Para pengunjung yang sebagian besar karyawan pabrik menjadi pertanda: Theresia tak sekadar menyajikan menu ‘sehat’, tapi juga cocok di lidah. Dan saya tak kekurangan sampel untuk mencicipi cita rasa pot pie. Menuruti klaim ‘internasional’, ada pot pie rasa tempe bagi vegetarian: Javanese Tempeh “Vegan” Spicy—serasa oseng-oseng tempe.
Theresia juga mengembangkan berbagai resep dari makanan Asia, semisalnya Spicy Thai Chicken Curry, Penang Beef Spicy—di samping menu “bule” macam Roasted Butternut Squash dan Classic American Chicken Pot Pie. Bahkan salad dressing buatanTheresia memang khas dan nikmat rasanya. Tidak seperti dressing botolan yang umum.
Seorang chef jarang peduli dan berkomitmen pada nilai-nilai kesehatan seperti Theresia. Rupanya, sebelum menjadi chef, Theresia adalah dokter. Dokter yang menjadi chef? Panjang ceritanya. Kisahnya kental dengan keuletan khas perantau.
Semua itu berawal dari sebuah mimpi. Sekembali dari liburan ke Australia pada 2004, Theresia bermimpi menyajikan pot pie. (Di Indonesia, makanan yang mirip pot pie adalah pastel tutup. Hanya saja, tidak bertutup kentang, tetapi dari kulit pie. Porsi semangkuk pot pie pas untuk seorang.)
Yakin mimpinya merupakan petunjuk—seperti yang kerap terjadi dalam hidupnya, ia lalu riset kecil-kecilan: siapa saja di daerahnya yang berjualan pot pie. Theresia selalu membawa cita-citanya ke dalam doa-doa. Ada doa, ada upaya. Ia menimba ilmu dari buku-buku ihwal memasak pot pie. Baginya, pertanda Tuhan merestuinya adalah lancarnya proses yang ia lakoni.
Tantangan pertama: modal. Untungnya di Amerika Serikat ada lembaga US Small Business Administration yang memberikan pendampingan gratis kepada pengusaha Usaha Kecil Menengah (UKM.) Dari sana, Theresia tahu, ia dapat membuka bisnis dengan jaminan kartu kredit atau rumah.
Dari risetnya, cara mengenalkan pot pie-nya yang termurah dan efektif adalah dengan menjualnya di Farmer’s Market yang buka hanya pada akhir pekan. Ia dapat membuka meja di sana, namun dapur harus ia usahakan sendiri.
Ketika tiba saatnya, ia mengambil lisensi dari Departemen Kesehatan. Proses yang dikiranya bakal berbelit, ternyata hanya butuh setengah jam. “Guampange pol, mudah bukan main,” katanya dalam logat Jawa Kudus yang kental. Itu ditangkapnya sebagai pertanda dari Tuhan.
Sesuai aturan, seperti semua orang yang ingin berjualan di Farmer’s Market, ia mesti menjalani pengecekan dari Departemen Kesehatan. Semisal, apakah dapur memenuhi syarat kesehatan atau tidak. Dapur yang ia mintakan lisensi adalah dapur sekolah anak nakal tempat ia bekerja. Untuk mendapatkan izin memakai dapur itu, setiap akhir pekan Theresia memasak tanpa bayaran untuk sekolah itu. Jadi semacam barter.
Agaknya, Theresia selalu bisa menemukan akal. Ia mengundang keluarga dekat untuk mencicipi contoh pot pie buatannya. Nama ‘Pot Pie Paradise’ pun masukan dari salah satu keponakannya.
Hari pertama di Farmer’s Market, ia menyajikan 150 buah. Laris manis. Menjelang siang sudah habis tandas, padahal pasar baru tutup selepas tengah hari. Ada yang mengira ia penerus “Noble Pie” yang dulu pernah ada.
Ia hanya buka setiap akhir pekan, tetapi permintaan meningkat. Ketika permintaan mencapai 300 buah, ia pun mulai bergerak mencari tempat untuk membuka gerai makanan. Ia tahu dananya takkan cukup bila harus membeli dan merenovasi restoran.