi lapisan tajuk kedua: kiputri (Dacrycarpus neriifolius), kijeruk (Acronychia laurifolia), manggong (Macaranga rhizinoides), huru (Neolitsea cassiaefolia) dan tebe (Sloanea sigum).Dari analisis vegetasi, dijumpai dua jenis endemik: rasamala dan puspa dengan tingkat pertumbuhan yang dominan. Dengan demikian, kedua jenis itu memenuhi kriteria sebagai jenis kunci endemik di Gunung Tilu.
Dengan prosedur yang persis sama, di Cagar Alam Gunung Burangrang juga dilakukan pembuatan plot permanen ekosistem referensi. Lokasi plot di Blok Pasir Buntu, Cihanjawar, Kecamatan Bojong, Purwakarta, pada ketinggian 1.446-1.512 meter dari permukaan laut.
Hasil analisisnya: tiga jenis endemik Gunung Burangrang dengan daya sintas yang tinggi mulai dari semai, pancang, tiang hingga pohon adalah puspa, huru (Uthocarpus elegans), dan taritih (Celtis tetandra). Ketiganya memenuhi kriteria sebagai jenis kunci endemik di Burangrang.!break!
Kasus agak berbeda terjadi diGunung Masigit Kareumbi. Di taman buru ini, plot permanen ekosistem referensi tidak dibuat lantarankawasan hutan alamnya berada di luar cakupan DASCitarum. Informasi struktur hutan alam Gunung Masigit Kareumbi diperoleh dari tangan kedua: laporan hasil survei dan referensi lainnya. Sebaran jenis endemik diGunung Masigit Kareumbi pada strata tajuk atas didominasi rasamala, puspa, pasang (Lithocarpus indutus), sedangkan jenis dominan strata tajuk kedua: kiputri, kijeruk (Acronychia laurifolia), huru.
Proses mencuplik gambaran ekosistem alami tersebut baru separo jalan upaya restorasi. Amanat lainnya:restorasi yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Model pilot restorasi ini menggunakan pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan multipihak.
Dengan demikian, diperlukan prakondisi bagi program restorasi dan rehabilitasi lahan di kawasan konservasi ini. Tim Komponen 2 menggelar forum curah pendapat terfokus atau focus group discussiondengan masyarakat dan para pihak. Tujuan diskusi ini untukmembangun pemahaman para pihak ihwal restorasi di kawasan konservasi, sembarimengevaluasi dan memilih kelompok masyarakat yang akan berpartisipasi,serta menginisiasi kerjasama kelembagaan masyarakat—termasuk kelompok perempuan.
Di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu, forum curah pendapat digelar di Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, dan Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu. Kedua desa dalam cakupan Kabupaten Bandung. Sementara itu, di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi diskusi terfokus dilakukan di Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung.Satu lagi diskusi digelar di Desa Cihanjawar, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta.
Forum dari desa ke desa ini menyingkap berbagai tantangan di sekitar tiga kawasan konservasi yang menjadi lokasi model restorasi ekosistem. Di Desa Sukaluyu dan Sugihmukti tantangannya nyaris serupa. Sebagian masyarakat dua desa ini masih merambah kawasan untuk dijadikan lahan budidaya cabai, kol, kentang.
Tantangan yang kurang lebih sama juga terjadi di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Sebagian warga Tanjungwangi rupanya masih suka mencuri kayu, rotan, pakis serta berburu satwa liar. Sedangkan di Cihanjawar, desa dekat Cagar Alam Gunung Burangrang, tantangannya adalah ketrampilan bertani yang kurang memadai menyebabkan sebagian warga tergantung pada sumber daya hutan.
Kendati begitu, upaya restorasi justru menemukan sasaran yang tepat untuk model pemulihan ekosistem. Forum diskusi mampu membuka wawasan berbagai pihak yang akan terlibat dalam restorasi. Dari catatan proses diskusi, masyarakat sekitar telah memiliki pemahaman yang cukup tentang pemulihan hutan.
Pelibatan masyarakat dalam restorasi dan rehabilitasi lahan di kawasan konservasi disambut baik oleh warga setempat. Dengan kata lain, masyarakat telah siap, dan berharap dapat terlibat dalam restorasi, sembari untuk membuka peluang usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.