Mengejar Bianglala di Tambang Tua

By , Selasa, 26 April 2016 | 15:30 WIB

Warna biru laut, hijau pepohonan, pasir pantai, dan bebatuan, yang berpadu dengan mercusuar bercat putih menjadi komposisi nan apik untuk memandangi pulau ini.

Destinasi pulau lain yang biasa dikunjungi adalah pulau Kepayang. Orang-orang asli Tanjung Kelayang menyebutnya Pulau Besar, sedangkan dahulu pulau ini lebih dikenal sebagai Pulau Babi Besar. Di sini tersedia restoran, penginapan, penyewaan alat snorkling, hingga penangkaran penyu. Menurut pemandu kami, dalam sehari kita bisa menghampiri empat hingga lima pulau. Pulau Burung dengan susunan bebatuan menyerupai burung, Pulau Babi Kecil yang eksotis, hingga pulau pasir, bisa menjadi pilihan untuk menikmati kemolekan laut Belitung. Bagi wisatawan pecinta dunia bawah air, mereka juga bisa snorkling di sekitar pulau-pulau yang kerap dijadikan destinasi wisata.

Jika ingin mendapatkan pemandangan lain, coba arahkan perjalanan sedikit ke selatan dan temukan air laut yang tenang di Pantai Penyabong di Kecamatan Membalong. Membalong juga menyimpan kekayaan alam lain yang bisa menggerakan roda perekonomian masyarakat. Gula aren dan madu dari Desa Air Kundur, Kecamatan Membalong sohor kualitasnya ke seluruh Belitung. Pembuat gula aren dan petani madu di sini telah ada sejak beberapa generasi, selama itu pula mereka mempertahankana cara yang digunakan para pendahulu.

Gula aren dibuat dengan cara tradisional, diolah sesaat nira didapatkan, dan tanpa campuran bahan kimia. Begitu juga dengan madu, para petani madu hanya akan menyajikan madu kualitas terbaik meski mengakibatkan mereka hanya bisa panen di musim-musim tertentu. Sayang, saya datang di musih hujan, ketika petani gamang mengambil sarang lebah karena kualitasnya pun tak akan sebaik hasil yang didapatkan di musim kemarau.

Gula aren dan madu dari desa Air Kundur layak dijadikan buah tangan disamping kerajinaan khas seperti Batik serta kudapan modern yang berkembang di Belitung. Menyinggahi Kepulauan Bangka Belitung, serasa tak lengkap rasanya tanpa membawa Amplang, kerupuk khas Bangka.

Demi kerupuk, saya berlanjut ke pulau Bangka, pulau terbesar yang ada di Provinsi Kepualuan Bangka Belitung. Biasanya, sebelum meninggalkan Belitung, wisatawan akan berkunjung ke Danau Kaolin atau biasa dijuluki Kolong Kaolin, bekas pertambangan tanah liat putih untuk campuran bahan keramik hingga kosmetik.

Saya menyaksikan pemandangan yang menawan, namun siapa sangka keindahan itu justru merupakan luka menganga pada permukaan bumi. Eksploitasi penyebabnya. Ceruk-ceruk bekas penambangan terisi air hujan menciptakan warna tosca yang menarik bagi mata. Pengunjung harus ekstra hati-hati saat ke sana karena tak ada fasilitas pengaman kecuali pagar kayu yang sering diterobos. Banyak pula yang tak menyarankan untuk menjadikannya tempat wisata lantaran masih mengandung racun berbahaya sisa penambangan. Tak ada keterangan mengenai danau ini kecuali pengunjung mencari tahu sendiri.

Perjalanan dari Belitung menuju Bangka ditempuh kurang dari satu jam menggunakan pesawat yang akan mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Jika wisatawan ingin sensasi lain bisa menggunakan kombinasi moda transportasi laut dan darat. Namun, itu akan memakan waktu lebih dari delapan jam dari Belitung untuk mencapai Kota Pangkalpinang!

Salah satu kawasan yang terkenal di Kabupaten Bangka adalah Kecamatan Belinyu, kota tua di utara pulau. Kawasan ini bersama Kecamatan Muntok di Kabupaten Bangka Barat menyimpan cerita mengenai kejayaan PN Timah di masa lampau. Belinyu juga menyimpan kekayaan hasil laut seperti aneka makanan lezat yang kami nikmati di Pantai Penyusuk. Salah satunya adalah olahan ikan yang dijadikan lempah, kuah kuning khas Bangka. Hasil laut yang melimpah juga diolah menjadi aneka makanan hasil akultutasi berbagai etnis seperti terasi khas Belinyu, fermentasi ikan kecil yang disebut rusip serta aneka macam amplang.

