Mengejar Bianglala di Tambang Tua

By , Selasa, 26 April 2016 | 15:30 WIB

Kemasyhuran Kepulauan Bangka dan Belitung telah tersiar sejak zaman dahulu, salah satu salurannya adalah buku pelajaran yang selalu mencantumkan dua pulau ini sebagai penghasil timah terbesar sekaligus daerah penghasil lada di Indonesia. Kini, dua pulau itu terlahir kembali sebagai destinasi nan memukau bagi para pelancong.

Perjalanan saya menapaki tanah Belitung kali ini adalah untuk berbaur bersama ribuan wisatawan lain menyaksikan fenomena Gerhana Matahari Total yang melintas di atas langit bumi laskar pelangi. Jika titik keramaian berada di Tanjung Kelayang, Kabupaten Belitung, saya justru memilih pengamatan dari kawasan Belitung Timur.

Gerhana Matahari Total pada 9 Maret 2016 yang lalu ternyata turut serta mengangkat nama provinsi yang baru berusia remaja ini. Kali ini, Indonesia memang menjadi tuan rumah peristiwa gerhana matahari total. Tak heran jika ribuan wisatawan mancanegara maupun Nusantara menyerbu ke sebelas provinsi yang dilintasi gerhana, termasuk ke Kepulauan Bangka Belitung.

Pagi-pagi buta kami sudah bersiap. Pantai Olie Pier dan Pantai Nyiur Melambai di Desa Lalang, Manggar, Belitung Timur menjadi tujuan kami.

Pantai Olie Pier merupakan pantai kecil yang tak terlalu terkenal, bahkan beberapa wisatawan ada yang salah menuliskan namanya menjadi Oliver atau Olivier, mengikuti ejaan bahasa Inggris. Meski tak begitu populer pantai ini ternyata memiliki nilai sejarah yang hampir dilupakan. Secara harafiah nama Olie Pier diambil dari Bahasa Belanda, olie berarti minyak, sedangkan pier memiliki arti demaga atau pelabuhan. Nama tersebut menjadi refleksi tugas yang diemban oleh pantai ini.

Tak banyak yang tersisa dari bekas stasiun pengisian minyak kapal-kapal penangkut timah di masa lalu itu. Konon, sebuah jembatan kayu sepanjang sekitar 500 meter yang hampir roboh adalah satu-satunya yang tersisa dari kejayaan pantai ini. Jembatan kayu ini menjadi pusat perhatian para wisatawan, menyuguhkan pemandangan yang apik saat menyambut mentari pagi. Banyak juga wisatawan yang mencoba meniti sisa-sisa jembatan kayu itu, tentu dengan resiko yang ditanggung oleh masing-masing. Di atas jembatan ini pula kita bisa menemukan nelayan maupun warga melempar pancing.

Matahari mulai merangkak naik, Saya pun bergerak menuju Pantai Nyiur Melambai yang menjadi pusat berkumpulnya masyarakat Belitung Timur. Keadaan pantai ini berbeda dengan pantai Olie Pier yang sebelumnya saya kunjungi. Memasuki kawasan pantai ini saya disambut dengan tulisan besar “Pantai Nyiur Melambai”. Beberapa rumah makan, musala, serta fasilitas kamar mandi berdiri di sekitar pinggir pantai. Pedagang musiman turut mencari untung dari gelaran perayaan Gerhana Matahari Total.

Saat itu Pantai Nyiur Melambai dipenuhi warga. Kendati tak mendapat kacamata gerhana, bukan berarti menghalangi mereka untuk melihat fenomena alam ini. Dengan beragam kreativitas, mereka menyulap berbagai peralatan menjadi media untuk menyaksikan gerhana. Kacamata las, hingga kotak susu yang dilapisi kaca serta lapisan kaca film atau lembaran hasil rongen terlihat digunakan warga.

Lepas dari riuhnya pentai, saya menuju SD Muhammadiyah. Sekilas tak ada yang spesial dari bangunan berdinding kayu yang berdiri di atas bukit pasir ini. Namun, bagi mereka yang mengikuti cerita Laskar Pelangi akan langsung membayangkan Ikal, Mahar, dan kawan-kawan belajar dan bermain. Bangunan ini merupakan replika untuk lokasi syuting Film Laskar Pelangi, yang dirilis 2008.

