Cita Rasa Indonesia di Balik Pot Pie

By , Selasa, 26 April 2016 | 17:01 WIB

Di sudut pertokoan, di pinggiran kota Hayward, Alameda County, bagian timur San Francisco Bay Area, restoran kecil ini menyebut dirinya ‘firdaus’. Pot Pie Paradise & Deli persis di dekat simpang Commerce Avenue dan Arden Road. Waktu bukanya menyesuaikan irama para pekerja di kawasan industri ini: 11.30 - 15.00. Bagi penggemar pot pie dan para pekerja, kedai mungil ini memang nirwana.

Roh yang menghidupkan griya makan ini adalah perempuan mungil asli Kudus, Jawa Tengah: Theresia Gunawan. Lahir 62 tahun lalu, ia masih memancarkan kegesitan perempuan usia 30-an. Dibantu enam karyawan, Pot Pie Paradise & Deli pada Maret 2016 berusia genap sembilan tahun. Bermula sepuluh macam pot pie, kini pelanggannya dimanjakan dengan 40 macam pot pie di daftar sajian. 

Terletak di Arden Road Nomor 3522, dengan bahasa sederhana, ‘surga’ ini mencanangkan menunya di depan pintu masuk:

International Home made and fresh!

Gourmet pot pies

Specialty sandwiches

Crispy salads with home made dressings

Savory soup of the day

Vegetarian and Vegan specialties

Catering and delivery

Simaklah gourmet yang istilah Prancis bagi makanan bermutu, yang disiapkan dengan baik dan butuh skill tinggi. Dalam setiap porsi untuk satu orang, disertakan pula: No MSG, No hydrogenated oil (minyak goreng hidrogenasi, sehingga awet tapi kimiawinya berubah dan merugikan kesehatan).

Theresia hanya memakai minyak zaitun, sayur segar, daging mutu tinggi—macam Angus beef dan free ranged chicken (ayam kampung), bahan alami, dan tanpa pengawet.

Ia menyuguhkan kesegaran dan variasi makanan. Jujur ia mengakui, bahan untuk kulit pie memang memakai lemak—begitulah prosesnya. Namun, untuk isi dan semua hidangan yang lain, ia menghindari lemak yang tak ramah. Salah satu caranya: kaldu ayam yang akan digunakan, selalu disimpan dulu semalam di dalam kulkas. Esoknya, lapisan lemak yang mengambang beku di permukaan diambil dan dibuang.

Para pengunjung yang sebagian besar karyawan pabrik menjadi pertanda: Theresia tak sekadar menyajikan menu ‘sehat’, tapi juga cocok di lidah. Dan saya tak kekurangan sampel untuk mencicipi cita rasa pot pie. Menuruti klaim ‘internasional’, ada pot pie rasa tempe bagi vegetarian: Javanese Tempeh “Vegan” Spicy—serasa oseng-oseng tempe.

Theresia juga mengembangkan berbagai resep dari makanan Asia, semisalnya Spicy Thai Chicken Curry, Penang Beef Spicy—di samping menu “bule” macam Roasted Butternut Squash dan Classic American Chicken Pot Pie. Bahkan salad dressing buatanTheresia memang khas dan nikmat rasanya.  Tidak seperti dressing botolan yang umum.

Seorang chef jarang peduli dan berkomitmen pada nilai-nilai kesehatan seperti Theresia. Rupanya, sebelum menjadi chef, Theresia adalah dokter. Dokter yang menjadi chef? Panjang ceritanya. Kisahnya kental dengan keuletan khas perantau.

Semua itu berawal dari sebuah mimpi. Sekembali dari liburan ke Australia pada 2004, Theresia bermimpi menyajikan pot pie. (Di Indonesia, makanan yang mirip pot pie adalah pastel tutup. Hanya saja, tidak bertutup kentang, tetapi dari kulit pie. Porsi semangkuk pot pie pas untuk seorang.)

Yakin mimpinya merupakan petunjuk—seperti yang kerap terjadi dalam hidupnya, ia lalu riset kecil-kecilan: siapa saja di daerahnya yang berjualan pot pie. Theresia selalu membawa cita-citanya ke dalam doa-doa. Ada doa, ada upaya. Ia menimba ilmu dari buku-buku ihwal memasak pot pie. Baginya, pertanda Tuhan merestuinya adalah lancarnya proses yang ia lakoni.

Tantangan pertama: modal. Untungnya di Amerika Serikat ada lembaga US Small Business Administration yang memberikan pendampingan gratis kepada pengusaha Usaha Kecil Menengah (UKM.) Dari sana, Theresia tahu, ia dapat membuka bisnis dengan jaminan kartu kredit atau rumah.

Dari risetnya, cara mengenalkan pot pie-nya yang termurah dan efektif adalah dengan menjualnya di Farmer’s Market yang buka hanya pada akhir pekan. Ia dapat membuka meja di sana, namun dapur harus ia usahakan sendiri.

Ketika tiba saatnya, ia mengambil lisensi dari Departemen Kesehatan. Proses yang dikiranya bakal berbelit, ternyata hanya butuh setengah jam. “Guampange pol, mudah bukan main,” katanya dalam logat Jawa Kudus yang kental. Itu ditangkapnya sebagai pertanda dari Tuhan.