Pembuatan amplang secara tradisional masih ditemukan di berbagai tempat di Bangka, yang terkenal adalah Kampung Gedong di Kelurahan Kuto Panji. Umumnya masyarakat yang tinggal di sini berasal dari etnis Tionghoa begitupun para pembuat amplang yang memproduksi olahan ikan, udang, dan cumi-cumi yang saya temui. Menurut Tria, pemandu kami selama di Bangka,  para ibu pembuat amplang ini tak fasih berbahasa Indonesia. Mereka masih terbiasa menggunakan bahasa Mandarin suku Hakka, suku etnis Tionghoa yang banyak berdiam di kawasan kepulauan Bangka-Belitung.

Berwisata tak lengkap tanpa memandang keindahan alam. Sebaran batu granit berukuran besar tak hanya dimiliki oleh Belitung kita juga bisa menemukannya di pantai-pantai yang ada di Pulau Bangka salah satunya adalah di pantai yang ada di Pulau Putri, pulau kecil di ujung Belinyu. Tak sampai 10 menit menggunakan perahu motor, saya sudah menjejakan kaki ke Pulau Putri.

Sang Putri menyambut saya dengan sebaran granit nan menawan dalam hamparan pasir putih nan halus. Keindahan bawah lautnya sungguh cantik dari permukaan. Aneka terumbu karang, koral, dan ikan yang berenang di air yang jernih sudah bisa dilihat dari atas perahu. Wisatawan juga bisa menyewa peralatan snorkling untuk lebih dekat dengan keindahan bawah laut Pulau Putri.

Tepat disamping Pulau Putri, saya menjumpai pulau dengan menara lampu nan menjulang. Pulau Lampu, begitu masyarakat menyebutnya. Setiap malam, lampu suar dinyalakan sebagai lampu pemandu bagi kapal yang melintasi perairan utara Bangka.

Tak muluk rasanya jika Bangka memiliki slogan “Pelangi di Pulau Harmoni”, masyarakat yang berasal dari berbagai etnis hidup selaras di pulau ini. Berbagai destinasi wisata religi pun dibangun tersebar di segala penjuru Bangka. Puri Tri Agung menjadi salah satu ikon wisata religi di Bangka yang diresmikan pada Januari 2015. Rumah ibadah bagi penganut Buddha, Konghucu, dan Laotze ini memiliki pemandangan yang diapit oleh perbukitan dan pantai.

Masjid Kayu Tuatunu juga bisa menjadi referensi wisata saat menyambangi Bangka. Masjid yang sepenuhnya terbuat dari kayu ini didirikan Haji Heri Talim di sekitar kawasan Hutan Kota Pangkalpinang pada 2012. Beragam kegiatan keagamaan biasa digelar; dari pesatren kilat, pesantren hafidz bagi para penghapal Alquran, serta kegiatan manasik haji.

Destinasi wisata religi lainnya adalah Gua Maria Pelindung Segala Bangsa yang berada di Kecamatan Belinyu. Tak hanya umat Katolik yang tertarik mengunjungi tempat ini, tetapi juga pelancong beragam keyakinan.

Akulturasi terasa begitu kuat di Bangka, terlebih untuk urusan hidangan di atas meja. Saya sempat mengunjungi sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Khas Bangka, Rumah Makan Dayang namanya. Lempah kuning, ikan masak tauco, dan ikan asam pedas, serta tak ketinggalan sambal rusip menjadi sederet makanan khas Bangka yang terpengaruh budaya Melayu dan Tionghoa. Kebiasaan menyeruput kopi juga menjadi budaya di sini, tak sulit menemukan warung kopi di Bangka. Warung Tung Tau merupakan warung kopi yang paling tua di Sungailiat sekaligus yang paling terkenal, warung ini telah melayani pembeli sejak 1938 dengan menu utama Kopi-O (kopi hitam) dan roti bakar tradisional. Kini, generasi ketiga telah memegang tongkat estafet pengelolaan warung ini dan meluaskan ekspansi dagangnya ke beberapa tempat di Bangka.

Cerita lama mengenai negeri pertambangan timah berganti menjadi negeri penuh pelangi yang siap memukau wisatawan. Saya tak akan bosan menikmati setiap sisi Kepulauan Bangka Belitung. Saya juga berharap kawasan ini bisa berkembang dan selalu menyajikan kesejukan hati dan warna keindahan ragam budaya—seperti keindahan pendaran rona pelangi.

--------

YHUSANTI PRATIWI berminat pada sejarah, mitologi, bangunan tua, hiruk pikuk kota, dan kuliner. Pecinta wisata kota, namun tak pernah lupa mendekatkan diri pada alam. Ucha, panggilan akrabnya, begitu mencintai negeri zamrud katulistiwa ini.