Kendati replika, SD Muhammadiyah ini seolah menceritakan bagaimana perjuangan anak-anak Laskar Pelangi mendapatkan pendidikan yang layak dari balik sekolah reyot. Sayang, terlihat beberapa jejak vandalisme di dinding kayu yang menyekat ruangan, seperti menggambarkan banyak wisatawan yang belum siap menghargai tempat-tempat wisata.

Tak jauh dari replika sekolah, berdiri Museum Kata Andrea Hirata, sang penggubah novel Laskar Pelangi. Tak sulit mencari tempat ini, tembok dan pagar yang di cat warna-warni akan menarik siapapun yang lewat didepannya.

“Indonesia First Literary Museum” itulah yang banyak tertulis di tembok bangunan, seperti mengukuhkan bahwa bangunan ini merupakan museum sastra pertama di Indonesia. Museum ini dibangun pada 2010. Di ruangan dalamnya, saya menyaksikan banyak memorabilia mengenai Andrea Hirata. Kutipan-kutipan yang tersebar di seluruh ruangan seolah mengajak pengunjung untuk memasuki dunia sastra melalui dinding-dinding yang berbicara.

 Pada salah satu ruangan terdapat kumpulan cover buku seri Laskar Pelangi yang  telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ruangan lain menyimpan benda-benda masa kecil Andrea Hirata. Ruangan kesukaan Saya adalah bagian belakang bangunan utama yang merupakan dapur sederhana tempat para pengunjung bisa memesan dan menikmati kopi Manggar khas Belitung Timur. Lebih jauh memasuki area Museum, terdapat bangunan yang mengelilinginya dan kebanyakan berbentuk aula atau ruangan lapang. Ruangan-ruangan ini biasa dipakai untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penulisan dan tak lupa ruangan pun dihias dengan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai buku.

Berbicara mengenai Laskar Pelangi tak lengkap tanpa meyinggung nama Ibu Muslimah, ibu guru yang melecut semangat anak-anak. Sosok ini bukanlah sosok fiksi semata yang ada di novel maupun film adaptasinya, Ibu Muslimah adalah sosok pendidik yang sebenarnya, juga guru pengajar Andrea Hirata. Beruntung, saya berhasil menemui Ibu Guru yang telah pensiun di tahun 2013 ini.

“Kalau kemarin saya marah banget dengan Bang Andrea, tapi sekarang ada sisi positifnya karena dia sekarang bisa mengangkat Bangka Belitung. Kalau nggak ada buku Bang Andrea kamu juga mungkin nggak bisa sampai ke Belitung,” candanya sambil mengingat kekesalannya pada Andrea, lantaran menyatut namanya di dalam novel.

Pertemuan kami ini terjadi di Kampoeng Ahok, rumah panggung khas Belitung yang dibangun tepat di seberang kediaman keluarga besar Ahok di Gantung, Belitung Timur. Kemasyuran nama Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa di panggil Ahok ini juga dianggap mengangkat nama Belitung Timur sebagai destinasi wisata, hal ini pun diamini oleh Bu Mus disela perbincangan ringan kami.

Tak terasa waktu makan siang tiba, obrolan kami yang terjadi di teras rumah pun beralih ke bagian dalam rumah yang terbuat dari kayu Bulin/Ulin ini.  Deretan nampan besar berisi makanan khas belitung telah terhidang dengan rapi, lengkap dengan kue dan teh hangat. Makan bedulang, begitulah Bu Mus menyebutnya.

Dalam satu dulang terdapat beberapa jenis makanan yang akan dimakan bersama. Kali ini tersuguh di hadapan kami tumis pucuk iding-iding, ayam bumbu ketumbar, umbut  kelapa, sate ikan, gangan daging, dan tak lupa ikan bakar beserta sambal nanas. Kue Bingka atau Bingke juga tersaji sebagai teman berbincang setelah makan.

