Dia memandang bahwa daerah aliran sungai bagaikan sehamparan medan penuh konflik kepentingan. Bentuk aneka kepentingan itu mewujud dalam tata guna lahan yang macam-macam, dengan status lahan yang berlainan pula. “Sehingga, daerah aliran sungai lebih merupakan hamparan konflik kepentingan. Di Citarum hulu misalnya, konflik sosialnya terasa lebih kental. Konfliknya luar biasa. Dan itu menjadi masalah nonteknis yang kami hadapi,” lanjut Junaediyono.
Berbagai kepentingan itulah, menurut Project Manager CWMBC Cherryta Yunia yang menyebabkan berbagai upaya di Citarum terkesan tidak signifikan. “Ada yang bilang sudah terlalu banyak proyek di Citarum, tapi hasilnyatidak signifikan. Bukan tidak signifikan sebenarnya, tetapi memang setiap stakeholder berjalan sendiri-sendiri,”
Cherryta menegaskan bahwa Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP) adalah program terpadu. “Sayangnya, memang belum terpadu betul. Kalau ingin bagus, mesti terpadu,” ungkap Cherryta. Dia mengingatkan bahwa selama program CWMBC misalnya, masih ada pihak-pihak lain yang belum terlibat.
Dia mencontohkan Kementerian Perindustrian. Di DAS Citarum terdapattak kurang 1.500 pabrik yang membuang limbah ke anak sungai ataupun Sungai Citarum. Pabrik sebanyak itu menyokong 20 persen produksi industri nasional dan 60 persen produksi tekstil Jawa Barat. “Pabrik-pabrik tekstil itulah yang membuang limbah. Itu jelas mencemari, yang sayangnyakementerian terkait belum terlibat dalam proyek ini.”
Pada tahap-tahap selanjutnya,Cherryta menyarankan, program ICWRMIP selayaknya menggandeng pihak-pihak yang selama ini belum terlibat.“Kalau ada tahap selanjutnya, harus diubah polanya. Program haruslebih terpadu di tingkat stakeholder. Mengajak semua pihak terkait terlibat langsung, sehingga semuanya bergabung dalam satu program. Jadi, ada sub-komponen yang melibatkan pemerintah daerah dan kementerian lain yang terkait.”
Program CWMBC telah meletakkan fondasi bagi pengelolaan kawasan konservasi dalam konteks pengelolaan DAS Citarum yang lestari.Kiprah empat komponen memberikan kebaruan data, informasi dan pengetahuan di kawasan konservasi. Dari perkembangan itu, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat Sylvana Ratina berharap adanya sumbangsih bagi rencana pengelolaan di tujuh kawasan konservasi yang tercakup dalam DAS Citarum.
Sylvana menuturkan, selama ini Balai Besar KSDA Jawa Baratkekurangan data dasar yang berguna dalam menentukan arahpengelolaan kawasan. Dari hasil kajian Komponen 1 memang telah tersaji data-data dasar tentang habitat, persebaran, spesies prioritas. Datapotensi keanekaragaman hayati itu juga terpetakan dan terintegrasi dalam sistem informasi. Dari data dasar itu, dia menyatakan, “Nantinya diharapkan ada dokumen rencana pengelolaan kawasan konservasi. Sehingga, BBKSDA Jawa Barat bisa melakukan pengamatan, monitoring dan pengawasan. Itulah yang menjadi tugas kami.”
Di masa depan, BBKSDA Jawa Barat akan lebih mengembangkan Model Desa Konservasi di sekitar kawasan konservasi. Selama program CWMBC, upaya Komponen 4 telah berhasil mengembangkan MDK di sepuluh desa.
“Sepuluh MDK ini sifatnya model. Artinya, percontohan dan kita akan mengembangkan MDK di desa-desa lain, dengan fasilitator yang terampil yang mampu menciptakan kader konservasi,” imbuhnya.
Setelah CWMBC tuntas, Sylvana menegaskan, “Kita akan mengantarkan MDK ke kabupaten setempat. Kita telah punya MoU dengan empat kabupaten yang ada kegiatan MDK. Kita sudah menunjukkan kepedulian denganpengembangan ekonomi alternatif untuk menggeser mata pencaharian masyarakat agar tidak tergantung pada kawasan konservasi.”
Sejak awal program CWMBC, untuk pengembangan MDK, Balai Besar KSDA Jawa Baratmenjalin kesepahaman (MoU) dengan empat pemerintahan kabupaten: Sumedang, Bandung Barat, Subang, dan Purwakarta. Inti kesepahaman: pengembangan model desa konservasi akan dikawal selama 5 tahun. Selama kurun itu, diharapkan MDK telah mampu mandiri. Untuk tiga tahun pertama, Balai Besar KSDA Jawa Barat akan mengawal MDK dengan dukungan dana CWMBC, dan dua tahun sisanya bakal dilanjutkan oleh pemerintah daerah dengan anggaran APBD.
Setelah program selesai, Sylvana memaparkan, saatnyapemerintah daerah mengambil peran dalam pengembangan MDK agar kawasan konservasi tetap aman. “Supaya masyarakat tidak lagi mencari nafkah di hutan, namun tetap peduli terhadap kawasan konservasi.Dengan demikian, hubungan timbal balik antara kelestarian kawasan konservasi dan pengembangan ekonomi alternatif tetap terawat.”