Sesuai aturan, seperti semua orang yang ingin berjualan di Farmer’s Market, ia mesti menjalani pengecekan dari Departemen Kesehatan. Semisal, apakah dapur memenuhi syarat kesehatan atau tidak. Dapur yang ia mintakan lisensi adalah dapur sekolah anak nakal tempat ia bekerja. Untuk mendapatkan izin memakai dapur itu, setiap akhir pekan Theresia memasak tanpa bayaran untuk sekolah itu. Jadi semacam barter.

Agaknya, Theresia selalu bisa menemukan akal. Ia mengundang keluarga dekat untuk mencicipi contoh pot pie buatannya. Nama ‘Pot Pie Paradise’ pun masukan dari salah satu keponakannya.

Hari pertama di Farmer’s Market, ia menyajikan 150 buah. Laris manis. Menjelang siang sudah habis tandas, padahal pasar baru tutup selepas tengah hari. Ada yang mengira ia penerus “Noble Pie” yang dulu pernah ada.

Ia hanya buka setiap akhir pekan, tetapi permintaan meningkat. Ketika permintaan mencapai 300 buah, ia pun mulai bergerak mencari tempat untuk membuka gerai makanan. Ia tahu dananya takkan cukup bila harus membeli dan merenovasi restoran.

Theresia membawa kembali cita-citanya dalam doa. Ia berharap mendapatkan restoran berdapur besar dengan peralatan lengkap. Ia pun melihat sebuah restoran yang ditawarkan secara daring. Theresia ingat, pada 31 Desember 2006, ia berdoa di gereja, memohon izin Tuhan untuk dapat membeli restoran itu dengan modal yang ada, dan tanpa perlu repot merenovasi apa pun. Dan dia berharap bisa langsung berproduksi.

Begitu doa selesai, ponselnya berdering. Si pemilik restoran meneleponnya. Malam itu juga, ia bersama sang suami, Jeffrey, mengajukan penawaran 100 persen kepada pemilik restoran itu. Betapa tidak, restoran itu benar-benar jawaban Tuhan atas doanya. Bahkan melampui harapannya.

Pada 28 Februari 2007, ia melepas pekerjaan di sekolah anak nakal; esoknya, 1 Maret 2007, Pot Pie Paradise & Deli resmi buka. Kini, setelah sembilan tahun, kedai kecilnya berjalan lancar lantaran ditopang oleh enam karyawan terlatih.

Jason Nazar menulis di situs Forbes, dalam “16 Surprising statistics about small businesses”, bahwa tujuh dari 10 pengusaha baru di AS berhasil bertahan paling tidak selama dua tahun, hanya separuh yang bertahan setidaknya lima tahun, hanya sepertiga yang mencapai 10 tahun, dan hanya seperempat yang bertahan sampai 15 tahun atau lebih.

Pot Pie Paradise setahun lagi masuk dalam kategori “sepertiga” yang hebat itu. Apa resepnya?

Dari awal, Theresia menyadari punya segudang pengalaman. Tapi pengalaman juga mengingatkannya: berhati-hatilah, kini ada karyawan yang harus digaji. Jadi, pada mulanya awal ia hanya mempekerjakan tiga orang. Juga tidak ada biaya untuk pemasaran sama sekali.

Beruntung, ia mendapat dukungan penuh dari keluarga. Silvia dan Jeffrey aktif dalam pemasaran, mengelola website dan pembukuan. Ia juga tertolong oleh liputan media massa. Namun, ternyata pemasaran paling efektif adalah ‘gethok tular dari mulut ke mulut’. Misalnya, ia membagikan sampel pot pie di Farmers’ Market. Selain itu, ia juga berhati-hati dalam mengatur stok bahan makanan.

Bisnis katering, yang melayani makan siang staf dokter beberapa rumah sakit, membantunya menggenapi penghasilan restoran yang tutup pada pukul 15.00. Ia mereguk ilmu dari ‘Restaurant Start Up.’ Dari buku itu, ia mendapatkan kunci-kunci penting mengendalikan keuangan restoran. Berapa perbandingan yang aman antara uang sewa, pemasukan per bulan, pengeluaran untuk karyawan, untuk belanja bahan makanan.

Untuk memperkuat penghasilan, menu yang semula terbatas pot pie, ia perluas dengan sandwich dan salad. Bagi pelanggan di rumah sakit, ia menerapkan prinsip nutrisi sehat dan menawarkan sajian yang berbeda.

Kini masih ada satu cita-cita: mendidik calon penerus bisnis pot pie-nya. Dia berharap salah seorang cucunya akan tertarik meneruskan bisnis unik ini. Tapi sebagai orang yang kaya makan asam-garam, Theresia menyiapkan “Rencana B” kalau-kalau cita-citanya itu kandas.

“Barangkali saya akan menulis buku tentang pot pie, atau kembali memberikan kursus memasak makanan yang sehat tapi lezat dan praktis bagi orang-orang sibuk,” katanya. Theresia yng ulet pasti akan menemukan cara.

Apa pun, di atas segalanya, Theresia dan keluarganya telah bertahan hidup di negeri asing. Ia telah membuktikan “modal dengkul’ saja pasti tak cukup. Ada kecerdasan, ada tekad, ada keuletan, ada iman.

Yang membuat perjuangan Theresia lebih indah dari sekadar kisah sukses seorang imigran, adalah pengakuan tanpa malu, “Saya selalu mengawali semuanya dengan doa: ‘God please give me a sign’.”

--------

LILY WIBISONO editor senior INTISARI, majalah pertama yang diterbitkan oleh  Kompas Gramedia pada Agustus 1963. Lily juga pernah menjabat sebagai editor in chief majalah itu. Kini, ia menetap di Jakarta dan Seattle, AS.