“Makan bersama, ambil berkahnya,” ungkap Bu Mus.

Perjumpaan Saya dan Ibu Muslimah berakhir setelah kami menyelesaikan santap siang. Ibu Mus memilih pulang untuk beristirahat sedangkan Saya menghampiri Galeri Daun Simpor yang ada di seberang rumah panggung atau di dalam kawasan kediaman keluarga Basuki dan Basuri Tjahaja Purnama, dua orang yang pernah memimpin Belitung Timur.

Galeri daun Simpor digagas oleh Linda Juliastiani, Istri dari mantan Bupati Belitung Timur Basuri Tjahaja Purnama. Lahirnya konsep batik Belitung diawali dari pengalaman pribadi Linda yang kesulitan mencari kain identitas Belitung saat menghadiri berbagai acara. Perempuan asal Tanah Jawa ini mengenalkan dan mengembangkan batik Belitung melalui metode batik cap yang diisi dengan sapuan kuas oleh tangan-tangan perempuan Belitung.

Pola Batik Belitung diakui Linda diambil dari keseharian masyarakat seperti pola cangkir kopi yang menunjukan kegemaran masyarakat belitung. Tak lupa puspa Belitung, seperti tanaman lada atau yang biasa disebut sahang, bunga karamunting, daun simpor. Juga, faunanya seperti kancil, trenggiling, dan tarsius.

Daun simpor seperti tak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Belitung. Hampir semua panganan dibalut oleh daun ini; tak peduli makanan kering, nasi, bahkan untuk sajian makanan berkuah. Saya pun membuktikan kebenaran pengaruh aroma daun simpor saat menyantap soto lontong di sebuah kedai sederhana milik Bang Ojie.

Tak sulit mencari panganan khas di pulau ini. Aneka kedai mi belitung dan soto lontong akan melayani sarapan. Jika ingin menikmati yang lebih khas bisa mencoba Berego, makanan yang terbuat dari tepung beras yang disiram kuah kari ikan. Bagi pecinta kopi, salah satu yang terkenal dan tertua adalah Kopi Kong Djie dengan teko-teko tingginya. Kedai kopi ini telah menjadi tempat berkumpul tua-muda Belitung sejak 1945.

Tak lengkap rasanya berkunjung ke Belitung tanpa menyambangi pulau Lengkuas, pulau dengan mercusuar yang menjadi ikon pariwisata Belitung. Perlu waktu 15-20 menit menggunakan perahu motor yang disewa untuk menjangkau pulau penjaga tersebut. Pulau Lengkuas merupakan daerah kerja Direktorat Navigasi, Direktorat Jenderal Perhubungan laut, Kementerian Perhubungan. Mercusuar yang berdiri tegap setinggi 18 lantai itu dibangun pada 1882. Hingga kini, bangunan tersebut masih mengemban tugas mulia memandu kapal-kapal yang lewat di perairan Belitung di kala malam.

Warna biru laut, hijau pepohonan, pasir pantai, dan bebatuan, yang berpadu dengan mercusuar bercat putih menjadi komposisi nan apik untuk memandangi pulau ini.

Destinasi pulau lain yang biasa dikunjungi adalah pulau Kepayang. Orang-orang asli Tanjung Kelayang menyebutnya Pulau Besar, sedangkan dahulu pulau ini lebih dikenal sebagai Pulau Babi Besar. Di sini tersedia restoran, penginapan, penyewaan alat snorkling, hingga penangkaran penyu. Menurut pemandu kami, dalam sehari kita bisa menghampiri empat hingga lima pulau. Pulau Burung dengan susunan bebatuan menyerupai burung, Pulau Babi Kecil yang eksotis, hingga pulau pasir, bisa menjadi pilihan untuk menikmati kemolekan laut Belitung. Bagi wisatawan pecinta dunia bawah air, mereka juga bisa snorkling di sekitar pulau-pulau yang kerap dijadikan destinasi wisata.

