Cita Rasa Indonesia di Balik Pot Pie

By , Selasa, 26 April 2016 | 17:01 WIB

Theresia membawa kembali cita-citanya dalam doa. Ia berharap mendapatkan restoran berdapur besar dengan peralatan lengkap. Ia pun melihat sebuah restoran yang ditawarkan secara daring. Theresia ingat, pada 31 Desember 2006, ia berdoa di gereja, memohon izin Tuhan untuk dapat membeli restoran itu dengan modal yang ada, dan tanpa perlu repot merenovasi apa pun. Dan dia berharap bisa langsung berproduksi.

Begitu doa selesai, ponselnya berdering. Si pemilik restoran meneleponnya. Malam itu juga, ia bersama sang suami, Jeffrey, mengajukan penawaran 100 persen kepada pemilik restoran itu. Betapa tidak, restoran itu benar-benar jawaban Tuhan atas doanya. Bahkan melampui harapannya.

Pada 28 Februari 2007, ia melepas pekerjaan di sekolah anak nakal; esoknya, 1 Maret 2007, Pot Pie Paradise & Deli resmi buka. Kini, setelah sembilan tahun, kedai kecilnya berjalan lancar lantaran ditopang oleh enam karyawan terlatih.

Jason Nazar menulis di situs Forbes, dalam “16 Surprising statistics about small businesses”, bahwa tujuh dari 10 pengusaha baru di AS berhasil bertahan paling tidak selama dua tahun, hanya separuh yang bertahan setidaknya lima tahun, hanya sepertiga yang mencapai 10 tahun, dan hanya seperempat yang bertahan sampai 15 tahun atau lebih.

Pot Pie Paradise setahun lagi masuk dalam kategori “sepertiga” yang hebat itu. Apa resepnya?

Dari awal, Theresia menyadari punya segudang pengalaman. Tapi pengalaman juga mengingatkannya: berhati-hatilah, kini ada karyawan yang harus digaji. Jadi, pada mulanya awal ia hanya mempekerjakan tiga orang. Juga tidak ada biaya untuk pemasaran sama sekali.

Beruntung, ia mendapat dukungan penuh dari keluarga. Silvia dan Jeffrey aktif dalam pemasaran, mengelola website dan pembukuan. Ia juga tertolong oleh liputan media massa. Namun, ternyata pemasaran paling efektif adalah ‘gethok tular dari mulut ke mulut’. Misalnya, ia membagikan sampel pot pie di Farmers’ Market. Selain itu, ia juga berhati-hati dalam mengatur stok bahan makanan.

Bisnis katering, yang melayani makan siang staf dokter beberapa rumah sakit, membantunya menggenapi penghasilan restoran yang tutup pada pukul 15.00. Ia mereguk ilmu dari ‘Restaurant Start Up.’ Dari buku itu, ia mendapatkan kunci-kunci penting mengendalikan keuangan restoran. Berapa perbandingan yang aman antara uang sewa, pemasukan per bulan, pengeluaran untuk karyawan, untuk belanja bahan makanan.

Untuk memperkuat penghasilan, menu yang semula terbatas pot pie, ia perluas dengan sandwich dan salad. Bagi pelanggan di rumah sakit, ia menerapkan prinsip nutrisi sehat dan menawarkan sajian yang berbeda.

Kini masih ada satu cita-cita: mendidik calon penerus bisnis pot pie-nya. Dia berharap salah seorang cucunya akan tertarik meneruskan bisnis unik ini. Tapi sebagai orang yang kaya makan asam-garam, Theresia menyiapkan “Rencana B” kalau-kalau cita-citanya itu kandas.

“Barangkali saya akan menulis buku tentang pot pie, atau kembali memberikan kursus memasak makanan yang sehat tapi lezat dan praktis bagi orang-orang sibuk,” katanya. Theresia yng ulet pasti akan menemukan cara.

Apa pun, di atas segalanya, Theresia dan keluarganya telah bertahan hidup di negeri asing. Ia telah membuktikan “modal dengkul’ saja pasti tak cukup. Ada kecerdasan, ada tekad, ada keuletan, ada iman.

Yang membuat perjuangan Theresia lebih indah dari sekadar kisah sukses seorang imigran, adalah pengakuan tanpa malu, “Saya selalu mengawali semuanya dengan doa: ‘God please give me a sign’.”

--------

LILY WIBISONO editor senior INTISARI, majalah pertama yang diterbitkan oleh  Kompas Gramedia pada Agustus 1963. Lily juga pernah menjabat sebagai editor in chief majalah itu. Kini, ia menetap di Jakarta dan Seattle, AS.