Jika ingin mendapatkan pemandangan lain, coba arahkan perjalanan sedikit ke selatan dan temukan air laut yang tenang di Pantai Penyabong di Kecamatan Membalong. Membalong juga menyimpan kekayaan alam lain yang bisa menggerakan roda perekonomian masyarakat. Gula aren dan madu dari Desa Air Kundur, Kecamatan Membalong sohor kualitasnya ke seluruh Belitung. Pembuat gula aren dan petani madu di sini telah ada sejak beberapa generasi, selama itu pula mereka mempertahankana cara yang digunakan para pendahulu.

Gula aren dibuat dengan cara tradisional, diolah sesaat nira didapatkan, dan tanpa campuran bahan kimia. Begitu juga dengan madu, para petani madu hanya akan menyajikan madu kualitas terbaik meski mengakibatkan mereka hanya bisa panen di musim-musim tertentu. Sayang, saya datang di musih hujan, ketika petani gamang mengambil sarang lebah karena kualitasnya pun tak akan sebaik hasil yang didapatkan di musim kemarau.

Gula aren dan madu dari desa Air Kundur layak dijadikan buah tangan disamping kerajinaan khas seperti Batik serta kudapan modern yang berkembang di Belitung. Menyinggahi Kepulauan Bangka Belitung, serasa tak lengkap rasanya tanpa membawa Amplang, kerupuk khas Bangka.

Demi kerupuk, saya berlanjut ke pulau Bangka, pulau terbesar yang ada di Provinsi Kepualuan Bangka Belitung. Biasanya, sebelum meninggalkan Belitung, wisatawan akan berkunjung ke Danau Kaolin atau biasa dijuluki Kolong Kaolin, bekas pertambangan tanah liat putih untuk campuran bahan keramik hingga kosmetik.

Saya menyaksikan pemandangan yang menawan, namun siapa sangka keindahan itu justru merupakan luka menganga pada permukaan bumi. Eksploitasi penyebabnya. Ceruk-ceruk bekas penambangan terisi air hujan menciptakan warna tosca yang menarik bagi mata. Pengunjung harus ekstra hati-hati saat ke sana karena tak ada fasilitas pengaman kecuali pagar kayu yang sering diterobos. Banyak pula yang tak menyarankan untuk menjadikannya tempat wisata lantaran masih mengandung racun berbahaya sisa penambangan. Tak ada keterangan mengenai danau ini kecuali pengunjung mencari tahu sendiri.

Perjalanan dari Belitung menuju Bangka ditempuh kurang dari satu jam menggunakan pesawat yang akan mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Jika wisatawan ingin sensasi lain bisa menggunakan kombinasi moda transportasi laut dan darat. Namun, itu akan memakan waktu lebih dari delapan jam dari Belitung untuk mencapai Kota Pangkalpinang!

Salah satu kawasan yang terkenal di Kabupaten Bangka adalah Kecamatan Belinyu, kota tua di utara pulau. Kawasan ini bersama Kecamatan Muntok di Kabupaten Bangka Barat menyimpan cerita mengenai kejayaan PN Timah di masa lampau. Belinyu juga menyimpan kekayaan hasil laut seperti aneka makanan lezat yang kami nikmati di Pantai Penyusuk. Salah satunya adalah olahan ikan yang dijadikan lempah, kuah kuning khas Bangka. Hasil laut yang melimpah juga diolah menjadi aneka makanan hasil akultutasi berbagai etnis seperti terasi khas Belinyu, fermentasi ikan kecil yang disebut rusip serta aneka macam amplang.

Pembuatan amplang secara tradisional masih ditemukan di berbagai tempat di Bangka, yang terkenal adalah Kampung Gedong di Kelurahan Kuto Panji. Umumnya masyarakat yang tinggal di sini berasal dari etnis Tionghoa begitupun para pembuat amplang yang memproduksi olahan ikan, udang, dan cumi-cumi yang saya temui. Menurut Tria, pemandu kami selama di Bangka,  para ibu pembuat amplang ini tak fasih berbahasa Indonesia. Mereka masih terbiasa menggunakan bahasa Mandarin suku Hakka, suku etnis Tionghoa yang banyak berdiam di kawasan kepulauan Bangka-Belitung.

Berwisata tak lengkap tanpa memandang keindahan alam. Sebaran batu granit berukuran besar tak hanya dimiliki oleh Belitung kita juga bisa menemukannya di pantai-pantai yang ada di Pulau Bangka salah satunya adalah di pantai yang ada di Pulau Putri, pulau kecil di ujung Belinyu. Tak sampai 10 menit menggunakan perahu motor, saya sudah menjejakan kaki ke Pulau Putri.

Sang Putri menyambut saya dengan sebaran granit nan menawan dalam hamparan pasir putih nan halus. Keindahan bawah lautnya sungguh cantik dari permukaan. Aneka terumbu karang, koral, dan ikan yang berenang di air yang jernih sudah bisa dilihat dari atas perahu. Wisatawan juga bisa menyewa peralatan snorkling untuk lebih dekat dengan keindahan bawah laut Pulau Putri.

Tepat disamping Pulau Putri, saya menjumpai pulau dengan menara lampu nan menjulang. Pulau Lampu, begitu masyarakat menyebutnya. Setiap malam, lampu suar dinyalakan sebagai lampu pemandu bagi kapal yang melintasi perairan utara Bangka.

Tak muluk rasanya jika Bangka memiliki slogan “Pelangi di Pulau Harmoni”, masyarakat yang berasal dari berbagai etnis hidup selaras di pulau ini. Berbagai destinasi wisata religi pun dibangun tersebar di segala penjuru Bangka. Puri Tri Agung menjadi salah satu ikon wisata religi di Bangka yang diresmikan pada Januari 2015. Rumah ibadah bagi penganut Buddha, Konghucu, dan Laotze ini memiliki pemandangan yang diapit oleh perbukitan dan pantai.

Masjid Kayu Tuatunu juga bisa menjadi referensi wisata saat menyambangi Bangka. Masjid yang sepenuhnya terbuat dari kayu ini didirikan Haji Heri Talim di sekitar kawasan Hutan Kota Pangkalpinang pada 2012. Beragam kegiatan keagamaan biasa digelar; dari pesatren kilat, pesantren hafidz bagi para penghapal Alquran, serta kegiatan manasik haji.

Destinasi wisata religi lainnya adalah Gua Maria Pelindung Segala Bangsa yang berada di Kecamatan Belinyu. Tak hanya umat Katolik yang tertarik mengunjungi tempat ini, tetapi juga pelancong beragam keyakinan.

Akulturasi terasa begitu kuat di Bangka, terlebih untuk urusan hidangan di atas meja. Saya sempat mengunjungi sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Khas Bangka, Rumah Makan Dayang namanya. Lempah kuning, ikan masak tauco, dan ikan asam pedas, serta tak ketinggalan sambal rusip menjadi sederet makanan khas Bangka yang terpengaruh budaya Melayu dan Tionghoa. Kebiasaan menyeruput kopi juga menjadi budaya di sini, tak sulit menemukan warung kopi di Bangka. Warung Tung Tau merupakan warung kopi yang paling tua di Sungailiat sekaligus yang paling terkenal, warung ini telah melayani pembeli sejak 1938 dengan menu utama Kopi-O (kopi hitam) dan roti bakar tradisional. Kini, generasi ketiga telah memegang tongkat estafet pengelolaan warung ini dan meluaskan ekspansi dagangnya ke beberapa tempat di Bangka.

Cerita lama mengenai negeri pertambangan timah berganti menjadi negeri penuh pelangi yang siap memukau wisatawan. Saya tak akan bosan menikmati setiap sisi Kepulauan Bangka Belitung. Saya juga berharap kawasan ini bisa berkembang dan selalu menyajikan kesejukan hati dan warna keindahan ragam budaya—seperti keindahan pendaran rona pelangi.

--------

YHUSANTI PRATIWI berminat pada sejarah, mitologi, bangunan tua, hiruk pikuk kota, dan kuliner. Pecinta wisata kota, namun tak pernah lupa mendekatkan diri pada alam. Ucha, panggilan akrabnya, begitu mencintai negeri zamrud katulistiwa ini.